"Jangan menatapku begitu terus...!" Wiwid terdengar merengek. Alwi menatap dengan sorot mata tajam. Mukanya bertekuk-tekuk bagai papan penggilasan.

"Aku janji akan ganti bunga itu. Tapi, tidak sekarang. Kau lihat sendiri, kan? Bunga-bunga di toko sudah habis. Aku pernah lihat ada dosen yang beli banyak. Aku rasa, bunga-bunga itu untuk Ibu Mita. Dia, kan, masih lajang. Cantik pula."

Wiwid lagi-lagi berputar. "Menurutmu, Ibu Mita itu bagaimana?"

Wajah Alwi kian semrawut, mirip kondisi lalu lintas di sekitar Jembatan Kapuas 1 pada jam masuk dan pulang kantor. "Jangan ganti topik...!" gerutu Alwi.

"Oke..., oke.... Tapi, kau harus sabar!"

"Tidak!" Alwi membalas singkat. "Jika tidak kau ganti hari ini juga, kau akan aku cekik. Aku tidak main-main."

Wiwid memegang batang lehernya sendiri. "Iya, aku paham. Sudah aku rasakan tadi."

"Lalu, kau mau ke mana sekarang?"

"Aku tidak tahu! Ini gara-gara muka jerukmu itu, aku sendiri sampai tidak tahu mau ke mana!"

Giliran Wiwid yang terlihat marah. Wajahnya kini tak kalah ribet dengan alur-alur jengkel di wajah Alwi. Mita yang hanya tahu mereka belum mendapat bunga, bergegas menghampiri mereka. Setangkai bunga mawar akhirnya meredakan wajah kusut milik Wiwid.

"Salam kenal, nama saya Rimita Rivani. Saya dosen baru di sini. Mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi dan Analisis Sistem Informasi." Mita begitu ramah. Wiwid sempat terbengong, dan akhirnya menyahut tak kalah bersahabat.

"Senang bertemu dengan Ibu. Saya Wida Safrina. Dan sahabat saya yang cemberut itu namanya Alwi Awalan."

"Alwalan...," geram Alwi, meralat namanya yang dikorupsi satu huruf oleh Wiwid.

"Kalau begitu, mohon maaf jika saya mengganggu. Saya permisi dulu untuk membagikan bunga kepada yang lain."

"Terima kasih, Bu."

Mita beranjak. Bunga-bunga di pelukannya masih ada sekitar dua puluh batang. Wiwid yang segera menyadari sesuatu, bergegas mengejar Mita.

Mita berhenti dan menoleh. "Ada apa, Wida?"

"Hehe...," Wiwid nyengir dahulu dengan napas kembang kempis. "Maaf, Bu. Jika tidak keberatan, boleh saya minta lima tangkai bunga lagi?"

"Untuk apa?" Mita malah heran.

"Ng..., itu...."

Belum sempat Wiwid berbohong bahwa ia ingin membantu Mita menyebarkan bunga, lima batang bunga yang ia pinta telah tersodor.

"Ambil saja...."

"Terima kasih...!"

Wiwid kembali ke Alwi. Dengan bangga, ia menyerahkan bunga hasil meminta pada sang dosen baru.

"Lain kali, kalau lari, jangan jelalatan!" Alwi sedikit masih merasa kesal.

"Oke...!" Wiwid mencoba mengalah. Ia bisa saja menyahut. Tetapi belajar dari pengalaman, sikap ceplosnya itu malah dapat menambah masalah.

Mereka kembali menyusuri lorong. Kali ini, dengan langkah lebih santai.

"Hei, bunga itu sebenarnya untuk siapa?" Giliran Wiwid menjadi ekor. Pertanyaannya sama sekali tidak disahut oleh Alwi. "Pasti untuk Kak Danti, ya?" Wiwid mencoba menebak.

"Memangnya, kenapa?"

"Aku heran, bagaimana kau bisa jatuh hati pada gadis itu? Kak Danti tomboi, ia kasar sama cowok."

"Namanya juga cinta."

"Ih!" Wiwid bergidik. "Eh, jangan pikir aku tidak tahu, ya. Kau itu selama ini menguntit Kak Danti, kan? Bahkan, kau ikut semua kegiatan-kegiatannya. Tapi, apa yang kau dapat? Kau dilempari saat main basket, ditendang saat latihan karate. Mengapa kau tidak pilih... yang itu saja?"

Keduanya kembali berhenti. Dalam dua detik, dua pasang mata tersebut bertumpu pada suatu sosok gadis dari lorong di depan.

"Putri?" Alwi cukup mengenalnya. Mereka satu kelas, satu angkatan, satu prodi, satu fakultas.

"He-e. Ratu kampus itu. Dia cantik."

"Danti juga cantik."

"Dia kaya."

"Danti juga kaya."

"Dia pintar."

"Danti juga pintar."

"Dia lembut."

"Ng...."

"Mengapa tidak dia saja? Putri paket komplit." Wiwid secara terselubung mempromosikan teman sekelasnya sendiri semasa SMA.

Alwi menarik napas. Kerutan di wajahnya telah cukup banyak hilang sekarang.

"Aku akan menghitung sampai tiga. Seorang pemuda pasti akan menghampiri Putri. Satu..., dua...."

Belum sampai pada hitungan ketiga, seorang mahasiswa benar-benar menyapa putri. Mereka pun terlibat percakapan. Sesekali tertawa kecil dan terlihat begitu akrab.

"Aku tahu diri. Kembang kampus begitu mana mungkin single. Dan menurut survei, masih banyak mahasiswa di kampus ini yang menanti dirinya jomblo. Meski kami satu kelas, aku selalu jaga jarak. Aku tak mau ambil risiko. Aku tak mau bersaing dengan mereka."

"Jadi, alasanmu jadi ekor Danti, karena cari aman?" simpul Wiwid.

"Bukan hanya itu, aku memang benar-benar suka Danti."

"Ya, Tuhan. Ternyata, masih ada pemuda bodoh yang hidup di dunia ini," sindir Wiwid. "Mengapa tidak Engkau musnahkan saja pemuda bodoh ini, Tuhan? Ikhlas kamek kalau die balek agen."

"Eh, mulut! Harap dijaga, ya, Mbak!"

"Awokwokwok!" Wiwid tertawa. Benar-benar tertawa awokwokwok. Membuat Alwi sangat ingin merengkuh bibirnya dengan ujung kuku.

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang