Eldien cepat-cepat berputar. Sebelah tangannya menelekan pinggang. "Aku masih seksi ini!"

Danti tertawa tak enak. Lalu, tiba-tiba ia teringat. "Ibu Eldien tidak ke kantor?"

"Baru setengah enam. Kantor mana yang buka? Lagi pula, hari ini aku ambil cuti. Jadi, sedikit bisa bermain."

Danti memperhatikan sekelilingnya. Ujung matanya menemukan dua mobil di garasi. "Ayah mana?"

"Ayahmu tidak pulang. Mobilnya masuk bengkel di Singkawang. Jadi, ayahmu menginap di hotel."

"Masuk bengkel? Lagi?"

"Ayahmu itu sudah berkali-kali aku ingatkan. Kalau perjalanan jauh, lebih baik pakai mobilku. Tapi, kau tahu sendiri. Ayahmu tetap ngeyel."

"Ibu Eldien tidak ingin jemput Ayah?"

Eldien menggeleng-geleng. "Ayahmu sudah telepon anak buahnya untuk jemput."

Bibir Danti membulat. "Oooh..."

"Ah, iya. Karena aku hari ini tidak masuk kerja, bagaimana kalau kau menemaniku? Kita jalan-jalan."

Sebuah tembakan jauh meluncur menerobos keranjang di tiangnya. Eldien menoleh Danti usai membuat atraksi itu. Bukannya mendapat jawaban, ia malah disodori wajah Danti yang bengong.

"Halo?" sapa Eldien menyadarkan Danti. "Kau kenapa?"

Danti salah tingkah untuk beberapa saat. Ia kemudian menyahut, "Ibu Eldien bisa main basket?"

Eldien menghampiri handuk kecil di sisi pekarangan dan menyambar sebuah botol berisi air. "Dulu, di SMA, aku ketua tim basket siswi. Waktu kuliah, aku juga aktif di perkumpulan basket kampus. Tapi rupanya, panah nasib membuatku harus betah duduk di kursi sekretaris."

Danti mendekat perlahan. Seolah ia masih belum dapat menerima. Seorang wanita yang ia anggap gila, karena mau menikah dengan pria lima belas tahun lebih tua dari usianya itu, kini berpenampilan lain dari hari yang lain.

"Eh, dipikir-pikir, jalan ceritaku hampir sama sepertimu." Eldien mengedipkan sebelah mata.

"Sama dari mananya?" Danti bermonyong-monyong.

"Aku dulu juga agak-agak aktif sepertimu."

"Bagus dongengnya."

"Hanya saja, aku berasal dari keluarga yang tidak berlebih sepertimu."

Danti bungkam sebentar, sebelum akhirnya menyahut, "Aku harap, aku takkan berakhir di pelaminan bersama pria yang belasan tahun lebih tua dariku."

"Ayahmu itu orang baik. Dan kaya. Sulit cari laki-laki seperti dia. Ya, aku akui ayahmu itu kadang-kadang terlalu sibuk. Janji inilah, janji itulah, bahkan beberapa kali 'janji' dengan perampok."

"Aku pikir karena uang," komentar Danti dengan enteng.

"Ya, bisa juga dianggap begitu," sahut Eldien tak kalah ringan. "Harta ayahmu bisa membantu setengah lusin saudaraku."

Danti terus memindai dari ujung sepatu wanita itu hingga ujung rambut.

"Aku tak masalah apa pun alasannya. Aku hanya masih belum bisa terima Ayah menikah dengan Ibu Eldien." Danti akhirnya menyentuh bola basket di sisi Eldien. Sebuah dorongan tangan menjebloskan bola melewati keranjang.

"Kalau bukan karena niatku, lalu apa yang membuatmu tidak terima aku jadi ibu tirimu? Sampai sekarang, aku bingung dengan sikapmu. Kau tidak menentang, tidak juga menerima."

Danti mendesah. "Pagi-pagi udaranya sudah berat, ya?"

Eldien juga ikut mendesah. "Iya. Hidup memang sungguh berat."

Danti berputar. "Aku merasa tidak cocok saja. Kau sudah kuanggap kakak sendiri. Kenapa Ayah harus menikahimu?"

Saat itu, jarak di antara mereka hanya serentang tangan. Eldien tiba-tiba melompat mendekat lalu memeluknya. "Danti! Aku sayang kamu! Kamu memang anak yang baik!"

Danti kaget. Bola yang sudah ia pungut jatuh kembali. "Eh?" Ia bingung. "Apa ini?"

"Kau boleh panggil aku Kak Eldien seperti dulu. Kau boleh anggap aku kakak seperti dulu. Danti memang anak baik!" Eldien masih memeluknya.

Danti tak balas memeluk. Ia pasang muka pasrah. "Mana bisa aku memanggilmu Kak Eldien lagi? Bisa-bisa aku durhaka."

Eldien merenggangkan pelukan. Wajah mereka saling hadap. "Itu! Barusan kau tak panggil nama. Pakai 'kau', pakai 'kamu'!" Lalu, pipi Danti ia cubit. "Ih, gemesnya!"

"Cukup, ah. Cukup!" Danti melepaskan dirinya dari Eldien. Ia hendak memungut bola. "Aku bukan anak-anak lagi. Aku sudah gede!"

"Hm...?" Eldien menjeling. "Sudah segede apa?"

Danti menoleh. Dilihatnya Eldien membusungkan dada. Seketika itu pula Danti pasang wajah datar.

"Serius ini? Pagi-pagi kita adu bumper?"

Eldien malah tertawa. Ia lalu meliuk-liukkan tubuh. Suara gemeretak tulang belakang pun terdengar.

Danti menggeleng-geleng seraya membelakangi ibu tirinya. "Ada-ada saja," ujarnya sembari bersiap mendorong bola.

"Hei, anak muda!" Eldien membetulkan ikat rambut. "Bermain basket seorang diri sepertinya tidak asyik. Mau melawanku?"

Danti tersentil oleh tantangan suara dari belakang. Ia berputar.

"Berani...?"

"Siapa takut!"

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now