"Apa ini?" Danti bingung.

"Aku hanya pegawai kafe biasa. Aku tidak bisa mengganti kerusakan mobilmu," Via menyahut dengan wajah agak menunduk. Ponsel masih diulur.

"Kau menghinaku?"

Via mendongak gamang.

"Kau menghinaku?" ulang Danti lebih jelas. "Aku tak perlu handphone-mu. Kau ikut aku. Aku akan mengantarmu pulang."

Danti meminta Via ikut bersamanya karena ingin mengorek di padepokan mana ia menuntut ilmu bela diri. Namun di sepanjang jalan, Via lebih banyak bungkam dan terlihat gelisah. Sama sekali tidak tampak sebagai orang dengan keahlian bela diri yang tinggi. Hingga pada akhirnya, Danti menebak asal-asalan.

"Kau anak indigo, ya? Kau bisa telekinesis?"

Secepat itu Via terjebak. Pikirannya yang berputar tak jernih membuat dirinya kontan menyahut, "Aku mohon jangan beri tahu orang lain!"

"Apa?" Danti refleks menginjak rem. Keduanya terhuyung nyaris menyungkuri dasbor mobil andai tak terikat sabuk pengaman. Tak disangka Danti, tebakannya yang asal malah tepat sasaran.

Sejak itulah, mereka kini berkarib. Danti tak ambil pusing soal kemampuan merusak Via. Toh, kemampuan itu baru akan keluar jika ada yang mengganggu dan nggak para-parah amat. Seperti beberapa bulan kemudian, lagi-lagi gerombolan pemuda itu berbuat ulah. Via pun kembali tak sengaja mengeluarkan kemampuannya.

Kala itu, mereka tak hanya terhuyung. Mereka dibuat terjengkang hingga mengerang kesakitan. Danti sendiri sampai menghempas pintu mobil. Ban mobilnya yang sudah pecah satu akibat terkena ranjau paku akhirnya bertambah jadi empat oleh ulah Via.

"Dada nyeri, pinggang encok. Kaca berderai, pintu penyok." Danti tertegun sesaat. "Ban pecah empat. Yah, masih cincailah."

Tetapi yang aneh, meski Danti sudah bolak-balik bengkel mobil dan tukang urut, pemuda-pemuda bebal itu tetap saja tidak jera. Malah, kadang berganti komposisi personel atau bertambah banyak.

Mereka juga seperti tidak ingat wajah Via dan Danti. Padahal, mereka sudah berkali-kali bertemu. Lebih-lebih Via yang paling sering pulang malam seorang diri. Entah karena pengaruh minuman keras atau karena pengaruh telekinesis.

Entahlah.

***

"Kau sudah menghajar mereka cukup sering, Via. Tidak ada yang perlu kau risaukan. Tiga atau empat bulan nanti, kau pasti akan menghajar mereka lagi."

Via menggeleng-menggeleng. Ia kemudian menyahut, "Aku rasa tidak. Kau lihat ambulans-ambulans tadi...?" Via jelas khawatir. Ia hampir membunuh belasan orang hanya dalam hitungan detik. Atau jangan-jangan, ada di antara mereka yang tidak lagi tertolong.

"Iya, aku lihat. Sepertinya, ada kecelakaan besar. Lalu?" Danti curiga Via akan mengubah topik.

"Itu... bukan kecelakaan...," sanggah Via dengan suara tersendat. Seolah apa yang ingin ia ucapkan begitu sulit terlontar. "Itu..., itu aku...!"

Danti menginjak rem. Pelan-pelan, roda mobil melambat, hingga akhirnya berhenti berputar.

"Kau tidak bercanda, kan, Via?" Di sana ada polisi dan petugas medis. Beberapa tubuh bergelimpangan berlumur darah. Tak pernah selama ini Danti melihat hal sedemikian akibat kemampuan Via. Via pasti mengada-ada.

Lagi, Via menggeleng. Kepalanya makin menunduk. "Aku hampir membunuh mereka...."

"Ya, Tuhan. Via..., maafkan aku...."

"Antarkan saja aku pulang.... Aku takut jika harus berlama-lama di luar rumah."

***

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now