06 - gundah

Mulai dari awal
                                    

Segera ia menutup obrolan grup. Dicarinya kontak Via dan mendapati status rekan kerjanya itu masih online. Ia coba menelepon, tetapi terdengar sibuk.

"Lagi ngobrol dengan pacarnya mungkin?" Farah coba berpikiran positif. Akan tetapi, rasa gundah itu belum juga sirna.

Ia akhirnya mengirim pesan.

"Kakak sudah sampai rumah?"

***


Ada tiga ambulans di lokasi. Satu di antaranya sudah siap berangkat ketika seorang pemuda telah dinaikkan ke dalamnya. Pemuda itu tidak sadarkan diri dengan tubuh berlumuran darah. Ia menjadi salah satu dari belasan pemuda yang tanpa sebab tiba-tiba terkapar di jalan raya bersimbah darah dengan beberapa tulang di tubuh mereka patah dan remuk.

Polisi terpaksa menutup separuh badan jalan serta memasang garis polisi. Lalu lintas yang seharusnya masih lancar berubah macet karena kendaraan memelankan lajunya. Warga setempat turut berdatangan ingin mencari tahu. Di antara mereka, ada seorang wanita yang menangis tersedu-sedu. Memohon polisi membolehkannya ikut masuk ambulans.

"Itu anak saya, Pak! Itu anak saya!" jeritnya. "Dia memang bodo, tapi anak saya!"

Dua polisi yang berjaga saling toleh. Akhirnya, wanita itu mereka perbolehkan ikut ambulans yang sudah siap berangkat.

Sementara itu, satu ambulans lain baru saja datang. Petugasnya turun untuk menjemput seorang pemuda lagi. Pemuda terakhir yang masih tergeletak di jalan di antara genangan darah.

Meski tak bergerak, pemuda terakhir itu masih sadar. Hanya saja, matanya sama sekali tidak membuka. Ia mengerang lemah dengan tubuh tengkurap. Dari mulutnya meluber darah kental. Cairan itulah yang memenuhi batang tenggorokannya, membuat ia bernapas tersendat-sendat.

Sementara dirinya diurus oleh petugas medis, seorang petugas polisi yang mengamankan lokasi memergoki seorang remaja usia SMA melintasi garis polisi untuk menjepret pemuda kurus yang tengah duduk lunglai memeluk tiang lampu jalan.

"Heh, bukan artis, tuh! Ngape kau poto-poto?" tegur sang polisi.

Remaja itu segera balik arah. "Maaf, Pak! Maaf, Pak! Khilaf!"

Pemuda yang dijepret itu jadi satu-satunya yang tidak terluka parah. Sejak polisi tiba, ia sudah meringkuk di tiang lampu jalan dengan kening lebam. Tubuhnya gemetar seolah menggigil. Karena tak kurang satu apa pun, petugas medis lebih mendahulukan rekan-rekannya yang sudah seperti sosis dilumuri saus tomat.

Meski menjadi satu-satunya dengan tubuh tidak bermandikan darah, pemuda itu sama sekali tidak memberikan informasi yang jelas mengenai kecelakaan yang menimpa mereka. Sesaat sebelum kejadian, ia mengaku bersama rekan-rekannya tengah menggoda seorang perempuan. Perempuan yang mereka goda kemudian menjerit dan mereka tiba-tiba sudah seperti itu. Rekan-rekannya rebah di aspal, sementara dirinya adu banteng dengan tiang lampu.

Setelah cukup lama tak dipedulikan, polisi yang tadi berjaga mendapat perintah untuk mengangkut pemuda itu ke dalam ambulans. Segera ia menyambangi tiang lampu lalu berdiri berkacak pinggang.

"Oi, bise bediri tadak kau?"

Si pemuda melenguh. Tiang lampu ia peluk makin erat. "Bantulah, Pak Polisi," ucapnya kemudian separuh bergumam. "Kite, kan, kawan...."

"Ha? Ape?" balas sang polisi. "Hari ini kau bilang kite kawan. Kemaren-kemaren kau lagak nak ngajak duel."

"Gurau kamek."

Petugas itu akhirnya menggelengkan kepala. Ia tarik lengan pemuda itu hingga terpaksa berdiri dan melepas pelukan dari tiang lampu.

"Aku sudah bilang kemarin kalian jangan mabuk-mabuk lagi, kan? Sudah aku ingatkan, kan?" omel sang polisi. "Kenak kitak!" Lalu, dipanggulnya pemuda itu seperti karung beras.

Beberapa ratus meter dari sana, Via mendudukkan tubuh di atas tembok rendah di depan lapangan parkir Ahmad Yani Mega Mall. Lututnya gemetar seolah tak sanggup lagi menjauh dari tempat para pemuda itu ditemukan terkapar. Sementara telapak tangannya yang mendingin, terus mengepal erat ponsel yang baru saja ia pakai untuk menghubungi Danti.

Sekali lagi ia mendongak, memperhatikan petugas medis dan polisi yang sibuk. Pemuda terakhir yang tengkurap di jalan akhirnya diangkat. Lengan kanannya kemudian jatuh menjuntai di bibir brankar. Darah tiba-tiba deras mengucur. Petugas-petugas itu melonjak kaget. Via yang masih mampu menangkap keganjilan tingkah mereka dari jauh, kian cemas dengan wajah memucat. Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris terluka.

Pemuda-pemuda itu. Merekalah yang diceritakan oleh Farah. Sekelompok pemuda berkumpul di depan gang. Mereka tertawa terbahak-bahak, seraya menyulang minum-minuman keras. Gaduh yang mereka buat kemudian terhenti ketika Via melintas. Masing-masing mata mereka mengikuti langkah Via yang terburu-buru menyusuri trotoar. Via harus mencari bis antarkota yang masih beroperasi untuk tiba di rumahnya sebelum dini hari. Atau jika tidak, maka ia harus berjalan kaki sejauh dua jam.

Memperoleh tatapan seolah dirinya makanan yang lezat, Via terus berlalu tanpa gentar. Kepalanya sudah terlanjur diisi rasa kecewa terhadap Andre, sehingga keselamatan dirinya tidak lagi ia pikirkan. Lagi pula, ini bukanlah kali pertama ia harus melewati pemuda-pemuda kurang kerjaan tersebut. Bahkan, sudah berkali-kali pula ia harus berhadapan langsung dengan mereka dan terpaksa bertindak kasar.

Namun rupanya, otak laki-laki itu terlalu kecil untuk berpikir. Sedangkan syahwat mereka terlalu besar untuk dibendung. Setelah puas hanya membiarkan Via melintas, mereka kemudian kompak membuntuti langkah gadis itu dan mencegatnya. Via mencoba memperingatkan. Namun seperti biasa, pemuda-pemuda itu tidak mau mendengar. Mulut mereka meracau kotor dengan bau alkohol menyembur. Tangan-tangan mereka menjalar untuk menjamah tubuh Via yang kelelahan. Via mencoba menepis, tetapi tingkah mereka kian menjadi. Salah satunya malah mencubit lengan kiri Via dengan cukup kencang. Via melejit menjauhi trotoar. Namun, seorang lainnya merangkul dari belakang.

"Cukup!" Via menjerit. Perlakuan mereka kali ini lebih keterlaluan. Berbareng dengan suara jeritan itu, angin kencang tiba-tiba berembus, mematahkan ranting-ranting bahkan dahan pohon di sekitarnya, serta menyapu pemuda-pemuda itu.

Mereka terlontar, lalu bergeletakan di jalan raya dengan tubuh berlumur darah.

VIA Bagian PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang