PROLOG

2K 103 2
                                    

Hamparan langit yang indah itu menjadi pemandangan Favorite gadis yang saat ini duduk di balkon memandang langit luas. Cahaya rembulan menyinari wajahnya yang teduh, ia menghela napas dalam kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Kapan ini akan berakhir, Tuhan?" ujarnya pelan, rasa sesak yang mengukung dadanya semakin kuat. Rasanya ia ingin menangis untuk semua yang telah terjadi.

"Berilah aku kesempatan Tuhan, aku mohon," lirihnya bersamaan dengan setetes air mata yang mengalir di pipi putihnya.

Perlahan langit mulai menggelap, menenggelamkan rembulan yang sejak tadi menyinari langit serta bintang yang menghilang seiring bergantinya langit yang terlihat gelap. Alam seakan ikut tenggelam dalam kesedihan gadis berkulit putih itu.

***

"Kamu gak mau damai sama masa lalu?" tanya seorang gadis berambut hitam nan panjang kepada sahabatnya yang saat ini terdiam menatap air laut di depannya.

Gadis itu menoleh pada sahabatnya, kemudian kembali menatap ke depan. "Gak semudah itu," jawabnya datar.

"Lalu mau sampai kapan kamu kayak gini?"

Gadis itu mengangkat bahu acuh, membuat sahabatnya menghela napas dalam. "Tahu gak sih, hidup dengan dendam itu gak baik. Lagian hati gak bakal tenang kalau nyimpan dendam," ujarnya ikut menatap hamparan laut yang begitu luas.

Gadis dengan hidung mancung itu menatap sahabatnya dengan seksama, lalu mengangkat bibirnya sebelah. "Dendam? Aku gak pernah dendam sama dia, hanya belum bisa jika menerima dia kembali."

Mendengar jawaban itu membuat ia terdiam, sedikit sulit membujuk sahabatnya itu. Karena ia memang tipikal orang yang tidak toleransi akan sebuah penghianatan. Gadis berambut panjang itu menatap sahabatnya, sehingga tatapan mereka bertemu. Ia baru menyadari betapa dalamnya tatapan sahabatnya itu, tatapan yang selalu tulus kepada siapapun. Walau itu semua tertutup oleh sikapnya yang cuek.

"Kenapa kamu gak bisa terima dia lagi?" tanyanya dengan penasaran, karena memang ia tidak mengetahui sejauh apa rasa kecewa yang dirasakan sahabatnya itu. Ia dapat menyembunyikan semua masalah dan emosinya dengan rapi.

"Pulang yuk," ujarnya tanpa menjawab pertanyaan yang diberikan sahabatnya itu. Ia berdiri terlebih dahulu, lalu mengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya berdiri.

"Langsung pulang?" tanyanya seraya meraih uluran tangan sahabatnya.

"Iya, aku antar kamu pulang." Sahabatnya mengangguk, ia mengerti bahwa orang di hadapannya ini tidak ingin melanjutkan pembahasan yang ia mulai.

***

"Mau ke mana, Zee?" tanya Ashel menatap Zee yang berjalan di sampingnya.

Azizi Asadel atau yang kerap disapa Zee oleh orang-orang yang mengenalnya. Gadis berusia 18 Tahun yang saat ini sedang berkuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Sedangkan, gadis yang berada di sampingnya adalah Ashelina Adzana yang kerap disapa Ashel. Keduanya memang sudah mengenal sejak usia 6 tahun, walau tidak selalu bersama, tetapi mereka selalu menyempatkan diri untuk saling menghabiskan waktu bersama.

"Main games master, mau gak?" ujar Zee menatap Ashel.

"Boleh, tapi habis itu kita nonton di bioskop ya." Azizi hanya mengangguk dan tersenyum tanda menyetujui permintaan Ashel. Selanjutnya, mereka berjalan beriringan menuju games master dan bermain di sana.

***

Sesuai permintaan Ashel, setelah mereka puas bermain di games master, akhirnya mereka menunjuk bioskop untuk menonton film sesuai keinginan Ashel. Zee hanya menurut saja, karena baginya kebahagiaan sahabatnya adalah kebahagiaannya juga.

Dengan semangat Ashel menarik Zee untuk membeli tiket. "Ayo beli tiket," ucap Ashel menarik tangan Zee, melihat sahabatnya yang begitu semangat membuat ia tersenyum senang.

"Selamat sore, Kak, mau pesan tiket apa?" tanya seorang petugas tiket.

"Mbak, kita mau nonton film kalian pantas mati."

"Berapa tiket dan pukul berapa Kak?" Ashel melihat jadwal yang tersedia, lalu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Setengah lima aja, Mbak, dua tiket." Ashel menjawab serta memilih tempat duduk yang kosong.

"Ini, Kak, tiketnya. Silakan."

"Terima kasih, Mbak," ucap Ashel seraya mengambil tiket yang disodorkan dan membayar tiket itu.

"Yakin nonton horor, Cel?" tanya Zee yang sejak tadi diam.

"Yakin dong, kata orang-orang sih filmnya seru." Zee mengangguk, kemudian ia berkata, "kamu tunggu sebentar di sini, Cel."

"Eh, kamu mau ke mana?" tanya Ashel yang tidak dihiraukan. Ashel mendengus sebal melihat Zee yang berjalan menjauh, ia duduk menunggu Zee.

Tak berselang lama, Zee kembali dengan membawa sebuah minuman serta popcorn di tangannya. "Ini buat kamu," katanya menyerahkan keduanya kepada Ashel.

"Aduh perhatian banget sih, Zee, jadi makin sayang deh sama sahabat gue yang satu ini." Ashel mencubit pipi Zee gemas sebelum mengambil popcorn dan minum yang Zee berikan.

Inilah sikap tersembunyi Zee yang sangat Ashel sukai, walaupun cuek, tetapi ia peduli pada Ashel dan selalu melakukan hal-hal kecil yang sangat Ashel kagumi.

"Makasih, Zee." Zee mengangguk dan tersenyum tulus pada sahabatnya.

***

"Gila, seru banget filmnya." Ashel berkomentar dengan antusias setelah menonton film itu, Zee tersenyum melihat antusias sahabatnya.

"Iya seru, walau sepanjang film tanganku sakit karena kamu genggam erat banget," ucap Zee dengan raut jahilnya.

"Iiih, aku kan kaget sama suara filmnya, bukan takut," ucap Ashel dengan nada manja.

"Iya deh si paling berani," ledek Zee diiringi kekehan kecil.

Ashel memukul tangan Zee, karena tidak terima diledek seperti itu. "Iiih, Zee ... Kamu mah, aku kan ..." ucapan Ashel terhenti saat ada yang menabraknya yang membuat sisa minuman yang diprgangnya tumpah mengenai pakaiannya.

BRUUK

"Cel, kamu gak apa-apa?" tanya Zee yang menahan Ashel dengan tangan kanannya agar tidak jatuh. "Gue gak apa-apa, Zee." Keduanya tidak melihat siapa yang menabrak mereka.

"Maaf, gue gak sengaja," ucap orang yang menabrak Ashel, seraya mengeluarkan tisu yang selalu ia bawa di dalam tasnya. "Ini pakai tisunya buat bersihkan itu."

"Eh iya, makasih," jawab Ashel menatap orang yang menabraknya, ia terkejut begitu melihat siapa yang menabraknya. Begitupun Zee, hanya saja ia bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.

Sama halnya dengan mereka, orang yang menabrak Ashel pun sama terkejutnya. "Shel, sorry, gue gak sengaja," kata orang di depannya.

"Makanya hati-hati," ketus Zee seraya menarik Ashel pergi dari hadapan orang itu. Mendengar nada ketus Zee membuatnya merasakan sesak di dadanya.

"Ternyata kamu masih sama," lirihnya menatap kepergian Ashel dsn Zee dengan pandangan yang sulit diartikan.

About Us : Liebling (END)Where stories live. Discover now