Chapter 8: Pertarungan Pertama

62 3 14
                                    

"Telat, ya? Pasti gara-gara tadi aku kelamaan melamun. Hah~~ bikin repot saja...,"

Sesegera mungkin, aku mengganti beliung di tanganku dengan pedang kayu, kemudian menggenggam gagang pedang tersebut dengan kedua tangan. Tatapanku mengarah lurus ke depan, bersiap untuk pertarungan.

"..., tapi ini bisa jadi kesempatan yang bagus untuk mengetes senjata baruku."

Baru saja aku hendak melesat maju ke depan, tiba-tiba gerakanku terhenti. Kedua pupil mataku melebar. Bersamaan dengan itu, sebuah hal penting yang entah kenapa bisa kulupakan menghampiri pikiranku. Benar juga, strategi!!! Bodoh banget, kau, Steve!!! Pedang kayu memang cukup keras untuk dijadikan senjata, tapi item permulaan berkualitas terbaik sekalipun tidak bisa dipakai untuk membunuh musuh dengan mudah. Apalagi kalau musuhnya banyak dan di antara mereka ada pemanahnya seperti ini. Itu sama saja dengan bunuh diri. Lagipula senjataku, 'kan, senjata jarak dekat. Mana bisa dipakai untuk mengurusi mereka semua sekaligus-

"Eh, tunggu dulu!!"

Pupil mata berwarna biru murni milikku melebar sekali lagi. Sebuah gagasan yang brilian baru saja memasuki kepalaku. Jika tidak bisa menghadapi semuanya bersamaan, aku akan atasi para tengkorak hidup tersebut lebih dulu supaya mereka tidak mengganggu pertarunganku dengan para zombie. Ah, tapi kalau kudekati nanti akurasi tembakan panah skeleton-skeleton-nya malah naik. Tidak akan jadi masalah besar kalau mereka bisa dilumpuhkan cuma dalam satu kali serang, sih. Apalagi tubuh mereka kelihatan ringkih dan sambungan antartulangnya tampak rapuh. Namun..., aku tidak bisa memercayai apa yang terlihat dari luar begitu saja. Penampilan bisa menipu.

(Note: Seperti yang orang bijak katakan: "Don't judge a book by its cover". Yah, walaupun kenyataannya orang pada umumnya itu judging book by its cover, sih :v)

Sang Rembulan mulai ditutupi oleh awan-awan hitam kelam yang bergerak perlahan, menambah temaram suasana sekaligus membuat pemandangan di depanku terkesan semakin horor. Dapat kulihat kerumunan mayat hidup itu kini sudah berada di depanku. Ditambah lagi, sekelompok zombie lain ternyata diam-diam menerobos masuk dari tembok yang jebol di belakangku. Bau busuk dari daging mereka tercium dengan jelas. Ya, aku terkepung. Para tengkorak hidup juga menghentikan langkah dan mulai bersiap-siap dengan busur serta anak panah mereka. Wajah mereka tanpa ekspresi. Tidak ada sekalipun emosi negatif (seperti rasa takut, khawatir, dan marah) maupun emosi positif (seperti semangat juang) yang tergambar di sana. Seolah-olah di dalam jiwa mereka hanya ada perintah untuk menyerang dan memangsa.

"Bagaimana kalau... ternyata imej makhluk tidak berakal dan tidak berperasaan yang kulihat pada diri mereka itu... bukan sekedar imej?"

"Bila memang itu benar..., strategi ini bisa kupakai."

"Baiklah, aku harus bergerak cepat!!"

Secepat mungkin, aku berjongkok untuk menghindari panah-panah yang ditembakkan oleh para skeleton. Lalu kupukuli sejumlah bagian tubuh vital para zombie dengan pedang kayu hingga mereka tersingkir satu-persatu, membentuk jalan kecil yang memungkinkanku untuk kabur. Oh, ya. Kalau kalian ingin tahu bagian-bagian tubuh vital mana saja yang kuserang, mereka adalah ulu hati dan...

..., kemaluan.

Ya, kalian tidak salah baca. Memang itu. Habisnya, sepengetahuanku serangan ke kemaluan lebih sakit, dan rasa sakit yang cukup pasti akan membuat mereka kesulitan menangkapku. Jadi, kalau zombie-nya berjenis kelamin laki-laki, kenapa kesempatan itu harus disia-siakan?

Kenapa aku bisa mengetahui hal itu? Seperti biasa: 'Yo Tanya Author, Jangan Tanya Saya'.

(Author: Woy, nih chara kenapa tiba-tiba bisa break the 4th wall?!

Steve: Sepertinya ada kesalahan teknis di sistemnya :v)

Begitu keluar dari kepungan para zombie, aku langsung berlari memutari para skeleton. Walau hampir jantungan karena nyaris terkena anak panah beberapa kali, setidaknya usahaku membuahkan hasil yang memuaskan. Seluruh pasukan tengkorak hidup sukses terkena friendly fire dan berakhir menciptakan perang saudara. Seringai lebar terukir di wajahku.

"Strategi adu domba, sukses. Sekarang yang tersisa tinggal para zombie. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, sekalipun mereka tak bisa menyerangku tanpa mendekat, bahaya juga kalau mau menggempur mereka dengan hanya bermodalkan pedang kayu."

"Berarti, jawabannya tentu saja... kabur lagi!!!"

Secepat kilat, 'ku berlari menjauh dari kerumunan mayat hidup tersebut sekali lagi. Ya, memang terkesan seperti pengecut, tapi untuk sekarang inilah tindakan yang paling realistis. Masa aku cari mati sebelum bisa membalas para penduduk desa durjana itu?

"Sialan, dah. Udah keren-keren kayak tadi masa akhirannya ngubur diri la-"

Ucapanku terhenti tepat ketika aku melewati sebuah gua yang bagian atap dekat pintu masuknya terlihat sudah amat rapuh dan di dalamnya terdapat sejumlah batu besar. Aku tersenyum licik.

"Jackpot, nih."

Mengetahui bahwa senjata pamungkas sudah ada di tanganku, diriku pun menunggu tibanya kawanan zombie itu dengan santai di perbatasan antara atap gua yang rapuh dan yang tidak. Selanjutnya, kulempar batu besar ke atap gua yang rapuh tepat saat mereka sampai di depanku hingga atap itu runtuh dan bagian-bagiannya menimpa separuh dari keseluruhan kawanan zombie.

"Mati dua kali saja kalian sana, dasar makhluk tanpa akal," ejekku sembari menjulurkan lidah. "Bwleee-"

Kukeluarkan beliung kayu dari dalam inventory, kuletakkan gagangnya di atas bahu, dan kupalingkan pandangan ke bagian dalam gua ini, yang untungnya sepi dari monster. Setidaknya untuk sementara.

"Sekarang, mari kita lihat apa saja yang bisa didapat di sini."

To be continued

Akhirnya mood nulis balik juga, semoga ke depannya author lebih rajin lagi melanjutkan novel ini •~•

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Project Minecraft: The Beautiful Cruel WorldWhere stories live. Discover now