Chapter 6: Gubuk Tua dan Sistem Inventory

84 2 13
                                    

"Kira-kira..., apa yang bisa kutemukan di dalam gubuk itu?"

Kedua alisku menekuk seiring dengan sorot mata yang berganti jadi serius, menyiratkan rasa penasaran dan ketertarikan yang tinggi. Gubuk seperti ini cuma bisa dibangun oleh manusia, jadi pasti ini bekas tempat tinggal manusia, entah itu villager atau ras humanoid lain. Artinya, mungkin saja di dalamnya ada sisa-sisa makanan atau peralatan milik manusia yang bisa kumanfaatkan. Tidak menutup kemungkinan juga gubuk itu masih ditinggali oleh manusia. Semoga saja penghuninya tidak biadab seperti villager-villager kemarin.

"Yah, tapi sebelumnya... kurasa aku harus melaksanakan prioritasku dulu. Aku harus minum, dan mungkin sekalian mandi kalau gubuk tersebut ternyata tidak ada orangnya. Bibir, lidah, dan kerongkonganku sudah sangat kering, nih. Selain itu, bersembunyi semalaman di dalam tanah membuat badanku jadi gatal-gatal," ujarku seraya menggaruk-garuk lengan serta bagian belakang leher.

Kutingkatkan kecepatan langkahku sekali lagi, sebab matahari telah mendekati puncak langit dan udara sekitar yang panas membuatku semakin haus. Setibanya di sungai yang berarus relatif tenang tersebut, aku segera berlutut, membungkukkan tubuhku dalam-dalam, lalu mencedok air dengan kedua telapak tangan dan meminumnya untuk memuaskan dahaga. Selain tidak berasa dan tidak berbau, air sungai ini juga sangat jernih. Saking jernihnya, bahkan aku sampai bisa melihat ikan-ikan yang sedang berenang di dalamnya.

(Author: Kok malah kayak iklan produk air mineral, yak 🐦

Readers: Lah, kok nanya ke kami? 'Kan, anda yang nulis.)

Selain itu, tampak juga lapisan pasir dan batu-batu beraneka ukuran yang membentuk dasar sungai serta tumbuhan-tumbuhan air yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Bentuk batu dan tubuh ikannya? Tentu saja kotak. Ketinggian airnya kira-kira seleher. Artinya, ini juga tempat yang cocok untuk mandi.

"Akhirnya." Aku menghela napas lega seraya menyeka bibir dan pipi dengan lengan kananku usai memuaskan dahaga. "Aku kapok langsung makan daging bakar setelah tidak minum semalaman. Rasanya seret banget, woi."

Kualihkan pandanganku ke arah gubuk di seberang. Sekarang, bangunan kecil itu bisa terlihat lebih jelas. Berbahan dasar kayu, tepat seperti dugaanku. Namun, sebagian besar eksteriornya sudah tua dan lapuk. Bahkan ada beberapa bagian dinding yang sudah jebol hingga tembus ke dalam, mungkin karena gedoran zombie. Dari situ, bisa kusimpulkan kalau gubuk tersebut sudah tak layak huni sehingga kemungkinan besar tidak ada orang di dalamnya. Artinya, aku sendirian di sini. Aku bisa mandi dengan tenang.

"Moga-moga tidak ada pengembara yang tiba-tiba lewat," ucapku seraya melepas pakaian satu-persatu dan meletakkannya di atas rumput. "Gak lucu kalau sampai kejadian."

Kuceburkan tubuhku dan air sungai yang sejuk perlahan membasuh kotoran-kotoran di kulitku. Mandi di tengah suasana yang panas terik seperti ini rasanya sangat segar. Walau kesegaran tersebut agak terganggu oleh sakit yang masih terasa dari cedera di dekat bahu kiriku dan luka-luka sabet di beberapa bagian tubuh. Untung saja airnya tidak merembes masuk ke dalam luka yang kuperban. Tampaknya celana yang kugunakan sebagai perban itu anti air.

Oh, ya. Tidak lupa aku juga membasuh wajah untuk menghilangkan kantuk sekaligus membasahi mata. Pasalnya, setelah bercermin pakai air, terlihat sklera dari mataku — yang ternyata beriris biru murni — sudah merah dua-duanya gara-gara tidak tidur semalaman. Kalau kuingat-ingat, sejak pagi ini juga aku sudah berkali-kali menguap.

Singkat cerita, aku berhasil mandi dengan tenang dan damai tanpa terjadi 'musibah' seperti digigit oleh ikan yang agresif atau dilihat oleh pengembara yang kebetulan lewat. Setelah naik ke darat dan berjemur sebentar untuk mengeringkan badan, kubuka 'perban' yang kupakai untuk membalut luka tusuk di lengan. Tampak lukanya mulai menyusut dan pendarahannya telah berhenti, tapi kelihatannya dia masih butuh waktu beberapa hari lagi untuk sembuh total. Kubaluri area di sekitar luka dengan air agar tidak ada kotoran yang masuk, lalu aku merobek ujung celana sekali lagi dan melilitkannya sebagai perban pengganti. Untuk luka-luka lain yang tersebar di sekujur tubuh, aku membiarkannya terbuka saja karena lukanya tidak terlalu dalam.

Selanjutnya, aku menyeberangi sungai dengan tujuan masuk ke gubuk tua tadi. Rupanya bagian dalam dari gubuk tersebut nyaris kosong melompong. Hanya ada satu buah peti penyimpanan (chest) kecil berbahan kayu, satu buah tempat tidur, dan beberapa obor yang apinya sudah padam. Agak mengecewakan, tapi setidaknya sekarang aku bisa tidur dengan nyaman di kasur yang empuk tersebut. Oh, iya. Aku belum mengecek isi petinya.

Kucoba membuka peti penyimpanan itu, dan hasilnya sungguh tidak terduga. Sebilah kapak batu yang terlihat masih baru dan belum pernah dipakai!! Mungkin ini kapak cadangan milik penghuni sebelumnya yang lupa dibawa sebab dia harus meninggalkan rumah dengan terburu-buru di tengah serbuan mayat hidup yang menjebol tembok.

"Yosh!! Jackpot!! Ini bisa digunakan sebagai senjata dan untuk menebang pohon supaya bisa membuat rumah layak tinggal," ujarku sambil tersenyum lebar.

Sekarang, pertanyaan yang tersisa hanya bagaimana cara menyimpan kapak tersebut di wadah yang bersifat portabel. Menaruhnya lagi di dalam peti kayu? Mustahil kugotong peti seberat itu ke mana-mana. Atau mungkin aku bisa memanggil sistem penyimpanan hologram seperti yang dipakai oleh villager kemarin? Bagaimana caranya? Apa memanggilnya harus pakai perintah verbal? Ah, tidak, tidak. Kemarin villager itu hanya diam saja saat memunculkan hologramnya. Berarti..., pakai pikiran?

Aku mencoba membayangkan wujud hologram penyimpanan yang digunakan oleh si villager, tapi tak peduli seberapa keras usahaku, sama sekali tidak ada yang terjadi. Pasti ada yang salah.

"Mungkin gara-gara kurang fokus dan aku baru melihatnya sekali jadi gambaran yang diproduksi di benakku tidak begitu jelas? Aku coba membayangkan sambil tutup mata saja, deh."

Kubayangkan wujud hologram penyimpanan itu sekali lagi, tapi kali ini dengan mata terpejam untuk meningkatkan fokus secara signifikan. Berhasil!! Wujud yang dikonstruksi dalam benakku itu terlihat lebih jelas dan detail sekarang.

[Inventory: Activated]

Tepat setelah suara aneh dan kaku tersebut terdengar, aku membuka kedua mataku. Sebuah panel hologram muncul dalam sekejap, memanjang secara horizontal dan menampakkan kotak-kotak kosong berwarna silver yang menyusunnya. Inventory, ya.... Ternyata itu nama dari sistem penyimpanan ini.

Aku menyentuhkan ujung dari kapak yang kudapat tadi dengan salah satu slot panel hologram, dan dia langsung tersedot masuk. Kini, slot tersebut terisi oleh gambar perlambang stone axe. Bagus. Masalah satu-satunya yang tersisa sekarang hanya bagaimana cara memasukkan kubus-kubus besar seperti chest dan bed ke dalam slot penyimpanan yang gate-nya kecil begitu.

"Mungkin kucoba saja dulu.... Siapa tahu ukurannya akan menyesuaikan secara mandiri," gumamku.

Sejam pun berlalu. Matahari telah beranjak turun dari puncak langit, pertanda bahwa tengah hari sudah lewat. Puluhan cara telah kupakai untuk memasukkan peti tersebut ke dalam slot inventory, mulai dari menyentuhkan salah satu sudutnya ke slot hologram hingga mencoba beragam perintah verbal untuk mengecilkan ukuran si peti. Namun, semuanya berakhir dengan kesia-siaan. Merasa frustasi, aku pun menjadikan peti itu objek untuk meluapkan kekesalanku.

"Aaarrggghhh!!! Bodoamat, lah!! Kupotong kecil-kecil saja ini peti sialan!" Aku berteriak sembari mengayunkan kapak batu yang baru saja kukeluarkan dari slot inventory, mencoba membelah chest-nya.

Di luar dugaan, rupanya justru tindakan liar itulah jawabannya. Setelah terkena kapak, si chest malah lenyap alih-alih terbelah menjadi dua. Dia digantikan oleh versi kecilnya yang melayang-layang di atas lantai gubuk, berotasi secara perlahan sekaligus bergerak naik-turun.

[Block-to-Item Conversion Process: Learned]

Aku terdiam seribu bahasa, hanya berdiri dengan kedua tangan mengepal erat serta bulir keringat mengaliri kening. Suasana sekitar kini hanya terisi oleh suara aliran air sungai yang pelan dan suara-suara binatang diurnal di luar, Menyebalkan sekali.... Saking sebalnya, aku jadi malas untuk meluapkan amarah lewat mulut.




"KENAPA GAK DARI TADI BILANGNYA, WOY?!!"




To be continued




Note: Diurnal adalah kebalikan dari nokturnal. Lebih jelasnya, diurnal ialah sifat perilaku makhluk hidup yang lebih aktif di siang hari dan lebih banyak tidur di malam hari.

Project Minecraft: The Beautiful Cruel WorldWhere stories live. Discover now