Chapter 3: Desa yang Damai

73 2 12
                                    

"Apa dia... bersahabat?"

Aku menghela napas lega ketika melihat ekspresi ramah di wajah penduduk desa tersebut. Rupanya dia hanya ingin mengajakku masuk ke dalam desanya. Tampaknya aku berpikir terlalu jauh. Manusia-manusia berhidung besar ini tidaklah liar seperti perkiraanku.

"Hm hm hm hm?"

Penduduk itu bergumam sekali lagi. Aku tidak tahu secara pasti artinya, tapi dari ekspresi wajah, jumlah suku kata, dan nada bicaranya, kelihatannya dia sedang bertanya: 'Ada apa?'

"Tidak apa.... Aku terkejut, itu saja." Aku berujar sambil melontarkan beberapa isyarat bahasa tubuh.

Penduduk ini — kita sebut saja villager — memiringkan kepala sejenak, tapi kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum tanda mengerti. Aku pun membalas senyumannya dan kemudian menyambut uluran tangannya. Tepat setelah sang villager membantuku berdiri, sebuah suara keras mirip raungan terdengar dari arah perutku. Sial, aku baru ingat kalau belum makan apa-apa sejak pagi.

Mendengar suara tersebut, si villager segera memunculkan layar hologram yang terdiri dari sederet kotak berwarna silver, lalu menekan ikon roti yang terdapat pada salah satu kotak. Secara ajaib, sepotong besar roti muncul di tangannya. Apa itu semacam sistem penyimpanan?

"Hm hm hm," ucapnya sembari menyodorkan roti itu kepadaku. "Hm hm."

"Eh?!" Aku terkejut. "Untukku? Gratis?"

Si villager mengangguk, lalu dengan segera kuambil roti yang diberikannya. Aku memakannya dengan sangat lahap, bahkan sampai nyaris tersedak. Yah, wajar saja. Aku, 'kan, belum makan dari pagi.

"Terima kasih," ucapku sambil tersenyum.

Dia mengangguk lagi, lalu memberiku air dalam wadah berbahan kulit hewan yang tentunya langsung kuterima dan kutenggak sampai habis. Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Hm hm hm hm hm hm." Villager tersebut bergumam sekali lagi sambil menunjuk desanya dengan raut wajah yang amat ramah. "Hm hm hm."

Apakah dia sedang menawariku untuk mampir ke desanya? Kelihatannya, sih, begitu. Yah, kurasa menerima tawarannya bukan ide buruk. Walau pasti akan sulit berbagi informasi dengan perbedaan bahasa seperti ini, tapi setidaknya aku akan dapat tempat untuk beristirahat sejenak. Lebih bagus lagi kalau mereka mengizinkanku menginap sampai aku bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri.

Beberapa detik berselang, aku mengangguk tanda setuju. Kami melangkahkan kaki di atas rerumputan hijau yang embunnya sudah mengering, berjalan beriringan menuju desa tersebut dengan diiringi oleh suara-suara burung yang bersarang di puncak pepohonan di sekitar. Begitu memasuki jalan desa, villager-villager lainnya menyapaku dengan ramah, membuat kekhawatiranku tentang sikap warga desa lainnya saat melihatku segera sirna. Mereka benar-benar berbeda dari para herbivora liar yang tadi kutemui.

Pada saat kami mencapai sebuah rumah berukuran sedang dengan rooftop sebagai atapnya, villager yang tadi menolongku menghentikan langkahnya, mengetuk pintu rumah. Pintu itu segera dibukakan oleh istri dan anaknya yang berpenampilan sama persis sepertinya, botak serta berhidung besar. Kalau kuingat-ingat, villager-villager yang tadi kutemui di jalan juga semuanya botak dan berhidung besar. Warna pakaian dan postur tubuhnya saja yang berbeda-beda. Apa mereka tidak pernah memiliki keinginan untuk punya rambut? Atau mereka memang tidak bisa punya rambut? Yah, sudahlah. Memikirkan hal yang tidak penting begitu hanya akan membuat kepalaku semakin pusing.

(Author: Parah, nih, si Steve. Botak-shaming.

Steve: Ga gitu maksudnya, thor ('-')/ Kan saya cuma penasaran aja.)

Mereka mengizinkanku masuk setelah bergumam dengan ramah. Aku beristirahat sejenak di dalam sana, lalu menghabiskan sisa hari dengan mengelilingi desa bersama si villager yang entah sedang mengambil cuti kerja atau sudah pensiun. Sambil berjalan, aku mengamati fisik, pakaian, serta aktivitas para villager. Di situlah aku mulai menyadari kalau hidung besar dan berat milik merekalah yang membatasi pergerakan mulut, membuat mereka hanya bisa menggunakan gumaman untuk berkomunikasi satu sama lain. Aku juga baru sadar bahwa pakaian para villager yang berbeda-beda menandakan profesi mereka yang berbeda-beda pula.

Villager berpakaian serba coklat — termasuk yang tadi menolongku — sering terlihat bekerja di ladang, menyiratkan bahwa mereka adalah petani. Villager berpakaian hitam-coklat terlihat berada di depan rumah tempat penempaan, artinya mereka adalah blacksmith. Villager yang berpakaian coklat lengkap dengan celemek sudah jelas merupakan tukang daging atau butcher. Lalu, villager yang tinggal di bangunan batu tinggi mirip kuil itu mungkin adalah pemuka agama. Villager yang selalu diam di dalam perpustakaan dan hanya pernah terlihat dari balik jendela pastinya memiliki tugas menjaga perpustakaan tersebut.

(Author: Anjir, selalu diam di dalam perpustakaan. Fix nolep dia 🗿)

Waktu terus berlalu. Tanpa kusadari, cahaya merah-oranye yang samar mulai menimpa langit berhiaskan awan-awan persegi dan Sang Surya sudah siap untuk menenggelamkan diri di ufuk barat. Senja telah dekat. Aku berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan itu, dan begitupun sang villager.

Secara perlahan tapi pasti, benda besar menyilaukan tersebut turun ke cakrawala, seolah ingin memberi kesempatan bagi kami untuk menikmati momen yang menggugah hati ini lebih lama lagi. Warna merah-oranye yang tadinya hanya tampak samar-samar di langit menjadi semakin pekat tiap menitnya. Pada saat matahari sudah berada sangat dekat dengan cakrawala, berkas-berkas terakhir dari sinar terangnya menimpa bukit di kejauhan, membuat bukit itu terlihat seperti tumpukan emas.

Namun, saat sedang asyik menikmati matahari terbenam, sang villager menepuk pundakku dan menggenggam tanganku sembari melangkah dengan agak terburu-buru ke arah jalan pulang. Detik itu juga, aku menyadari bahwa para penduduk desa lain yang tengah beraktivitas juga bergegas menuju rumah masing-masing.

"Hei, ada apa? Kenapa?" tanyaku dengan penasaran.

Villager tersebut tak menjawab. Tampaknya dia terlalu fokus berlari sampai-sampai tidak sempat mendengarkan pertanyaanku. Namun, karena ingat bahwa dia lebih berpengalaman dariku di dunia ini, aku menurut saja dan tidak berontak. Si villager segera menutup dan mengunci pintu begitu sampai di rumah. Awalnya aku heran kenapa dia dan penduduk lainnya terlihat sangat panik, tapi sebuah suara geraman dengan cepat menjawab rasa penasaranku.

Dari balik kaca jendela, bisa kulihat makhluk-makhluk humanoid berkulit hijau dengan pakaian compang-camping berwarna biru kehijauan serta mulut yang setengah menganga seolah haus darah sedang berkeliaran. Sklera mata hitam legam, hidung yang sudah membusuk, dan lemak di pipi yang sudah menipis sangat parah hingga tulang pipinya menonjol menambah ngeri penampilan mereka. Jari-jari mereka yang sudah tidak berbentuk wajar lagi diarahkan ke depan, siap untuk menangkap siapa saja yang berani keluar dari rumah.

"Untung saja tadi aku mengikuti villager ini," batinku.

"Hm hm hm hm hm hm," ucap si villager.

"Terima kasih," sahutku sambil tersenyum.

"Hm hm hm hm hm hm hm hm hm, hm hm hm hm hm hm hm hm hm." Istri dari sang villager berujar sambil mengulurkan tangannya dengan telapak terbuka.

"Eh?"






To be continued

Project Minecraft: The Beautiful Cruel WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang