Sebuah Penantian di Ujung Cerita

15 1 0
                                    

A relationship means you come together to make each other better.

Aku menghembuskan napas dengan kasar dan meninggalkan ponselku yang masih menyala di meja. Rasanya sia-sia aku membaca quote yang membangun tentang sebuah relationship. Aku di masa lalu, sepertinya seorang yang malas dan memilih tidur daripada ikut berjuang membela negara. Alhasil direinkarnasi ini hubungan percintaanku tidak pernah lancar. Bahkan, menuju jalan aspal yang halus aku harus berusaha mati-matian memperbaiki beberapa lubang dan menambalnya untuk mencapai jalan yang bagus.

Aku heran dengan temanku atau mereka di luar sana yang mudah mendapatkan pasangan hanya dengan bermain aplikasi dating. Segampang itu mereka mendapatkan pacar dan mengikatnya dalam sebuah status yang serius, yaitu menikah. Aku mencoba hal yang sama, tetapi hasilnya nihil. Jalannya memang tidak pernah mulus. Aku masih berada di garis start, sedangkan mereka sudah berbaris dan akan mencapai garis finish.

Satu persatu temanku mulai mengirim undangan pernihakan. Aku 26 tahun masih sibuk membaca, menulis karya fiksi dan berkhayal sebagai salah satu tokoh fiksi yang mendapatkan pasangan yang sempurna. Entah hidupku yang terlalu santai atau mereka yang berlomba-lomba siapa yang menikah lebih cepat? Aku tidak paham. Hidupku masih begini saja nothing special.

Ponselku berdering diikuti dengan suara Haechan yang mengalun lembut sebagai nada dering. Aku suka sekali suara pemuda itu karena sangat khas dan mudah dikenali. Pantas saja, Erna, teman satu profesi denganku sangat tergila-gila dengan member NCT yang satu itu.

"Halo?" sapanya diseberang sana dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur. "Disuruh Mama balik, mbak. Katanya, mau ada acara."

"Mas Bian juga balik," lanjutnya. "Aku nggak tahu mau ada apa. Pokoknya disuruh balik gitu aja."

Setelahnya tidak ada lagi percakapan karena Yoga menutup telpon secara sepihak sebelum aku protes. Mama tahu aku tidak akan mengangkat telponnya di hari kerja makanya beliau memerintahkan Yoga untuk menelponku tengah malam. Padahal aku sudah menyogoknya dengan uang jajan tambahan tiap dua minggu sekali dan menyuruhnya untuk mengatakan kepada Mama bahwa aku baik-baik saja. Yoga tahu jadwalku sampai bulan depan bahwa aku tidak bisa diganggu, tetapi dia selalu mengkhianatiku. Yoga hanya menginginkan uang tambahan mingguannya saja.

Kekesalanku dengan Yoga belum hilang. Paginya masalah mulai datang mengantri di pintu menunggu untuk diselesaikan jika sudah begini, aku sempat berfikir Mama mendoakanku yang tidak-tidak. Setiap kali aku mengabaikannya selalu muncul masalah baru seolah menyuruhku untuk tidak menjadi anak durhaka.

Aku memang takut dikutuk jadi batu tapi tidak begini caranya. Masalah baruku baru saja datang tanpa permisi. Moza, kucing berwarna coklatku mogok makan dan berakhir harus tinggal di klinik untuk beberapa hari karena masalah pencernaan. Sorenya aku diceramahi oleh Angelin melalui zoom mengenai masalah novelku yang akan terbit dan ada beberapa revisi serta bagian yang perlu ditambahan dan dikurangi. Satu terselesaikan dan yang lain ikut datang.

"Aku udah baca bab kamu yang terakhir tapi ..." Angelin menggantungkan kalimatnya diikuti suara ketikan keyboardnya. "... agak nggak nyambung yang pas Ratna datang. Langsung tiba-tiba begitu. Coba kamu tambahin awalan apa gitu biar nggak bingung soalnya kesannya kayak loncat langsung ke arah sana."

"Iya, mbak, nanti aku tambahin."

Agak jeda lama disana. Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba suasananya menjadi sunyi.

"Aku kirim lagi revisi ini ke email kamu. Sorry untuk bulan ini masih online gini aja soalnya aku masih di luar kota."

"It's okay, mbak. Aku juga nggak keberatan."

Sebuah Penantian di Ujung Cerita (Short Story/End)Where stories live. Discover now