"Dhuha adalah rasa syukurmu terhadap nikmat Allah. Segala rejeki dari mulai bernapas sampai tidur nyenyak itu patut disyukuri, patut disedekahi. Tinggalkanlah pekerjaanmu antara waktu matahari mulai terangkat naik kira-kira sepenggalah hingga sedikit menjelang masuknya waktu dzuhur. Dalam tubuh manusia itu ada tiga ratus enam puluh ruas tulang dan setiap ruasnya wajib dikeluarkan sedekahnya. Semua itu cukuplah dengan mengerjakan dua rakaat salat dhuha." Demikian nasihat sang ayah semasa hidup.

Begitu selesai salat, Senna mematut diri di depan cermin. Rambut-rambut tipis mulai tumbuh di wajahnya dan Senna menyukai itu. Ia tidak terlalu terobsesi pada jambang lebat seperti kedua kakak laki-lakinya, tapi juga tidak suka wajah yang terlalu bersih.

"Rio ...," panggil Senna sesampainya di dapur.

Rio tidak menyahut panggilannya. Senna hanya menemukan dua piring nasi goreng di atas meja makan.

"Rio di mana kamu?" Senna mendekat ke kamar tamu dan mengetuk pintu.

"Tunggu sebentar!" Rio menjawab dari dalam.

"Kamu sedang apa?" Senna bertanya, memasang kuping di daun pintu tapi tidak mampu menangkap suara apa pun dari dalam.

Perlahan, dia membuka pintu dan melongok ke dalam. Apa yang Senna lihat kemudian membuat matanya membelalak.

Rio sedang berdiri membelakanginya. Selembar sarung melilit pinggangnya dengan sembarangan. Telapak tangannya melebar di dua sisi daun telinga, menyerupai sikap takbir. Hanya saja, ada sesuatu yang membuat Senna tidak bisa membiarkan Rio melanjutkan salatnya. Arah kiblat yang diambil Rio keliru.

"Tunggu sebentar ...," cegah Senna. Suaranya mengejutkan Rio sampai pemuda itu melompat saking kagetnya.

"Wuaaahhh! Jangan masuk!" seru Rio.

Senna tertawa melihat Rio merapat ke tembok sambil menutup wajah karena malu.

"Nggak apa-apa. Nggak usah malu. Arah kiblat kamu salah." Senna berhenti melangkah karena tidak ingin Rio lebih malu lagi. Pria itu duduk di tepi tempat tidur. "Sudah ambil air wudhu?"

Di balik telapak tangannya, Rio mengangguk.

"Kemarilah."

Rio memperlihatkan wajah dan pipinya yang merona merah.

"Kemari kataku." Senna mengulang perintahnya sekali lagi.

Rio memberanikan diri melangkah selangkah demi selangkah mendekati Senna.

"Pungut sarung itu dan bawa kemari." Senna menambahkan.

Rio menurut. Kini, dengan sarung yang menjuntai, dia menghadap Senna.

Senna tersenyum biasa, tetapi tampak begitu menggoda di mata Rio. Pikirannya mulai melayang, hingga tidak mampu beradu tatapan dengan bola mata Senna yang memesona. Fokus penglihatannya kemudian beralih pada bibir Senna yang tersenyum indah, yang tepat di tengahnya membelah segaris belahan dagu. Bagaimana bila bibir yang indah itu mengecup bibirnya? pikir Rio.

"Rio!" Senna menggertak karena Rio sedikit pun tidak merespons apa yang dia katakan.

"Maaf," ucap Rio.

"Kamu muslim?" tanya Senna lembut.

Rio mengangguk.

"Bisa salat?"

Pemuda itu mengangguk lagi.

"Tapi nggak bisa pake sarung." Senna menahan senyumnya. "Maaf. Kemarilah, berikan sarung itu kepadaku."

Ragu-ragu, Rio menyerahkan ujung sarung kepada Senna, Senna menerimanya dengan senang hati. Dibentangkannya sarung itu setinggi pinggang, kemudian direndahkannya sampai lutut Rio, terdapat sebuah ruangan di antara bentangan sarung tersebut. "Masuklah ke dalam."

SENNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang