Kabar dan buket kesedihan - 26 Februari 2022

7.5K 1.1K 274
                                    

Budayakan follow sebelum baca~

Anw, POV Radipta part 2 udah ada di karyakarsa, janlup cek di profil aku @baeforlyfee

Happy reading! 🤍

•••

"Pameran Alin mau dateng?"

"Gak tau.... kamu dateng, Nay?"

"Dateng kayaknya, gak enak udah diundang. Kalo kamu ikut mending kita bareng aja."

"Nanti malem aku kabarin, deh, kalo jadi."

"Okee. Aku tutup. Jangan lupa porto fisikaaa."

Aku bergumam mengiyakan sebelum sambungan telepon terputus. Tak langsung kembali mengerjakan portofolio, kini kubuka roomchat Radipta untuk mengiriminya pesan.

Ku ketik beberapa kata, lalu ku hapus lagi karena ragu untuk menanyakan apakah ia pergi ke pameran Alin atau tidak.

Aku tak tahu bagaimana hubungan mereka sekarang. Tapi bila memang sudah baik-baik saja pasti Alin juga mengundangnya.

Akhirnya tak ada satupun kata yang ku kirim padanya. Aku memutuskan akan membuktikan langsung besok. Bila diundang pasti ia datang, kan?

Aku besok ikut, Nay.

•••

"Wow, rame banget,"

Aku menutup payung dan menaruhnya di ujung ruangan, di tempat khusus payung-payung pengunjung lain tersimpan.

Hujan deras mengguyur kotaku dari sejam yang lalu. Awalnya aku dan Nayya tak ingin datang karena tak mungkin kami naik motor menerjang hujan, tapi karena Papa Nayya libur dan sedang senggang, jadilah mereka datang untuk menjemputku ke rumah.

"Ini kita dateng ngapain aja, ya? Malu, kayak kita doang yang masih anak sekolahan."

Ucapan Nayya ku respon dengan anggukan. Di sekeliling kami terdapat pria dan wanita yang mengenakan jas dan dress, seperti sudah berumur membuat kami ragu untuk masuk ke dalam.

Tak ku kira acaranya akan se-resmi ini.

Kami menghampiri penjaga di depan pintu seraya menunjukkan kartu undangan. Ia mempersilahkan kami masuk dengan wajah seperti kebingungan. Mungkin baru kami anak sekolahan yang datang kesini.

"Harusnya kita dateng akhir-akhir aja."

Nayya mengangguk. "Emang temen-temennya Alin gak pada dateng apa, ya? Ini kita beneran kayak anak ilang."

Aku terkekeh kemudian menarik lengan Nayya untuk menepi. Kami pura-pura asik mengamati lukisan seperti yang lainnya agar tak terlihat aneh kalau celingak-celinguk.

Sejauh mata memandang, aku belum menemukan lukisan milik Alin. Memang ia punya nama lain sebagai seniman yang belum ku ketahui apa itu, hanya saja aku sudah hapal ciri khas lukisan miliknya, jadi tak perlu mengecek pun aku akan tahu bila ada karyanya disini.

Baru satu ruangan kami jelajahi. Selain lukisan, sosoknya pun tak tampak sedari tadi. Kami ragu hendak beranjak ke ruangan lain karena semakin dalam, semakin banyak pria-pria berjas tadi.

"Kita samperin Alin, kasih selamat, terus pulang."

"Setuju!"

Satu Cerita Untuk KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang