Cuma pelampiasan? - 30 Oktober 2021

9.6K 1.2K 268
                                    

Budayakan follow sebelum baca~

Happy reading! 🤍

•••

Kalau ditanya apakah ada waktu atau masa yang ingin diulang, aku akan dengan lantang meminta agar kami kembali ke kelas sepuluh. Masa-masa kami masih enjoy dengan pelajaran dan bisa bermain dengan bebas tanpa ada beban seperti kelas dua belas sekarang.

Dan selain itu, kelas sepuluh masih jauh dari kata perpisahan.

Mungkin nanti kami akan tetap bisa berhubungan via chat atau bertemu dua kali setahun ketika libur kuliah, tapi tentunya tak akan seintens sekarang, kan.

Kami punya kesibukan masing-masing. Seiring bertambahnya waktu, prioritas orang makin berganti sesuai dengan apa keadaan yang mereka jalani. Aku tak tahu apakah akan menemukan orang-orang seperti mereka lagi di dunia perkuliahan nanti.

Achal berkata aku mulai banyak perubahan semenjak masuk SMA. Aku lebih banyak bicara dan lebih ekspresif dibanding ketika SMP. Aku sadar perubahan itu, dan satu-satunya alasan adalah karena aku bertemu dan berteman dengan mereka. Mereka yang selalu membantu, mengajarkan, memberi saran, merangkul, dan menemani di setiap keadaan.

Memberi pemahaman pada diriku tentang arti pertemanan yang sesungguhnya.

Dan ketika itu semua hilang, mungkin Renjana yang dulu akan kembali lagi. Yang tertutup, yang lebih banyak diam, yang hanya tersenyum kecil dengan kepala mengangguk tiap disapa orang-orang.

Mungkin Renjana yang hidup akan kembali menjadi Renjana yang redup.

"Kalo udah lulus masih bisa gini, gak, ya..."

Itu suara Adhia kala kami tengah tiduran di bawah kasur yang terlapisi karpet seraya menonton sebuah film barat tentang persahabatan lewat proyektor.

"Harus, sih..." Nayya bergumam seraya menyedot ingusnya dengan mata berkaca-kaca melihat scene beberapa orang berpelukan di film tersebut.

"Siapa, nih, yang milih film begini. Bikin mewek aja,"

Puspa menyenderkan kepala pada Kayla dengan ekspresi manyun, sedangkan Kayla hanya duduk tegak dengan memeluk lutut tanpa mengeluarkan air mata meski dari rautnya juga terlihat sedih.

Kondisi Nisha sendiri tak jauh berbeda dengan Adhia dan Nayya, barusan ku lihat air matanya keluar dan dengan cepat ia menghapusnya.

Dalam pertemanan kami, Nayya dan Adhia itu paling cengeng, lalu disusul aku dan Nisha yang lebih netral, kemudian baru Puspa dan Kayla yang super wajah tembok. Cara mengekspresikan kesedihan kami memang berbeda-beda, tapi ku yakin sekarang isi hati kami sama.

"Guys," Nayya mengubah posisi tidurannya menjadi telungkup menghadap kami. "Kalo nanti pisah harus sering-sering main ya pas liburan. Kalo ada apa-apa tetep cerita di grup, pokoknya jangan sampe berubah, deh!"

Kayla tertawa melihat Nayya berbicara dengan susah payah seraya menahan tangis. Air matanya berderai dimana-mana, membuat Puspa menyodorkan tisu mendekat padanya.

"Lap dulu ingusnya, Nay." serunya jahil padahal matanya juga berkaca-kaca.

Proyektor sudah mati, menandakan film sudah berakhir. Ketika ending tadi, kami terlalu terbawa suasana sampai ketika ada scene mereka berpisah, kami berpelukan bersama.

Untung Puspa sudah merekam kegiatan kami, rasanya ingin cepat-cepat ku lihat ketika kami berpelukan karena pasti lucu sekali bila diedit dengan lagu-lagu sedih.

"Kalian serius gak mau nginep aja?" tanya Nayya ketika melihat Kayla sudah hendak memasukkan botol minumnya ke dalam tas. "Nginep, dong!"

"Aku ada bimbel nanti malem." ujar Kayla.

Satu Cerita Untuk KamuOnde as histórias ganham vida. Descobre agora