2. Siapa dia?

28 10 0
                                    

•••

Keesokan harinya, sekolah berjalan seperti biasanya. Aku pun berusaha melupakan kejadian kemarin dengan cepat dan kembali ke kegiatanku. Belajar, istirahat, praktek, lalu istirahat lagi. Semua orang tentu saja menikmati waktu istirahat mereka. Benar, semua orang kecuali aku.

Duk! Aku tersungkur ke lantai saat tak sengaja mengenai kaki dari siswi di sana. Semua orang menertawakanku yang terjatuh, tak terkecuali dengan siswi yang kakinya kutabrak.

"Malu-maluin aja," ucapnya. Bisa kutebak kalau dia sengaja membuatku terjatuh tadi.

Aku menghela napasku dan berniat berdiri. Tiba-tiba saja sebuah uluran tangan muncul, tapi aku langsung menepisnya dan pergi dari sana. Aku tidak akan jatuh pada jebakan yang sama. Yah, lagi pula siapa orang yang mau membantuku yang menyedihkan ini?

"Tunggu," cegahnya. Suara lembut, namun berat ini terdengar begitu merdu ditelingaku. Aku menoleh ke belakangku dan melihat jalan jembatan penghubung yang sedang kulewati. Oh? Tanpa sadar aku sudah berjalan sejauh ini.

"Kamu, kenapa kamu gak melawan mereka?" tanya siswa laki-laki yang berdiri sejauh 3 meter di depanku.

Aku terdiam sejenak melihat ketampanan yang dimilikinya. Rahangnya yang tegas, bibirnya yang tipis, mata bulat yang terlihat begitu polos, tapi memiliki tatapan yang cukup tajam.

"Siapa, ya?" tanyaku yang memang tidak mengenalinya.

Atmosfer di sekitar kami tiba-tiba berubah. Wajah tampan itu terlihat lesu. Huh? Kenapa dia terlihat tersinggung? Apa salah aku bertanya?

Aku pun tanpa sengaja melihat tangan kanannya yang memiliki gelang hitam yang terlilit di pergelangannya. Ah, itu adalah tangan yang berusaha membantuku tadi. Apa dia orang yang sama? Apa dia merasa iba padaku atau hanya memiliki maksud lain?

"Azka, Azka Prasaja," ucapnya dengan lembut sembari menatapku dengan mata bulatnya itu. "Aku teman sekelasmu."

Ah, siswa yang duduk di kursi di belakangku, pantas saja aku merasa familiar dengan wajahnya. Aku memang tidak pintar mengingat wajah dan nama seseorang, jadi aku sulit untuk berteman. Terlebih siswa satu ini memang jarang kulihat di kelas. Bagaimana bisa aku mengingatnya?

"Apa ada yang bisa kubantu?" tanyaku.

"Kamu, kenapa gak melawan tadi?" tanyanya.

"Memangnya kenapa?"

"Kamu kan bisa aja ngelawan dan bikin mereka jera!"

Aha... Apa dia berusaha menjadi pahlawan kesiangan?

"Kamu iba padaku?" tanyaku dengan senyum remeh.

"Apa?" Azka terlihat kebingungan dengan maksudku dan mulai berjalan mundur bersamaan denganku yang berjalan maju menujunya. Tentu saja aku tidak akan mendekatinya, aku tidak mau phobiaku kambuh.

"Kau bertingkah seakan kau mengerti apa yang kurasakan. Sekarang, apa kau bahkan benar-benar berniat membantuku?" tanyaku dengan tegas.

Jika dia benar teman sekelasku, dia seharusnya sudah mengetahui tentang diriku yang dibully sejak pindah ke sekolah ini. Namun, tak sekalipun aku pernah melihatnya membantuku saat dibully.

"Te-tentu saja," jawabnya dengan gagap dan raut cemas.

"Kurasa, lebih baik kamu menyelamatkan dirimu sendiri terlebih dahulu." Aku tersenyum kepadanya, lalu berbalik dan pergi dari sana.

Aku tidak bisa menyalahkannya soal ini. Jika dia membantuku, mungkin dia akan ikut dikucilkan di sekolah ini. Aku tidak bisa membiarkan orang lain masuk ke dalam masalahku.

Hiraeth - The Weakest Soul Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin