Pokoknya Aa harus ke Bandung

3 0 0
                                    

“Pokona mah Aa kedah nyempetkeun ka Bandung? Karunya Enih tos ngantosan wae. Ke wengi Darmo ngajemput Aa ti Sukabumi.” (“Pokoknya Aa harus ke Bandung? Kasihan nenek sudah nunggu. Nanti malam Darmo jemput Aa dari Sukabumi). Begitulah ibuku mengakhiri pembicaraan di telepon dengan nada ultimatum kepadaku. Ibu memang keras, kalau sudah menginstruksikan sesuatu hal, maka semua anaknya harus nurut. Jangan coba-coba melanggar, bisa jadi bahan ceramah selama setahun.

Aku menghela nafas bingung. Antara memenuhi instruksi orangtuaku atau tetap di Parung menemani Nicky. Sudah empat hari berlalu sejak dia kambuh malarianya. Sebenarnya kondisinya berangsur membaik, bahkan dia sudah bisa berjalan sendiri tanpa bantuan tongkat, meskipun harus sebentar-sebentar berhenti. Masih terasa sedikit ngilu katanya.

“Siapa yang telepon Di? Kok, jadi diam?” Suara Nicky membuyarkanku dari lamunanku.

“Orangtuaku di Bontang. Mereka menyuruh aku ke Bandung. Nenekku pengen ketemu aku katanya.” Jawabku.

“Asyiik! Aku ikut dong. Boleh ga, Di? Aku kan belum pernah ke Bandung.”

Aku kaget dengan tanggapannya itu. Ngga nyangka banget. Jadi tidak langsung kujawab, hanya memandang naik turun dari wajahnya ke kakinya. Jujur saja aku senang dengan permintaannya itu.

“Kenapa Di? Bakal ngerepotin ya, kalau aku ikut?” tanyanya muram, karena aku hanya diam saja.

“Nggg…. Ngga sih, tapi kamu kuat ga nanti?” tanyaku sangsi, mengingat kesehatannya dan keadaan kakinya yang belum normal 100%.

“Ya kuatlah, naik bis dari Medan ke Jakarta tiga hari dua malam aku kuat. Masa ke Bandung yang cuma sebentar aja ga kuat?” Katanya meyakinkan.

“Bukan gitu, Nick. Aku sih cuman mengkhawatirkan kondisi kamu aja.”

“Ga papa kok, Di. Aku sudah sehat. Nanti biar aku gantiin kamu yang nyetir motor kalau kamu capek.” Katanya.

“Hahahaha……. Aku kalo ke Bandung ga pernah pake motor, Nick. Ngapain nyusahin diri, banyaknya bis dan kereta.” Aku tertawa ngakak. “Lagian sopir tanteku dari Sukabumi mau jemput aku nanti malam.” Jelasku.

“Ooh….” Katanya agak malu, tapi masih kelihatan antusias. “Jadi aku boleh ikut ga nih?”

“Ya sudah, kalau memang mau ikut, siap-siap aja, empat hari kita di sana. Mungkin si Marjo datang jemput habis Maghrib.”

“Dingin banget ya, Di.” Kata Nicky, begitu mobil keluar dari gerbang tol Pasteur, masuk ke kota Bandung sekitar jam sebelas kurang beberapa menit.

“Iya kalau malam. Tapi siang hari panas juga sih”. Kataku menjelaskan. Sepanjang jalan menuju rumah Nenekku aku baru melihat bagaimana lugunya Nicky. Seperti orang kampung yang baru masuk ke kota, terkagum-kagum. Padahal menurutku, Bandung tuh ga hebat-hebat amat, biasa aja lagi. (Sory buat orang Bandung, aku berpendapat begitu karena aku empat tahun lebih kuliah disana).

Akhirnya sampai juga di rumah. Letaknya di dekat balaikota jalan merdeka. Ga jauh dari BMC (Bandung Milk Center). Harus masuk ke dalam gang, sehingga mobil diparkir di jalan depan gang bersama mobil2 lain yang memang sudah terparkir sepanjang jalan itu.

Nenek (dari ayahku) yang sudah menunggu di teras depan langsung menyambutku dengan peluk cium sambil ngomel, kenapa baru datang sekarang, katanya. Kuperkenalkan Nicky kepadanya. Dan setelah bincang-bincang sejenak melepas rindu, nenek menyuruh kami beristirahat di kamar depan.

Malam itu aku ga bisa tidur, penyebabnya adalah karena Nicky tidur satu ranjang denganku. Dia sih kelihatannya bisa tidur nyenyak, karena mungkin kondisinya yang belum fit ditambah lagi lelah setelah perjalanan Parung – Bandung.

Setelah peristiwa itu aku sebenarnya tidak tahu persis bagaimana pendapatnya tentang diriku. Tapi aku ga ingin merusak hubunganku dengan Nicky, sehingga aku mulai berusaha mengubah perasaanku kepada Nicky menjadi perasaan sayang kepada seorang adik. Terasa sulit bagiku, apalagi secara fisik, sosok Nicky adalah sosok yang sangat ideal memenuhi kriteriaku to be my beloved. Ditambah lagi gesture dan personality-nya yang cocok dengan aku. Tapi kupaksakan diriku untuk itu.

Malam ini sepertinya usahaku selama beberapa hari itu sepertinya hampir sia-sia. Sosok Nicky begitu dekat, berada di sebelahku, mudah sekali bagiku untuk memeluknya kalau aku mau. Wajahnya yang tampan begitu dekat denganku. Bibirnya yang sedikit terbuka, seperti kebiasaannya kalau tidur nyenyak, begitu mengundang untuk dikecup. Kuusap dahi dan rambutnya dengan lembut, itu saja yang berani aku lakukan.

Dengan berat hati kubalikkan tubuhku tidur membelakanginya. Tapi baru saja aku memejamkan mataku, kurasakan sebuah tangan memelukku dari belakang. Aku tersentak kaget. Kutolehkan wajahku ke belakang, dan kurasakan hembusan nafasnya yang hangat dan teratur, matanya masih terpejam, tanda bahwa dia masih tidur. Pelan-pelan kuangkat tangannya dari tubuhku, karena rasanya tubuhku ini seperti terbakar. Tapi begitu aku hampir berhasil menyingkirkan tangannya, tangan itu kembali memelukku, lebih erat dari pelukan pertama.

“Nick…” Panggilku perlahan.
“Hmmmm….” Gumamnya.

Ah, dia rupanya sadar dengan apa yang dilakukannya.

Kubalikkan badanku menghadap ke arahnya. Tangannya masih tetap memelukku, sehingga dengan posisi berhadapan, dadaku berhimpitan dengan dadanya, kaki kirinya menindih kakiku. Wajahnya yang tampan dengan mata terpejam persis berada di depan wajahku. Aku tidak bisa menahan diriku. Kukecup dahinya, lalu kedua matanya dan ujung hidungnya yang mancung itu. Matanya masih tetap terpejam, nakal banget dia, pikirku. Sejenak aku ragu, tapi kuteruskan kecupanku pada bibirnya. Dia membalasku dengan ciuman yang lembut, membawaku ke alam yang tak pernah terjamah olehku sebelumnya.

Malam itu adalah malam terindah yang pernah kurasakan. Malam yang mengubah pendapatku tentang kota Bandung.

Tak ada kata yang terucapkan dari mulut Nicky sedikitpun setelah ciuman yang menghanyutkan itu. Matanya terbuka penuh, dan bibirnya tersenyum samar. Oh......., what a beautiful he is. Dan aku tidak ingin momentum indah itu cepat berlalu. Kuelus bagian-bagian wajahnya dengan lembut. Jari-jariku bermain di dahinya, alisnya, kelopak matanya, hidungnya, pipinya dan bibirnya, seakan ingin merekam semua keindahan itu dan mentransfernya ke dalam memoriku yang paling dalam. Sementara itu pelukannya yang bertambah erat dengan kaki-kaki kami yang saling bertindihan menyebabkan bersentuhannya bagian kami yang paling sensitif. Sentuhan yang menyebabkan sensasi yang luar biasa, seperti mengalirnya listrik dengan voltase yang sangat tinggi.

Aku tidak sanggup melukiskan dengan lengkap seperti apa indahnya malam itu, karena gelombang demi gelombang gairah seperti melanda kami setiap kali sentuhan dan gesekan terjadi di antara bagian-bagian tubuh kami. Respon spontan alami yang dia berikan kepadaku tidak bisa membohongiku, bahwa ternyata dia juga terhanyut dalam alunan gelombang yang dahsyat itu. Semua hasrat yang selama ini kuendapkan di dasar hatiku, terasa seperti terlepas keluar tanpa sedikitpun yang menghalangi. Tidak cukup kalau hanya dengan selembar kertas untuk bisa mendeskripsikan semua keindahan yang kurasakan pada malam itu. Terbatasnya perbendaharaan kata yang kumiliki mungkin akan membuat gambaran yang sempit jika dibandingkan dengan kenikmatan yang kurasakan sebenarnya. Jika aku melukiskannya dengan merinci setiap kegiatan yang kami lakukan, akan terkesan vulgar dan menghilangkan kesan indah luar biasa yang sesungguhnya.

Di sela-sela kegairahan itu aku sempat berfikir, beginikah mungkin yang dirasakan oleh sepasang pengantin baru yang memadu kasih di malam pertama? Sama-sama belum punya pengalaman, sehingga setiap detik seakan mendapatkan kejutan-kejutan baru dengan merasakan sensasi yang tiada tara. Hal yang selama ini tidak pernah berani aku memimpikannya – mengingat keadaanku.

Akhirnya aku seperti terhempas dalam sebuah pantai yang indah dan sejuk, dengan angin semilir menghembus dan menembus kedalam semua pori-pori di seluruh tubuhku. Terasa lelah tetapi lapang. Ingin rasanya kusampaikan kepada seisi dunia kenikmatan luar biasa yang baru saja aku alami. Aku melihat Nicky telentang menatap ke atas dengan pandangan menerawang dan dada yang naik turun agak cepat menunjukkan nafasnya yang masih terengah-engah. Ketika aku menatapnya, iapun menoleh tersenyum. Tak ada kata terucap, tapi tatapan mata kami seolah menembus ke dalam lubuk hati kami masing-masing. Kubalas senyumannya dan kukatakan : “Thanks.............., let’s sleep.”

Dia meraih tangan kananku sambil membalikkan tubuh telanjangnya membelakangiku. Tanganku dirapatkan didadanya yang telanjang, sehingga aku berada dalam posisi memeluknya dari belakang. Tak terasa air mataku menetes, tidak kuasa menahan rasa bahagia yang meluap.

MY PARTNER - jantung hatiku ....  Where stories live. Discover now