[ 9 ]: Three Bromstick Inn

539 108 2
                                    

Natal tahun ini banyak murid yang lebih memilih pulang ke rumah karena beredarnya terror The Heir of Slytherin. Tapi tidak untuk Audrey, James, dan teman-temannya yang lain. James memilih tidak pulang karena ingin belajar untuk N.E.W.T.s, sedangkan Audrey tidak mau sendiri di rumah. Ia masih canggung jika tak ada sepupunya.

"Sudah siap?"

Audrey mengangguk. Ia melepaskan jepitan pada rambutnya setelah selesai dengan riasan wajah. Dengan pakaian yang tebal untuk musim dingin dan tas selempangnya Audrey siap pergi ke Desa Hogsmeade. Desa tersebut cukup terkenal di kalangan dunia sihir Inggris Raya.

"C'mon, then." Mereka berdua kemudian berjalan keluar dari kamar dan Hogwarts menuju Desa. Audrey membutuhkan ini. Jika ia mengedap lama di balik dinding tinggi Hogwarts bisa-bisa ia gila. Rumor mengenai dirinya seorang Parselmouth cukup tenar. Bahkan para wartawan sampai nekat masuk ke depan gerbang Hogwarts.  Tapi dengan cepat itu semua diatasi oleh Kepala Sekolah dan Profesor. Euphemia dan Fleamont diberi tau oleh Dumbledore. Mereka lantas ke sekolah dan bertemu dengan keponakan satu-satunya mereka. Dan menenangkan pikiran Audrey karena mereka bilang bahwa mereka tidak akan kurang menyayangi gadis itu hanya karena ia seorang Slytherin dan Parselmouth.

"Rubbish!" Sanggah Fleamont mendengar curahan hati keponakannya. "Aku menyayangimu seperti River menyayangimu. Seperti kami menyayangi James."

"Seperti aku menyayangi Lily-flower!" Timpal James yang mendapatkan cubitan maut dari Lily disebelahnya.

Mereka berdua masuk ke dalam sebuah toko. Audrey membaca sekilas mereka berada di Three Broomstick Inn. "Tempat apa ini?" Tanya Audrey asing.

"Tempat andalan semua penyihir." Aleida melepaskan jaketnya karena cukup hangat di dalam sini. "Kau mau apa? Ku pesankan."

"Samakan denganmu."

"Got it."

Aleida menuju tempat pemesanan dan mengantri karena toko cukup ramai kala itu. Audrey memandangi sekitar. Nyaman. "Kau sendiri?" Tiba-tiba suara yang sangat ia kenali terdengar.

"Black!" Audrey reflek bergeser ke pojok menyisakan tempat untuk lelaki itu. "Tidak. Aku dengan Aleida. Ia sedang memesan."

Alis Regulus tampak naik melihat pergerakan gadis itu. Setelah memikir beberapa saat ia akhir duduk di sebelah Audrey dan menyandarkan tubuhnya. "Kau sendiri?" Tanya Audrey balik. "Dimana Rosier dan Crouch?"

"Detensi." Jawab Regulus singkat. Aleida kemudian kembali dengan 2 gelas penuh di tangan. Dirinya sempat terkejut melihat pria itu di sebelah temannya. Ia menyapa Regulus dan bertanya apakah dirinya ingin dipesankan. Regulus sempat ingin menolak, tapi melihat antrian panjang ia akhirnya menerima tawaran itu. "Samakan saja." Pintanya.

"Antrian panjang." Celetuk Audrey.

"Nott adalah gadis baik." Mulai Regulus. "Buktinya ia mau memesankan ku minuman walau antrian panjang."

Audrey mendengus lalu tersenyum, "Aku yakin ia hanya basa-basi."

Regulus hanya mengangkat bahunya enteng, "Deritanya. Jangan suka basa-basi." Tatap lelaki itu.

"Jadi aku harus to the point?"

"Mhm." Regulus mengangguk. "Lebih bagus dan praktis dan mudah dimengerti." Ia lalu mengeluarkan sebuah tas kecil dari kantongnya. "Mau? Isinya manisan." Tawarnya.

Gadis itu merogoh dalam tas kecil yang ternyata memuat banyak sekali makanan. Ia mengambil beberapa. "Aku tidak tau jika kau suka manisan." Ia melahap manisan tersebut.

Tas itu Regulus letakkan di meja depan mereka. "Barty nitip." Matanya tidak beralih dari gadis itu. "Menurutmu aku suka apa?"

Nampak gadis Potter berpikir sejenak, "Coffee. Black coffee, perhaps?"

Sekilas Regulus terkekeh, "Kopi hitam, kucing hitam. . . Apa harus berkaitan dengan hitam?"

Audrey menahan senyuman. Ternyata pria itu sadar ia mendeskripsikannya sebagai kucing hitam. "Bukan salahku. Kau mempunyai nama belakang Black."

"Sure."

Lalu akhirnya Aleida kembali dari antrian. "Salazar!" Ia meletakkan minuman tersebut di atas meja. "Ingatkan aku agar tidak basa-basi dengan orang ini, Audrey!" Pinta Aleida. Ia duduk di depan mereka dan meneguk setengah minumannya. "Damn it! Aku bahkan belum berbincang." Keluhnya.

"You're a good friend." Ucap Regulus.

"Of fucking course. Kau menganggapku teman jika aku menurutimu." Aleida meraih tas yang tergeletak di meja. "Punya siapa ini?" Tanyanya sembari membuka bingkisan manisan.

"Titipan Crouch." Jawab Audrey.

Aleida berhenti mengunyah. "Crouch? Barty Crouch Jr?" Tanya Aleida memastikan. "Mhm. Aneh. Seingatku Crouch alergi pada cokelat." Ia lanjut menguyah cokelat dalam mulutnya.

Audrey menatap Regulus seperti menyuruh pria itu menjelaskan. Tetapi sekali lagi Regulus sangat handal dalam berbagai macam. Salah satunya berbohong. "Barty kalah taruhan dari Evan. Ia memilih makan cokelat."

"Apa pilihan satunya?" Tanya Audrey.

Pria itu tebak pasti gadis di hadapannya tau jika ia sedang berbohong. "Mengerjakan tugas-tugas Evan."

"Sureeeee." Balas Audrey.

Regulus berdeham dan meminum minumannya sampai habis. Lalu pamit pada kedua gadis tanpa membawa balik tas yang berisi manisan 'Titipan Barty'. Aleida dan Audrey melanjutkan obrolan mereka untuk beberapa jam kedepan. Setelah puas mereka akhirnya memutuskan untuk balik ke sekolah. Saat ingin berdiri Audrey merasakan tangannya menyentuh sebuah benda dingin di bangku. Sebuah cincin. Ia mengambil dan menelusuri ukiran cincin tersebut. Mirip milik Regulus Black.

"Cepat, Audrey!"

"Tepat di belakangmu." Ia lalu meletakkan cincin itu di kantongnya dengan aman.

Common Room sangat berantakan. Itu semua sebab dari Regulus Black. Cincin miliknya hilang. Mengapa ia bisa teledor? Ini bukan dirinya. Ia tidak pernah teledor. Audrey dan Aleida masuk ke dalam Common Room setelah menikmati makan malam. "God's sake, Black!" Keluh Aleida.

Barty menghampiri dan membungkam bibir Aleida, "Jangan bersuara!" Bisiknya. "Kau barangkali lihat cincin miliknya? Ia tidak berhenti mengacak-ngacak Common Room. Bahkan setiap kamar sudah ia datangi."

"Kenapa tidak pakai accio?" Tanya Aleida balik. Barty menggeleng menjelaskan bahwa Regulus sendirilah yang memantrai cincin itu agar tidak bisa dipakaikan accio. Salahnya sendiri.

Audrey menggeleng. Bukan menjawab pertanyaan Barty, tetapi mendengar kelakukan Regulus Black. Ia menghampiri Regulus yang duduk di kursi. Tangannya memegangi rambut hitam miliknya seakan berpikir keras. Pria itu merasakan gadis Potter mendekat, "Not now, Potter." Ucapnya serak.

"Aku hanya—" Audrey merogoh kantongnya dan mengambil tas kecil milik pria itu dan cincin. "Jangan teledor lain kali." Audrey meletakkan keduanya di hadapan Regulus.

"Thank Merlin!" Barty jatuh berlutut dan bersujud seakan habis menang perang.

"Kau seharusnya berterima kasih padaku, Crouch." Celetuk Audrey.

Barty bangun dari sujudnya dan berpose seperti menyembah gadis itu. "Thank you, Milady." Ucapnya seperti berbicara pada keluarga kerajaan.

Audrey hanya terkekeh pelan dan naik ke kamar disusul oleh Aleida. Sedangkan Evan dan Barty duduk di hadapan Regulus.

"Enam belas tahun kita berteman. Teledor bukanlah sebutanmu." Celetuk Evan.

"Kau tau Evan? Regulus kita mulai teledor saat bertemu dengan gadis Potter." Ucap Barty tertawa.

"Shut up."

hi!

niatnya udah dari beberapa
hari yang lalu untuk update
cerita ini tapi aku selalu
ketiduran terus habis
maghrib:(

The Last Great Pure-blood Dynasty | Regulus BlackWhere stories live. Discover now