BAGIAN (27)

4.2K 535 120
                                    

Kavin tertunduk di pojok kamar apartemen nya sambil menundukan kepalanya, wajahnya tenggelam dikedua lututnya. Sejak kepulangannya dari rumah sakit Kavin yang kalut akhirnya memilih pulang ke apartemen berniat menenangkan diri. Namun bukan ketenangan yang di dapatkan, ia justru kian terpuruk ketika mengingat kembali kenyataan yang harus memaksa berakhirnya hubungannya dengan Jevin.

Kavin menangis sejadi jadinya layaknya orang gila. Berteriak memberontak tak terkendali. Apartemen nya bahkan sudah tak beraturan seperti kapal pecah. Pada akhirnya Kavin pun memberontak, mengamuk namun seorang diri, melampiaskan kesakitannya dan amarahnya pada benda tak bersalah yang ada.

Dadanya sesak, sakitnya sungguh luar biasa. Kavin merasa bukan hanya kehilangan Jevin namun juga kehilangan anak yang Jevin kandung yang seharusnya itu adalah anaknya.

Kenapa berakhir seperti ini? Kavin lebih dulu memiliki Jevin! Jevin miliknya! Kenapa pada akhirnya Jevin harus jatuh ke pelukan ayahnya sendiri dengan begitu mudahnya hanya karena sebuah perjodohan sialan.

Kenapa?!

"Arghh!!"

Prang!!

Lagi. Lampu tidur di atas meja kini menjadi sasaran selanjutnya dari amarah Kavin. Lampu tersebut terlempar dengan malangnya ke lantai.

"Sialan lo Jevin. Kenapa lo gak tolak perjodohan itu dari awal! Kenapa lo lebih milih daddy daripada gue!" Teriak Kavin tak terkendali sambil menangis hebat.

"Daddy.. Kavin benci daddy! Daddy ambil apa yang Kavin punya! Daddy sialan!" Amuk Kavin semakin menjadi jadi. Kini kaca lemari pun menjadi sasaran tinjunya hingga pecah dan menimbulkan luka pada tangan Kavin. Darah segar keluar, menetes dengan perlahan dari jari jari tangannya yang ia gunakan meninju kaca tadi.

Ini adalah titik terberat yang pernah Kavin alami seumur hidupnya. Ia bahkan tidak menyangka jika kehilangan Jevin mampu membuatnya gila. Mungkin ini akibat obsesinya yang terlalu besar terhadap Jevin. Selama ini Kavin tidak perah memberikan kesempatan Jevin untuk memberontak, Jevin selalu dikukung dalam belenggunya, sehingga saat Jevin telah benar-benar lepas dampaknya justru pada Kavin.

Kavin memandang betapa menyedihkan nya dirinya saat ini pada cermin remuk di depannya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian tertawa layaknya orang gila setelah memandangi dirinya di cermin. Selanjutnya Kavin mengambil kunci mobilnya dan pergi dari apartemen yang hancur seperti kapal pecah.



****

Sudah seminggu setelah kejadian itu, Kavin kini hilang kabar, tidak pulang ke rumah dan tidak masuk kuliah. Jevin yang tau, ia bisa menebak kalau Kavin pasti berada di apartemen, tapi Kavin bahkan benar benar hilang kabar. Ponselnya tak bisa dihubungi, Kavin lenyap bagai ditelan bumi setelah hari itu.

Diam diam Jevin merasa khawatir dan terus memikirkan Kavin. Jevin bukan memikirkan Kavin dalam konteks orang yang dia cintai, tidak. Mengesampingkan perasaannya sendiri, Jevin memang khawatir dengan kondisi Kavin setelah apa yang terjadi diantara mereka kemarin. Jevin tau Kavin pasti sakit menerima kenyataan, tapi Jevin pun tidak bisa terus menerus memikirkan perasaan Kavin tanpa memikirkan perasaannya sendiri.

Sekarang Jevin gelisah, Kavin tidak ada kabar dan menghilang, Jeremy bahkan tidak merasa risih atas menghilangnya sang anak, Jeremy pikir Kavin hanya sedang sibuk mengurus kuliah yang semakin mendekati ketulusan, jadi dia tetap santai. Disamping itu, Jeremy tidak pernah tau drama percintaan Jevin dan Kavin yang sangat menguras tenaga dan mental. Jeremy bagaikan orang bodoh yang tidak tau apa apa tentang rumah tangganya.

"Vin, lo kemana. Lo baik baik aja kan." Gumam Jevin khawatir. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Kavin namun tetap tak ada jawaban.

--

Mommy Boy (markno) [Slow Update(!)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang