18a

3K 173 3
                                    

Menjelang senja, saat matahari hanya tinggal menyisakan sinar orange keemasan yang membias indah di ufuk barat tepi bumi.
Rumah megah ini masih sama seperti saat terakhirku tinggal di sini enam tahun yang lalu, tidak ada yang berubah dari bentuk dan juga penempatan furniture-furniture yang ada di dalamnya.

Sunyi, lengang, tanpa kebersamaan yang saling mengikat antara saudara yang satu dengan yang lainnya. Hanya para pekerja pengurus rumah yang terlihat ada, bahkan mungkin rumah ini seperti milik mereka sendiri, karena lebih banyak waktu yang mereka habiskan di rumah ini dibandingkan dengan pemilik rumah itu sendiri.

Aku memang merasa dibebani oleh tanggung jawab yang sangat besar. Saat ini bukan waktunya memikirkan diri sendiri. Ada puluhan ribu pekerja yang bergantung pendapatan di Niskala group. Itu dahulu yang akan aku prioritaskan. Keberlangsungan bisnis usaha group Niskala. Usaha warisan kakekku.

Tidak banyak waktuku hari ini. Selesai mandi langsung berencana menjenguk Papah di rumah sakit. Pria paruh baya yang dulu sangat kubenci, tetapi tidak bisa kupungkiri jika pernah terbersit rasa rindu ingin bertemu dengannya.

Toni, sopir yang merangkap pengawal pribadiku dulu, sudah kuminta untuk kembali bekerja bersama denganku lagi, dan saat ini kami berdua sedang menuju ke Rumah Sakit Omni tempat papah dikabarkan sedang dalam keadaan kritis.

"Bagaimana keadaan di Sudirman, Ton, siapa yang menggantikan posisi papah selama sakit?" tanyaku kepada Toni.

"Bukan hanya sebelum sakit, Pak, jauh sebelumnya pun Pak Alex yang sering mengambil alih keputusan strategis menyangkut bisnis perusahaan," jelasnya.

"Papahnya sendiri kemana?"

"Semenjak Pak Riswan pergi, beliau pun sudah jarang terlihat ke Sudirman, entah kemana. Jadi Pak Alex yang sering berada di kantor pusat. Bahkan sekarang, Pak Alex sudah mulai menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk menduduki tempat-tempat strategis di dalam Niskala group," jelas Toni, sembari sesekali menoleh ke arah kaca spion.

Om Alex, adik kandung papa, pamanku. Sedari dulu memang sudah sangat ambisius ingin menduduki jabatan-jabatan yang strategis di perusahaan, memanfaatkan hubungan persaudaraannya dengan papah. Lalu pelan-pelan ingin menguasainya.

"Kamu sendiri bagaimana Ton, sudah menikah?" tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, sudah ada anak satu, Pak. Usia tiga tahun, Bapak sendiri bagaimana?"

"Anakku sudah dua malah, seandainya saudara-saudara istriku mau bersikap baik, sepertinya kehidupan kemarin lebih menenangkan buatku."

Sambil menghidupkan handphone baru yang kuminta pada Toni untuk membelikan sebelum dia ke rumahku, dan mulai memasukkan beberapa nomor yang kuanggap penting.

"Mohon hati-hati, Pak," ucap Toni.

"Maksudnya?" tanyaku, belum paham.

"Orang dalam kita menginformasikan, tidak lama lagi Pak Alex akan mengangkat dirinya sendiri sebagai Direktur menggantikan Pak Muchtar yang sakit-sakitan. Lewat dukungan orang-orangnya sendiri. Pak Riswan dianggap sudah tidak ada andil buat perusahaan. Mungkin, jika Pak Alex tahu nanti Pak Riswan datang, sepertinya dia pun bisa kena jantungan."

"Dipta masih ada di Sudirman, kan?"

"Masih, Pak. Hanya Buk Dipta sekarang mulai disingkirkan kebagian umum, orang-orang yang loyal kepada bapak dulu semua sudah diganti, bahkan sebagian ada yang dikeluarkan," jelas Toni.

"Tolong kamu kabari nanti mereka satu per-satu Ton. Bilang, saya sudah kembali aktif. Minta mereka untuk kumpulkan segala informasi dan data-data, juga siapa saja orang-orangnya Om Alex, buat saya pelajari nanti," ucapku, lalu teringat dengan keluarga kecilku.

'sedang apa keluarga kecilku'

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Where stories live. Discover now