7a

4.2K 240 6
                                    

Part 7 A

Kedua putriku, Yuli dan Neti, sudah terlihat cantik dan lucu, memakai baju muslim dengan warna yang senada, hijab ungu motif bunga-bunga macam Princess Muslimah.

Gamis terusan berbahan halus berwarna coklat muda dengan ujung lengan melebar, juga hijab hijau tua dari kain yang ku-kreasikan sendiri, menjadi pakaian yang kupilih untuk memenuhi undangan dari pabrik pengolahan teh tersebut.

Dari dalam jendela rumah, sudah terlihat para tetangga dengan pakaian rapih dan bagus mulai berangkat menuju tempat yang sama.
Undangan pabrik besar tersebut menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam dua hari terakhir, karena hal ini belum pernah terjadi, selama pabrik mulai berdiri di desa ini.

Tertulis juga di situ jika setiap kepala keluarga yang hadir akan menerima paket sembako lengkap dan uang akomodasi dari pihak perusahaan, juga ada sedikit rasa penasaran dari warga yang ingin mengetahui seperti apa isi dalam pabrik dan siapa pemilik pabrik tersebut.

"Sudah siap buat jalan-jalan?" tanyaku kepada kedua putriku, yang memang jarang pergi kemana-mana.

"Ciap ibu," jawab si bungsu Neti, sembari melompat-lompat gembira, sementara si sulung Yuli terus saja mengibar-ngibarkan baju gamisnya.

"Kakak suka dengan bajunya?" tanyaku pada si sulung, berjongkok di depannya.

"Suka Ibu, bagus banget," jawabnya ceria.

"Ibu ... Ibu," panggil si bungsu, Neti.

"Apa, Adek?" tanyaku, sembari merapikan hijabnya yang sedikit miring.

"Dedek jayan-jayan, mau ketemu ayah yah, Bu?" tanyanya polos. Aku terdiam, aku bingung harus menjawab apa, hanya bisa tersenyum tanpa mampu menjawab pertanyaan di bungsu.

"Assalamualaikum." Terdengar suara salam dari depan pintu, dan aku tahu, itu suara dari salah satu orang kantor perkebunan tersebut, yang setiap kali mengirim uang ataupun sembako, dia selalu ada.

"Waalaikum salam," jawabku, sembari berjalan dari ruang tengah ke ruang tamu depan untuk membukakan pintu.

"Mas Aris, ada apa, Mas?" tanyaku kepada orang kantor perkebunan Mas Aris. Karena saking seringnya dia ke rumah ini guna mengantar sembako ataupun pemberian uang, sampai-sampai aku kenal dengan namanya, dia pun mulai mengenal ke dua putri-putriku.

"Maaf, Teh, saya diminta sama pimpinan untuk menjemput, Teteh," jawab Mas Aris, seorang perantauan dari Semarang yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di PT perkebunan ini.

"Tidak usah repot-repot, Mas, saya dan anak-anak bisa berangkat sendiri dengan menumpang ojek," jelasku, menolak halus ajakannya.

"Jangan atuh, Teh, kasihan Yuli dan Neti, kepanasan di jalan. Lagi pula, jika pimpinan saya tahu Teteh naik ojek nggak bareng saya, nanti saya bisa-bisa dipecat, Teh," jawab Mas Aris, dengan logat yang sudah sedikit terpengaruh oleh bahasa suku asli daerah ini. Selalu saja itu alasannya, takut dipecat, jika aku tidak mau mengikuti ataupun menolak pemberian dari Perusahaan. Jujur saja, aku benar-benar penasaran, siapa orang yang sudah menyuruh Mas Aris melakukan ini semua.

"Tetapi saya jadi tidak enak ini Mas Aris, sudah merepotkan, malah pakai dijemput segala," dalihku lagi, mencari alasan.

"Jangan jadi tidak enak, Teh. Jika Teh Risma tidak mau, berarti Teteh tidak kasihan sama anak istri saya. Jika saya dipecat nanti anak istri saya makan apa, Teh?" ucapnya, sembari memasang wajah sedih. Lucu dan agak sedikit lebay Mas Aris ini.

"Makan nasi lah, Mas, masa makan batu," sergahku, mencandainya. Mas Aris langsung tertawa.

"Ayuk, Teh Risma, kita berangkat sekarang?" ajaknya, aku mengangguk mengiyakan, lalu segera memanggil kedua putriku, sekalian meminta mereka untuk mematikan televisinya.

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang