16b

3.4K 188 8
                                    

Jam sembilan pagi, musholla yang rencananya akan digelar pernikahan antara aku dan Risma, sudah terlihat beberapa orang yang berkumpul. Tidak dalam jumlah banyak, karena memang dilakukan dalam keadaan darurat.

Aku sudah berpakaian rapih, dengan menggunakan kemeja putih dan peci hitam, sementara kehadiran Risma belum juga terlihat. Kawan dekat Ustaz Arief yang akan menikahkan pun baru saja hadir, dan langsung menuju musholla. Perencanaan benar-benar dilakukan secara mendadak dan darurat.

Berjalan beberapa menit, Risma belum juga terlihat di musholla. Aku, dan semua yang ikut menghadiri terlihat sudah gelisah. Disergap rasa takut, jika Risma tidak jadi datang.

Terdengar seperti suara sedikit ramai dari teras musholla, Aku pun menoleh cepat ke arah pintu masuk, dan terlihat Risma datang dengan dipandu oleh Umi Hasanah. Semua serba putih, dari hijab hingga gaun yang dikenakan. Cantik memesona, dengan sapuan makeup yang natural pada wajahnya.

Masuk dengan wajah menunduk. Demi Tuhan, aku terpesona. Sepertinya Umi Hasanah sengaja merahasiakan ini kepadaku. Pantas saja jika Ustaz Arief terlihat tenang-tenang saja.

Aku mulai duduk berhadap-hadapan dengan penghulu, juga saksi-saksi di sisi kiri dan kanan. Ustaz Arief yang akan menjadi wali nikah Risma. Dari sudut mataku, calon pengantinku mulai terlihat menangis, dia sibuk menghapus air yang menggenangi kelopak matanya. Sepertinya, dengan ketidakhadiran satu pun anggota keluarganya, itu yang menjadi penyebab kesedihannya.

"Bagaimana, saksi-saksi sudah ada?" tanya Bapak penghulu.

"Sudah, sudah ada," jawab Ustaz Arief.

"Mas kawinnya sudah disiapkan?" tanya penghulu kepadaku.

"Sudah, Pak," jawabku cepat.

"Tolong dikeluarkan," ujar beliau. Lalu aku segera mengeluarkan cincin emas seberat tiga gram dan seperangkat alat salat.

"Sepertinya semua sudah siap. Untuk wali nikah pihak perempuan?" tanya beliau lagi, dan Ustaz Arief yang rencananya akan menjadi wali
lantas berucap

"Sa--"

"Saya yang akan menjadi wali nikahnya, Pak!" suara cepat memotong ucapan Ustaz Arief terdengar dari pintu masuk musholla, dan membuat kami semua menoleh ke arahnya.

"Kang Darman!" Suara calon pengantinku berteriak, saat melihat siapa yang datang dan bersedia menjadi walinya.

Pengantinku menangis terisak, berdiri lantas memeluk pria bernama Darman tersebut. Mereka saling bertangisan. Pria itu pun menangis, tetapi disempatkan untuk menghapus buliran air mata di pipi calon istriku. Umi Hasanah dan beberapa santri wanita yang menyaksikannya pun ikut menangis.

"Terima kasih, Kang, terima kasih," ucap si calon mempelai sembari terisak-isak, dan Kang Darman langsung berjalan mendekati kami, jemarinya pun sibuk mengapus genangan air di matanya, dan duduk tepat di sampingku sembari berucap

"Saya Darman, Kakak Kandung dari calon mempelai. Biar saya sendiri yang akan menikahkan adik saya dengan pria pilihan hatinya."

"Baik, jika begitu acara pengucapan Ijab dan Qobul sudah bisa dilakukan," ucap Penghulu.

"Assalamualaikum." Suara salam kembali terdengar dari pintu masuk musholla. Sekali lagi kami semua menoleh ke arah datangnya suara tersebut.

"Emakkk ...." Calon mempelaiku semakin terisak.

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang