26. CRQX 29? Pogrom (1)

24 13 30
                                    


Bagaimana caranya harus melukiskan perasaannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Bagaimana caranya harus melukiskan perasaannya. Di saat keheningan terusik oleh suara derit bangku yang baru saja ditarik dari kolong meja makan, entah mengapa rasa kesepian di tengah kesunyian yang menyergap pun turut menyeruak. Menyusup masuk secara perlahan dengan Heiran sadari yang berujung membuat ekspresinya terlihat bingung, hingga guratan halus di tengah dahi tampak mengisi ruang kosong di sana seraya membuat kedua netranya turut memicingkan penglihatannya.

Malam itu, masih di hari yang sama di mana pagi ini keduanya baru tiba di Paris setelah hari pertunjukan orkestra di London, Heiran kembali di temani dengan suasana yang lengang. Tidak memperhatikan waktu yang telah bergulir menggantikan sang surya dengan bulan. Duduk termangu, memperhatikan makan malamnya yang telah siap terhidang di atas meja makan dan ditata rapi dengan pisau serta garpu yang berada di kedua sisi piring berisi steik yang siap digunakan, lengkap dengan sebukat bunga mawar putih dengan ikatan pita berwarna merah muda di tengah meja dengan nuansa candle light dinner sebagai pemanis.

Seulas senyum miring menggantung di salah satu sudut bibir Heiran. Entah bagaimana ia harus bereaksi. Antara perasaan kecewa dan ingin marah akan hilangnya eksistensi Suhaa malam itu yang lebih membiarkan Heiran menikmati makan malamnya seorang diri ataukah sebuah perasaan hangat karena ucapan yang tertulis di atas secarik kertas kartu ucapan berwarna senada yang membuat Heiran bersemu.

Begitu keduanya menghabiskan waktu yang cukup panjang dan membuat Heiran kewalahan hingga terlelap menjelang senja, sosok itu kini semakin melelehkan perasaan Heiran. Bahkan yang tertulis di sana, semakin membuat hati seorang Heiran Aishley Sargas berdesir. Menerbangkan kupu-kupu di dalam perutnya kembali beterbangan.

Terima kasih telah menerima hukumanmu dengan begitu luar biasa. Aku menyukainya dan bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Maaf aku tidak bisa menjadi sosok yang harusnya kau temukan begitu kau membuka kedua matamu yang indah di balik selimutmu yang hangat. Tapi untuk menebus hal itu, aku telah memasakan steik yang enak untukmu. Dua jam. Aku akan segera kembali.

Your baby violin
Suhaa

Heiran akhirnya pun menggelengkan kepalanya, tersenyum. Meletakkan kartu ucapan tersebut, lalu bermonolog.

“Dua jam-mu pasti akan melebihi batas seperti biasanya,” ucapnya mengingat kebiasaan Suhaa yang selalu melewatkan batas waktu yang prianya minta sendiri dan melanggar janjinya. Sehingga Heiran sudah terbiasa. Namun, ia cukup menyayangkan karena nuansa hangat tersebut harus ia lewati seorang diri dengan bunga pemberian kekasihnya itu.

***

Di dalam ruang kerjanya yang bernuansa putih dan tampak lengang, Hobie tampak menikmati cairan berwarna kuning kecokelatan di dalam gelas kristalnya seorang diri. Sedikit menggoyangkannya seraya menyandarkan dirinya untuk duduk tepat di tepi meja kerjanya.

Dalam balutan sweeter turtle neck-nya yang berwarna hitam dengan bawahan panjang yang berwarna senada, ia terlihat merenung memikirkan sesuatu di mana netranya yang tampak kosong itu hanya tertuju pada cairan yang tampak terombang-ambing di dalam sana. Seperti perasaannya yang jujur sulit untuk dijelaskan.

Lebih tepatnya, sesuatu yang pagi ini baru ia dengar bersama Hyeri begitu mendapat jawaban dari hasil pemeriksaan wanitanya. Dalam diamnya, Hobie seolah tampak memikirkan, bagaimana ia harus menghadapi masalah ini.

Masalah yang sebenarnya tidak bisa dibilang juga begitu sederhana dan sepele. Masalah yang pada akhirnya menjebak keduanya dalam situasi yang tidak mengenakan. Sepulang dari rumah sakit, Hobie lebih banyak memilih untuk tidak berinteraksi dengan Hyeri yang begitu tiba di rumah, emosinya terus meledak bersamaan isak tangis. Jujur, Hobie terlalu bingung untuk menenangkannya sehingga ia tidak bisa bersikap dan bereaksi seperti apa pun karena sungguh, Hobie merasa begitu kecewa akan Hyeri yang kemungkinan tidak bisa memberikannya keturunan.

Hal yang begitu dituntut sebagai kesempurnaan oleh kedua orang tua Hobie. Termasuk mungkin saja menjadi aib bagi keluarga Hyeri sendiri akan ketidakmampuan putrinya untuk memberikan seorang pewaris bagi Hobie.

Hanya dalam sekali teguk bersamaan dengan helaan napas lelah sekaligus muak, Hobie menandaskan minumannya dengan frustrasi. Bahkan tidak menyadari kehadiran Hyeri yang kini tampak terlihat begitu tenang dari situasi sebelumnya yang pada akhirnya membuat Hobie memilih menghindar agar tidak terjebak dalam perdebatan yang belum dimulai pun membuat kepalanya pening.

Tanpa menghiraukan eksistensi wanitanya, Hobie sekali lagi mengisi gelas kosongnya hingga menempati setengah ruang. Kali ini menyesapnya dengan perlahan dan begitu menikmati rasa yang tertinggal di dalam indra perasanya. Membiarkan Hyeri yang kini tampak melangkah mendekati dirinya dan masuk ke dalam ruang privasinya.

Menjatuhkan tubuhnya tanpa meminta izin dengan begitu santai di atas kursi yang biasa Hobie gunakan untuk duduk dan menyelesaikan pekerjaan yang tersisa dengan segera. Masih dalam posisi memunggungi, Hobie tak sedikit pun memiliki niatan untuk membuka percakapan pertama kali.

Bahkan hanya dengan melirik ke arah Hyeri, ekspresi istrinya yang tampak resah dengan perasaan menyesal pun kini tergambar jelas di wajahnya. Menunduk dengan meremas kedua jari-jemarinya dalam pangkuan untuk mengumpulkan keberaniannya menghadapi Hobie yang bila marah, suaminya lebih terkesan irit bicara. Atau bahkan memang sengaja untuk memberi ruang bagi keduanya untuk menenangkan dan mengendalikan emosi masing-masing.

Hobie melipat tangannya. Masih memegang gelas kristal berisi wiskinya dan kembali meminumnya dengan perlahan. Hingga suara Hyeri yang begitu lemah mengusik rungunya.

“Mianhae Oppa. Aku telah mengecewakanmu hingga Oppa memilih diam dari pada menanggapiku yang jujur ....” Hyeri tercekat. Tak mampu melanjutkan ucapannya di tengah napasnya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Begitu sulit menumpahkan segalanya di antara kemelut badai yang masih bergemuruh di dalam hatinya.

Akan tetapi, bagaimana pun kesadaran Hyeri berusaha menyuruhnya untuk mengakhiri situasi yang pelik ini. Mencoba mengerti bahwa bukan hanya dirinya saja yang kecewa. Namun, juga suaminya yang mungkin telah berharap banyak darinya. Sedangkan Hobie, masih menikmati minumannya dan memilih untuk mendengarkan. Menyadari deru napas Hyeri yang masih tampak tidak stabil dengan suaranya yang bergetar. Namun, masih Hyeri paksakan agar keduanya tetap membicarakan hal ini.

Dengan menelan salivanya, Hyeri melanjutkan. “Aku yakin kau juga merasa sulit untuk menerima ini.”

Tanpa menciptakan jeda, Hobie pun langsung menanggapi keresahan istrinya yang jujur sama beratnya dengan perasaannya.

“Ketimbang diriku, mungkin dirimu yang jauh lebih sulit menerima ini.” Hobie tersenyum miris. Menertawakan sesuatu yang sepertinya tekanannya bukan berasa dari bisa atau tidak bisanya Hobie memiliki anak. Namun, lebih ke arah orang-orang yang selama ini mendesak keduanya. “Ah ... mungkin juga tidak hanya itu. Kenyataannya, baik diriku dan juga dirimu, kita sama-sama tertekan akan ucapan orang tuaku, bukan?”

Entah apa yang Hobie pikirkan, tatapan kosongnya seolah turut mengimbangi ucapannya. Secara sadar menguak fakta yang menjadi penyebab tekanan bagi keduanya.

Hyeri pun mendongak. Mengangkat kepalanya untuk menatap suaminya yang masih terlihat memunggungi dirinya. Visualnya yang tampak samping terlihat begitu lelah dan juga frustrasi. Aura yang jujur, membuat Hyeri terintimidasi. Bahkan seketika itu kepercayaan dirinya yang selama ini begitu melekat kuat pada diri Hyeri pun untuk pertama kalinya runtuh. Tidak menyisakan apa pun yang kini terlihat rapuh.

“Tapi, bukankah dokter telah memberikan saran terbaik? Jika hanya masalah keturunan, dengan cara apa pun, kita bisa mendapatkannya, bukan? Termasuk bila ... kita harus melakukan program bayi tabung.”

Seketika itu, Hobie terkekeh. Menertawakan pemikiran Hyeri yang terdengar sederhana. “Kau pikir, ayah dan ibu akan menyetujuinya dengan mudah sesuai harapan dan pemikiran sederhana kita? Mengingat ... kau tahu, kan ... kesempurnaan begitu dituntut dalam keluarga ini termasuk cara bagaimana kita harus mendapatkan bayi itu. Kecuali, kau begitu yakin ibu akan berpihak atas keputusanmu.”

Hyeri menelan salivanya yang entah kenapa tiba-tiba saja terasa begitu sakit. Baru saja ucapan Hobie meruntuhkan harapannya. Dengan perasaan ragu, Hyeri pun seketika itu berpikir ke arah yang lain. Begitu penasaran akan pilihan yang dipilih oleh wanita yang kini telah tergantikan posisinya.

“Heiran. Apa ia juga merasakan hal seperti ini? Mengingat pernikahanmu dan juga dirinya hanya berlangsung lima tahun.”
Hobie kembali tertawa. Kali ini semakin terdengar menyedihkan dari pada sebelumnya. Dengan sekali tenggak, Hobie untuk kedua kalinya telah menandaskan minumannya. Meski kesadarannya masih terjaga. Namun, tanggapannya terdengar seperti mabuk yang sialnya, untuk sejenak, Hyeri merasakan perasaannya begitu dipahami oleh suaminya.

“Jika kau menanyakan hal ini, meski aku tidak ada niatan ingin membuatmu terluka, tapi sepertinya kau telah siap mendengar jawabanku.”

Hobie kali ini menoleh. Kala itu netra keduanya saling bertemu. Terpaku selama beberapa saat di mana dalam waktu yang singkat itu, Hyeri bisa melihat kabut kelabu tampak menyusup ke dalam bola mata suaminya. Hingga suaminya kembali memalingkan wajah ke arah lain dan memutus kontak mata keduanya. Akan tetapi Hyeri masih menjatuhkan atensi penuhnya di sela ucapan suaminya yang berhasil membuat hatinya mencelus. Tidak siap mendengar kebenaran akan perasaan suaminya.

Dengan tidak begitu yakin dan perasaan ragu, Hobie pun melanjutkan. Mengingat kembali bagaimana suasana hari itu yang kenangannya masih sanggup menggetarkan hatinya.

“Heiran ... bahkan juga dirimu ... bagiku kalian sosok wanita yang begitu baik. Tidak ada yang salah akan keberadaan kalian. Hanya saja, keberadaan kalian di sini ... dalam keluarga ini adalah kesalahan.”

Hyeri mengerutkan kening begitu menyimak secara saksama apa yang ia dengar. “Maksudmu?”

Dari balik bayangan punggungnya yang kini terlihat oleh Hyeri, Hobie mengulas sebuah senyuman hangat. Kedua netranya tampak teduh, meski hanya melihat gelas yang ia genggam. Tetapi di waktu bersamaan, ada luka yang Hobie tutupi dengan baik di balik benteng yang ia bangun. Sehingga tak satu pun yang bisa menjangkaunya lebih dalam.

“Wanitaku ... bagiku Heiran begitu cantik. Begitu baik.”

Hobie menjeda sejenak. Menghela napas seraya membayangkan sosok itu dalam kepalanya. Termasuk sentuhan terakhir yang berhasil ia curi dari Heiran di kala terlelap. Bukan hanya kening, bahkan bagaimana eratnya pelukannya yang berhasil mendorong naluri seorang Hobie menginginkan lebih dari hal itu. Hanya bisa mencuri satu kecupan di bibir dan sisanya ia hanya menghidu aroma khas seorang Heiran yang masih terpatri jelas dalam ingatannya. Membuat Hobie pada akhirnya mengepalkan tangan dengan perasaan yang sulit untuk diartikan.

Segera Hyeri mengalihkan pandangannya. Mengerjapkan kedua netranya yang telah berembun. Entah apa yang kini ia rasakan. Namun, Hyeri berhasil menghakimi dirinya yang masih bertahan duduk di sana.

Padahal baru saja, suaminya begitu memuji sosok wanita yang Hyeri akui begitu hebat dalam bermusik. Tidak seperti dirinya yang hanya mengandalkan otaknya yang cerdas, tetapi terkurung dalam sangkar emas seorang Hobie. Tidak boleh bekerja dan hanya melayani suaminya sebagai seorang istri dan juga ibu rumah tangga yang selalu berada di rumah, nyaris dua puluh empat jam.

Hyeri tersenyum miris. Tahu bahwa ia akan mendengar ini cepat atau lambat. Dan itu adalah hari ini.

“Bagiku ... dia adalah kesempurnaan yang melengkapi duniaku dari kelamnya dunia seorang Benetnasch. Dia terlalu baik, sangat baik,” tekannya lagi sejernih apa yang Hobie rasakan. “Dia, bagiku ia adalah wanita yang begitu pengertian. Tekanan yang ia alami, bisa dibilang sama dengan yang kau alami mengenai keluargaku.”

Atau bahkan melebihi. Tatapan Hobie mendadak sendu. Akan tetapi ia tetap menyampaikan apa yang harus Hyeri dengar. “Bagi keluarga Benetnasch, seorang pewaris sangat diperlukan untuk mempertahankan sekaligus meneruskan garis keturunan. Heiran, dia selalu berusaha memenuhi harapan itu demi diriku.”

Lalu, tiba-tiba saja gelak tawa yang begitu menyayat dan miris memecah kesunyian. Membuat Hyeri kembali memandang ke arah Hobie dengan perasaan tidak mengerti.

“Kau tahu? Hidupku dari aku menikahi Heiran, hingga kau yang menggantikan posisinya tidak pernah berubah. Masih dalam tuntutan yang sama dengan tatanan otoriter, kehadiran seorang anak dari diriku sendiri. Seperti kehidupan seorang kaisar zaman dahulu di suatu negara yang di pagi hari dengan kegagahannya ia harus dipaksa menjalankan sistem pemerintahan yang ada untuk kesejahteraan rakyat dan di malam hari, ia harus menggagahi permaisurinya dan menebar benih hanya untuk meneruskan garis keturunannya serta demi keberlangsungan dinastinya.”

Meski tidak begitu mengerti. Namun, Hyeri memahami benar akan maksud analogi tersebut. Dengan susah payah ia menelan salivanya yang serasa menyumbat tenggorokannya, akan tetapi mendadak ia berdenyut nyeri. Dari penuturan implisit itu, Hyeri begitu paham akan posisi Hobie. Lelah. Suaminya begitu lelah akan tekanan yang ada. Sampai-sampai, bila suaminya boleh memilih, mungkin Hobie pada akhirnya akan pasrah dan memilih menyerah.

Hyeri masih menyediakan rungunya. Tidak sedetik pun bibirnya mampu menyela. Entah apa yang kini sedang bergemuruh di dalam dadanya, sungguh, mengapa ekspresi Hobie kini terlihat begitu menyakitkan di matanya. Sehingga Hyeri pada akhirnya hanya bisa bungkam. Tidak bisa melepaskan masa lalu yang membawanya hingga berakhir di sini. Tentu itu pun juga karena pilihannya yang terlalu percaya diri.

“Heiran tidak pernah memaksaku untuk menuntut haknya, nafkah batinnya. Hanya diriku saja, yang selalu membuatnya lelah. Tekanan ini membuatku frustrasi. Tanpa aku harus menjelaskan, kau tahu kan menciptakan bayi tidak semudah membalik telapak tangan di tengah stres yang menyiksaku. Bahkan kami telah mendiskusikan hal yang sama. Jalan paling mudah untuk mendapatkan seorang bayi bahkan aku pernah berpikir licik untuk membuat kehamilan palsu lalu mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan. Tapi ... lagi, kesempurnaan begitu dijunjung tinggi dalam keluarga ini. Hingga inilah yang kita rasakan sekarang.”

Hobie kembali bangkit berdiri. Mengisi gelasnya yang telah kosong lalu meminumnya kembali. Bukan hanya untuk satu gelas, akan tetapi ia telah menandaskan untuk ukuran tiga gelas sekaligus. Sengaja ingin menenggelamkan dirinya yang telah muak akan kondisi ini. Hingga otot lehernya terasa kaku. Sedikit pun tidak ada kelonggaran bagi dirinya untuk menghirup sedikit udara bebas. Meski secara harfiah, tidak seperti maksud sebenarnya.

Kali ini Hobie sedang dikuasai setengah kesadarannya yang membuat tatapan jernihnya kini terlihat begitu sayu. Dengan mengandalkan pinggiran meja, Hobie menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu di sana dan menahan berat tubuhnya yang terhuyung. Lalu memandang ke arah Hyeri yang kini tengah menatapnya dengan derai gerimis.

Benar, tanpa sadar kedua bola mata Hyeri meluruhkan air mata. Tidak bisa menyaksikan suaminya yang begitu tersiksa. Belum tekanan dari keluarganya, bahkan Hyeri sadar, sikapnya juga turut menuntut Hobie yang jelas selama ini Hobie berusaha menahan diri agar tidak membentaknya. Tapi ia tidak tahu, Hobie sehancur ini di dalamnya.

Dengan menyeret tubuhnya secara perlahan, Hobie kali ini duduk di atas meja tepat di hadapan Hyeri. Meraih wanitanya agar bangkit berdiri dan semakin merengkuhnya lebih dalam. Dengan senyumnya yang tampak begitu menggoda, Hobie mengusap paras istrinya dengan tatapan intens. Begitu sayu. Namun, tersirat hasrat di sana.

Hyeri sontak menegang. Merasakan hatinya berdesir hingga gelenyar hangat baru saja menuruni dadanya. Hingga sebuah kecupan sekilas di bibir telah Hobie hadiahkan untuk Hyeri. Dengan lembut, Hobie pun berbisik.

“Aku sudah mengatakan akan mencobanya. Aku masih sadar untuk melakukan ini.”

Dengan gerakan samar nan tipis, Hobie kembali merengkuh wanitanya lebih dalam. Menyentuhnya melebihi apa pun yang bisa Hyeri bayangkan hingga keduanya melebur dalam kehangatan yang begitu gila. Beradu sentuhan untuk berbagi kenikmatan malam hari itu. Meski di akhir, di mana Hobie benar-benar kehilangan kesadarannya, satu kalimat itu membuat perasaan Hyeri runtuh. Dengan deru napasnya yang masih memburu, Hyeri menggigit bibir bawahnya, menahan isak tangisnya agar tidak terdengar.

“I love you, Heiran-ie.”

Hyeri hanya bisa tersenyum miris. Menertawakan dirinya sendiri akan kebodohannya. Baru saja apa yang telah ia lakukan mirip seperti seorang jalang di mana, lagi, Hobie tidak pernah melihatnya. Namun, jujur di antara kekesalannya terhadap suaminya, terselip ingatan mengenai hangatnya Hobie yang menyentuhnya, di mana sialnya Hyeri begitu menyukainya dan merutuk di waktu bersamaan. Bersabar, ya, sepertinya Hyeri harus bertahan sebentar lagi untuk mendapatkan hati suaminya.





























Emang susah ngadepin orang gamon yag... btw thanks dah mau mampir yag.

Jangan lupa voment😍😍😍
Kalo sepi ramein... siapa tahu tar dpt gift special dari aku❄❄❄😘😘😘
See u next saturday yag

RetrouvailleWhere stories live. Discover now