15. Escape (1)

31 9 30
                                    


“Terima kasih kau telah membantuku,” ucapnya berterima kasih dengan sopan seraya membukakan pintu mobilnya untuk seorang wanita berdarah Perancis dan Rusia itu, Vivian Stefan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Terima kasih kau telah membantuku,” ucapnya berterima kasih dengan sopan seraya membukakan pintu mobilnya untuk seorang wanita berdarah Perancis dan Rusia itu, Vivian Stefan. Berjalan saling bersisian setelah latihan selesai.

Tanpa penolakan, wanita tersebut langsung masuk ke dalam mobil begitu saja ketika sang pemilik telah mempersilakan. Tidak ada rasa sungkan ataupun malu akan ajakan bersahabat tersebut. Wanita itu hanya tersenyum sebelum sang pria menutup pintunya guna memberi tumpangan.

“Sama-sama. Aku juga tidak keberatan untuk hal yang melebihi ini.”

Suhaa hanya membalasnya dengan seulas senyum tipis disertai anggukan begitu mendengar reaksi rekannya. Sebelum pada akhirnya, ia berjalan melewati bagian depan mobilnya dan berakhir duduk di bagian belakang kemudi. Langsung dengan memasangkan sabuk pengaman, Suhaa pun menanggapi.

“Seperti biasanya, kau terlalu percaya diri.”

Bukan kali pertama, wanita tersebut bersikap seperti ini. Hingga Suhaa sendiri pun juga terkejut akan hal tersebut. Seperti sekarang ini, Vivian sengaja mendekatkan dirinya dengan bergelayut dan mengaitkan lengannya pada lengan Suhaa begitu sang pria selesai memasang sabuk pengamannya. Sungguh, bukan hal yang aneh bagi Suhaa ketika keduanya duduk bersisian di dalam mobil seperti ini dengan Vivian yang selalu bersandar padanya. Seolah lengan kekarnya adalah suatu sandaran ternyaman melebihi apa pun.

Wanita itu mengamati paras prianya untuk sejenak. Di tengah keheningan yang menyelimuti dengan diamnya yang masih memperhatikan, dalam hati ia mencoba mengingat. Entah sudah berapa tahun terlewat sejak hari kelulusan. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak merasakan bahu yang hangat itu. Meski sebentar. Namun, sensasi yang begitu hangat tersebut, jujur, Vivian sedikit pun tidak pernah melupakannya. Justru menciptakan getar rasa rindu.

Bahkan hari ini. Tetap saja, jantungnya akan semakin berdebar cepat di kala wanita tersebut berada di dekat Suhaa. Meski tidak terlalu dekat, akan tetapi hanya berada dalam satu ruang dengan jarak jangkau netranya yang masih bisa melihat Suhaa, wanita tersebut sudah panas dingin karena gugup.

Tanpa sadar, seulas senyum simpul terukir sejenak diparas Vivian. Sungguh, ia juga tidak menyangka akan datangnya hari ini. Merasakan hangatnya lengan itu kembali dengan kedekatan yang cukup intens. Takdir seolah kembali memainkan perannya. Mempertemukan keduanya kembali dalam sebuah orkestra besar. Suatu momen yang begitu sempurna bagi keduanya yang seorang musisi.

“Asal itu di depanmu ... sepertinya akan terus seperti itu,” tandas Vivian menanggapi dengan penuh percaya diri. Sepertinya, tanpa sadar ia begitu bahagia bila berada di dekat Suhaa. Sama seperti dulu, sama sekali tidak ada yang berubah sedikit pun. Walaupun, masih ada satu hal yang menyadarkannya. Posisinya yang tidak akan pernah sama bila bersinggungan dengan Heiran.

Masih dengan fokusnya pada jalanan beraspal yang Suhaa lewati, dengan santainya Suhaa merespons.

“Apa kekasihmu tidak akan marah jika tahu wanitanya bersikap seperti ini dengan seorang pria?”

“Hah.” Vivian menghela napas samar. Lalu mengurai pelukannya dan kembali duduk di posisinya. “Memang apa bagusnya memiliki kekasih ketika karierku sedang bagus-bagusnya? Bukan tidak punya ... tapi hubungan kami berakhir begitu saja setelah ia mengetahui akan diadakannya orkestra ini.”

Kali ini Vivian melipat kedua tangannya di dada. Begitu kesal bila mengingat hal tersebut. Sesuatu yang menyinggung dengan drama percintaannya yang cukup menyedihkan. Sedikit menyesalkan sikap kekasihnya yang begitu keras kepala dan begitu egois. Bersikap terlalu kekanakan dengan segala tuduhan yang baginya cukup tidak mendasar.

Bagi seorang Vivian dan juga sebagai pemikiran seseorang yang seharusnya bersikap lebih dewasa, menjalin suatu hubungan haruslah didasari dengan kepercayaan dan juga komitmen. Tapi, entah apa yang salah dari diadakannya acara orkestra yang diselenggarakan di London. Kekasihnya yang biasanya bersikap begitu lembut, pengertian dan begitu memahami dirinya, sontak berubah dengan sikap yang tiada diduga. Namun, ia mengerti akan satu hal yaitu kecemburuan yang tidak beralasan.

Justru, di saat ia membutuhkan waktu untuk merenung, sepertinya terkadang suatu hubungan juga tidak terlalu baik pula bila diawali dengan kejujuran mengenai masa lalu. Seperti dirinya yang begitu terbuka bahwa ia pernah menjalin hubungan dengan seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu kelasnya.

Alih-alih mendapatkan pengertian dan izin, begitu mendengar akan siapa-siapa saja yang terlibat dalam orkestra, justru prianya memutus begitu saja hubungan keduanya yang telah berjalan begitu lama. Bahkan kebersamaan keduanya serta kepercayaan yang pernah ada serasa lenyap dalam sekejap. Tidak satu pun yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebelum menentukan keputusan.

Awalnya Vivian begitu sedih bila mengingatnya Ketika hatinya sendiri juga merasa tidak siap. Tapi, begitu ia teringat kembali bahwa ia akan terlibat dalam satu orkestra yang sama, mungkin sedikit ia bisa melupakannya. Melihat sedikit celah yang cukup menguntungkan untuk memperbaiki suasana hatinya yang terlanjur hancur. Walaupun tidak terlalu cukup mudah juga.
Di tengah keheningan yang sempat tercipta, Suhaa menyela.

RetrouvailleWhere stories live. Discover now