36. Bapak sama Anak sama aja

10.6K 870 81
                                    

Siapa yang nungguin???
.
.
.

Aku senyum, natap figura foto yang baru aja aku bersihin pakai kemoceng. Foto yang menangkap peristiwa penting dan berharga dalam hidup aku. Di foto itu, aku, Mas Jefran, Saka, keluarga besar kami, semua menampakkan senyum, ikut berbahagia karena gelar yang berhasil aku raih setelah kurang lebih empat tahun aku berjuang untuk mendapatkannya. Gak kerasa, foto itu diambil satu tahun yang lalu, tepat di hari wisudaku. Sekarang aku bukan lagi mahasiswa, aku udah lulus, membawa gelar sarjana yang patut aku banggain, mengingat perjuangan buat dapet gelar itu gak gampang. Banyak waktu dan biaya yang harus dikorbankan. Meskipun setelah lulus aku gak jadi jaksa seperti cita-cita aku dulu, tapi malah jadi ibu rumah tangga, aku gak masalah. Toh ambil pendidikan tinggi-tinggi gak ada ruginya, justru bisa buat bekal aku ngedidik anak-anakku. Malah kemarin-kemarin, Mas Jefran nawarin aku mau lanjut S2 atau enggak, mau kerja di luar atau enggak, tapi buat sekarang ini aku belum tertarik, aku mau urus Saka dulu, mengingat beberapa waktu kemarin, Saka lebih banyak ngabisin waktu sama Mami dan Mama dibanding aku.

“Ibu!”

Aku taruh foto yang aku pegang ke atas bufet pas denger suara Saka. “Kenapa?” Aku lihat Saka masuk rumah agak lari, tadi aku biarin dia main di halaman depan selagi aku bersih-bersih rumah. Omong-omong, Saka udah lancar jalan dan bicaranya cukup jelas dibanding tahun lalu.

“Dadan cana!” Saka menunjuk keluar. Maksud perkataannya adalah jajan di sana.

“Jajan apa? Ibu udah buatin Saka pudding, 'kan tadi pagi, biskuit yang dibeliin Bapak aja masih ada.”

“Dadan! Nta wang.” Jajan, minta uang, katanya.

“Jajan apasih? Tunjukkin ke Ibu.” Saka narik tangan aku keluar. Ternyata di depan gerbang ada tukang bakso tusuk yang udah berhenti. Astaga, anak Mas Jefran ini udah pinter banget berhentiin tukang dagang. Kemarin tukang somay aja dia berhentiin. Gak sekalian tukang vermak levis kamu berhentiin juga nak?

“Mau, catu,” pinta Saka.

Aku hembusin napas. “Bang, dua bungkus, yang satu tiga ribu aja pakai kecap, yang satu lagi kasih saos.” Emang Saka aja yang butuh jajan, aku juga butuh. Setelah dapet apa yang dia mau, Saka lari ke ruang tv sambil bawa baksonya. Dia duduk di sofa dan makan baksonya sambil nonton siaran berita. “Ih anak kecil gayanya udah kayak bapak-bapak.” Aku ketawa sendiri lihat gaya makan Saka yang mirip banget sama Mas Jefran. Dia ngunyah, matanya fokus natap tv seakan-akan paham sama siarannya, udah gitu pas aku ajak ngomong, Saka diem aja.

Muka boleh mirip aku, tapi tingkah Saka lebih banyak mirip Mas Jefran.

“Habis makan bakso, kita mandi ya. Udah jam lima sore,” kataku. Saka masih sibuk nonton dan ngunyah. “Saka sayang, jawab Ibu.”

“Oce.”

Aku geleng-geleng kepala. “Jangan jadi es selanjutnya. Ibu capek harus ngelelehin lagi.”

Aku mandiin Saka setelah baksonya habis. Pas lagi pakein Saka baju di kamar, aku denger suara mobil Mas Jefran. Suamiku udah pulang. “Bapak,” kata Saka yang juga denger suara mobil. Udah hapal banget dia.

“Iya Bapak, bapaknya Saka, suaminya Ibu.” Gak lama Mas Jefran masuk kamar. Aku cium tangan suamiku. “Tumben pulang cepet.”

“Cepet salah, lembur salah.”

“Gak gitu Bapak.”

Tetanggaku Suamiku [END✔]Where stories live. Discover now