14. Mas Jefran

12.9K 1.2K 99
                                    

Malam!

Double up nich!!
.
.
.

Aku dan Mas Jefran sekarang ini duduk berdampingan di sofa, meski jarak duduk kita gak terlalu rapat. Mas Jefran yang minta aku untuk duduk dan membicarakan semuanya secara tenang. Tapi hampir lima menit kita duduk, Mas Jefran belum bilang apa-apa. Cuma ada hening yang melanda. Sampai akhirnya Mas Jefran berdehem, mengintrupsi aku secara gak langsung buat fokus ke dia. “Saya benar-benar minta maaf untuk segalanya Disha. Saya minta maaf karena sikap saya beberapa hari belakangan ini, saya sadar sikap saya berubah. Tapi sumpah demi Tuhan, saya sama sekali gak berniat menyakiti kamu, bahkan berpikir buat menyakiti kamu aja saya gak sanggup. Berubahnya sikap saya kemarin itu karena pekerjaan di kantor. Sekali lagi di sini saya yang salah, saya gak bisa memisahkan pekerjaan di kantor dengan urusan rumah tangga kita yang akhirnya itu melukai kamu tanpa saya sadari.” Mas Jefran nunduk sambil nutupin wajahnya. Pas dia dongak, aku lihat air matanya netes. Astaga, gak aku sangka Mas Jefran nangis. Padahal dari tadi yang berusaha nahan nangis aku.

Mas Jefran natap aku lagi, matanya udah merah banget. “Maaf saya gak bisa seterbuka itu sama kamu sebelumnya. Bukan berarti saya gak mau cerita sama kamu atau berkeluh kesah sama kamu, saya ingin, tapi saya terbiasa nyimpan semuanya sendiri, saya kesulitan buat ungkapin apa yang saya rasa, dipikiran saya kalau saya cerita sama orang lain, orang itu bakal ikut susah dan saya cuma nambahin beban pikirannya.”

“Gak gitu Mas, justru dengan kamu berbagi ke aku, aku jadi tau harus bersikap gimana dan kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng. Sekalipun yang keluar dari mulut kamu itu keluhan, aku mau dengerin.”

“Iya saya salah.” Mas Jefran usap air matanya yang keluar. “Saya mau memperbaiki sikap saya, saya akan belajar terbuka sama kamu.”

“Dimulai dari sekarang bisa?”

Mas Jefran anggukin kepala. Dia narik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Beberapa hari belakangan, saya dan tim ditekan oleh atasan buat ngeluarin inovasi baru. Kita cuma dikasih waktu beberapa hari untuk dapetin semua itu. Padahal bukan hal mudah buat saya dan yang lain untuk lakuin itu di saat kami lagi ngerjain projek lain yang belum selesai. Tapi saya sama tim tetap berusaha ngelakuin apa yang diminta sama pihak atas, tapi begitu semuanya selesai, ide kami dicuri perusahaan lawan, gak tau siapa yang bocorin, yang jelas orang itu pasti dari tim saya. Saya marah banget, tenaga yang saya dan tim keluarin rasanya percuma, kita berangkat pagi pulang malam, bahkan sampai gak pulang, dan hasilnya sia-sia. Perasaan itu kebawa sampai saya pulang ke rumah, saya gak minat buat ngapa-ngapain, ngobrol sama orang lain juga jadi males, napsu makan saya ikut turun, dan tanpa sadar itu semua ikut menyakiti kamu.”

Hati aku yang semula panas dan kesel sama Mas Jefran, perlahan mulai iba sama suamiku.

Mas Jefran natap aku. “Saya iri sebetulnya sama kamu, yang bisa ungkapin secara blak-blakan apa yang kamu rasa, sementara saya gak bisa semudah itu.”

“Kamu juga bisa ungkapin apa yang kamu rasa ke aku, tanpa perlu khawatir kalau aku bakal kerepotan atau kesulitan.”

Mas Jefran gak bersuara, kakinya di bawah sana bergerak gelisah. Aku pegang tangannya supaya dia tenang. “Dicoba.”

“Saya...saya capek, Disha. Saya lelah.” Air mata Mas Jefran turun lebih deras setelah ungkapin perasaannya. Gegas aku peluk Mas Jefran dan usap punggungnya. Ini pertama kalinya aku lihat Mas Jefran nangis. Sebelumnya aku gak pernah ngira kalau cowok berbadan kekar dengan tampang dingin kayak Mas Jefran bisa nangis juga. “Bukan cuma soal pekerjaan, saya juga capek sama diri saya yang kesulitan terbuka sama orang. Saya gak tau ini ada hubungannya dengan posisi saya sebagai anak pertama atau enggak, tapi sejak kecil kalau saya merasa kesulitan, saya gak bisa ngeluh karena saya punya adik, saya dibebankan untuk menjadi kakak yang baik.”

“Jadi kakak yang baik bukan berarti kamu gak boleh ngeluh.”

“Saya cuma mau jadi sosok yang sempurna di mata keluarga, terutama adik saya. Maafin saya Disha.” Mas Jefran balas meluk aku. Dia masih terus nangis di pelukan aku. Pada akhirnya aku ikut netesin air mata.

“Disha Disha.” Mas Jefran ngelepasin pelukannya. Dia mendadak gelagapan.

“Iya, aku di sini. Pelan-pelan aja.”

“Kamu jangan sebut diri kamu tolol lagi ya, karena ini bukan salah kamu. Sejujurnya, saya mencintai kamu, saya emang gak pernah bilang soal itu ke kamu. Karena lagi-lagi saya kesulitan buat ungkapinnya, tapi itu sama sekali gak mengurangi dalam dan besarnya perasaan yang saya punya untuk kamu. Saya gak pernah pacaran, Jina juga selalu bilang saya payah perihal perempuan. Saking payahnya, saya malah minta ke Mama sama Papa untuk dinikahkan dengan kamu, dan minta orang tua saya pakai alibi perjodohan supaya kamu gak nolak. Saya takut kamu tolak waktu itu kalau saya minta secara langsung ke kamu untuk jadi istri saya.” Aku senyum denger penjelasan Mas Jefran soal perasaannya. Aku gak kaget, dan sebetulnya aku udah tahu kalau Mas Jefran mencintai aku dan semua rencana perjodohan yang udah dia buat. Bahkan aku pun tahu lebih dulu mengenai Mas Jefran yang sulit terbuka dengan orang lain sebelum Mas Jefran ngejelasin.

Mama cerita semuanya malam itu di rumah sakit, Mama bilang Mas Jefran kesulitan mengungkapkan perasaannya pada orang lain, hal tersebut berlangsung sejak Mas Jefran kecil. Mas Jefran gak akan mau bilang lebih dulu kalau seseorang gak memaksanya. Begitupula saat Mas Jefran masuk ke masa puber dan mulai mengenal cinta. Mama bilang, tiap malam Mas Jefran duduk di balkon sambil natap ke arah rumahku. Sampai akhirnya Mama tanya, apa Mas Jefran suka sama aku. Jelas Mas Jefran ngelak, dia selalu bilang enggak. Tapi karena Mas Jefran masih belum berhenti juga dan ngelakuin hal yang sama yaitu duduk di balkon sambil natap ke arah rumahku sampai sekian tahun lamanya, Mama nanya untuk kesekian kalinya dengan memaksa. Baru kemudian Mas Jefran jujur, kalau dirinya menyukai bahkan mencintai aku, dan minta dinikahkan denganku ketika Mas Jefran sudah mapan.

Meski Mama udah nyeritain semuanya, aku tetap terharu karena hari ini Mas Jefran ungkapin isi hatinya sendiri, tanpa perantara. “Aku udah tau semuanya Mas.”

Mas Jefran kelihatan bingung.

“Mama cerita ke aku semuanya soal kamu.”

“Tapi kenapa...”

“Kenapa aku pura-pura gak tau? Sengaja, aku mau mancing kamu supaya kamu terbuka sendiri ke aku. Dan akhirnya, hari ini aku denger dengan langsung kamu mengutarakan hal yang gak pernah kamu utarakan sebelumnya. Makasih udah mencintai aku sedalam itu.”

Mas Jefran tiba-tiba nangis lagi, dia meluk aku lebih dulu kali ini. “Maafin saya yang payah.”

Aku ketawa kecil walau air mata masih turun. “Tapi Mas.” Aku ngelepasin diri. “Kemarin aku beneran kesel, sedih, dan capek ngadepin sikap kamu yang gak bisa aku tebak.”

“Maaf...”

“Iya, aku maafin. Tapi kamu harus cobain gimana rasanya jadi aku.”

“Maksudnya?”

“Besok, seharian, aku bakal berusaha gak perduli sama kamu.”

“Jangan aneh-aneh Disha. Tadi pagi sikap kamu berubah aja bikin saya panik.”

“Sehari doang Mas. Lagian pura-pura doang.”

“Gak.”

“Yaudahlah.” Aku ketus jawabnya.

“Oke-oke, sehari aja ya? Pura-pura?”

“Iya sayangku, suamiku, cintaku.” Aku cubit pipi Mas Jefran gemes.

“Saya...saya kangen dipanggil begitu sama kamu.”











Menurut kalian Jefran gimana ges???

Wkwkwk gasabar liat jefran dikacangin Ayu

Tetanggaku Suamiku [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang