bab 5

451 67 2
                                    

Tatkala sinar matahari menembus tirai, bulu mata bak kipas kecil itu perlahan terbuka menunjukkan manik indah pemiliknya. "Ugh..." Matanya sedikit bergetar saat menggerakkan tubuhnya.

Alvin mengerjapkan mata, merasakan rasa nyeri pada bagian bawahnya. Sejurus kemudian, adegan musim semi itu terlintas dalam pikirannya.

Lantas ia terbelalak dan langsung menyibak selimutnya, ia mendelik melihat pada tubuhnya yang penuh bercak merah keunguan, yang warnanya bahkan sudah seperti memar.

Setelah menenangkan diri, matanya berotasi ke segala arah berusaha menemukan sang pelaku utama kekacauannya. 'Kemana perginya bajingan itu?'

Alvin menggigit lidahnya. menahan suaranya yang bocor saat menggerakkan tubuhnya. Alvin dengan susah payah keluar dari kamar mewah itu setelah memunguti pakaiannya.

Tak lupa pula diambilnya satu kartu acak dari dompet di atas nakas. Itu adalah milik pria semalam. "Bajingan... Kuanggap ini sebagai bayaranku!" Umpatnya lalu segera pergi.

Setibanya di rumah, Alvin langsung ambruk di kasurnya yang tidak senyaman kasur di club malam.

Seluruh tubuhnya sakit sampai tidak dapat digerakkan. Terutama pinggangnya yang terasa hampir patah.

Wajahnya ia tenggelamkan pada bantal. Setetes air mata jatuh tak lama kemudian. 'bajingan... Ini menyakitkan. Apa saja yang sudah dilakukannya padaku...?' eluhnya dalam hati.

"...Aduh, pinggangku."

*****************

Tiga hari berlalu, dan Alvin baru bangun dari kasurnya setelah tidur selama dua hari tiga malam.

Selama itu ia sudah mengalami demam parah yang tak berkesudahan. Penderitaan itu baru berakhir pagi ini, jadi Alvin akan mulai bekerja kembali besok.

Alvin melihat bahan makanan yang sudah habis dan memutuskan untuk berbelanja.

Untungnya, kartu yang menjadi bayarannya tiga hari yang lalu, telah menyelamatkan krisis keuangannya.

Entah berapa banyak uang yang ia ambil di ATM. Yang jelas, setelah mentransfernya ke dalam rekeningnya, ia tanpa pikir panjang membuang kartu tersebut ke sungai.

Toh buat apa lagi disimpan? Dia juga bukan orang serakah.

Jadi keesokan harinya, Alvin kembali ke Cafe tempat kerjanya. Ia secara langsung meminta maaf kepada bosnya, karena sudah menghilang selama tiga hari tanpa kabar ketika ia baru mulai bekerja.

Lagipula Alvin juga tidak punya nomor bosnya, jadi bukan salahnya tidak memberi kabar.



Di lain tempat....

Thomas bersama dengan Milles mengendarai motor berboncengan menuju ke Cafe langganan mereka.

"Apa skripsimu sudah selesai, Milles?" Tanya Thomas setelah memarkirkan motornya.

"Haah... Jangan tanya tentang itu. Aku bahkan tidak yakin apakah skripsiku akan diterima." Milles menghela nafas seraya menggeleng pelan.

Thomas terkekeh mendengar keluhan sahabatnya itu. Padahal ia juga tidak yakin dengan skripsinya sendiri.

"Ayolah, jangan suram-suram. Masih ada waktu. Kita bisa mengerjakannya bersama malam nanti."

Thomas menepuk-nepuk bahu Milles. Mereka masuk ke dalam Cafe dan duduk di dekat jendela, seperti biasa.

Transmigrasi Sang PengembaraWhere stories live. Discover now