08 : Friends With Wounds

2.8K 83 13
                                    

Jujur saja, Nara mendadak merasa tidak tenang sejak Jino pergi meninggalkannya untuk menemui sang ayah. Hatinya cemas, entah kenapa rasanya seolah ia akan dijauhkan dari Jino-nya. Nara takut kehilangannya.

Kelas kosong sejak bel masuk tadi jelas membuatnya overthinking secara terus-menerus, seolah keadaan memberikannya waktu untuk terus m memikirkan hal yang sebenarnya sangat tidak ingin ia pikirkan.

Ketukan lembut di mejanya membuat Nara tersadar dari lamunan panjangnya, gadis dengan rambut panjang berdiri di depannya, tersenyum manis sebelum mengatakan, "Ra, gua boleh ngomong sama lo nggak?"

Kareen masih disana dengan senyum lembutnya, hingga Haikal datang dengan suara cempreng, "nggak boleh!" katanya, "dia tanggung jawab gua selama pacarannya nggak ada, bisa berabe gua kalau Jino dateng ni anak kagak ada!"

"Apa-apaan sih lo! Gua cuma mau ngomong doang sama Nara!"

"Nggak bisa!"

Nara menatap keduanya bergantian dengan kepalanya yang semakin pening. Ia menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk tenang, "Kal, nggakpapa. Kalau Jino nyari bilang aja aku ditaman."

"Tapi Ra?"

Selepas meyakinkan Haikal, ia memilih bicara dengan Kareen ditaman belakang sekolah. Nara tidak tau, apa yang akan dibicarakan gadis itu padanya, namun yang ia tau.. itu tidak akan menjadi hal yang baik.

Selama bermenit-menit keduanya duduk di bangku taman dengan canggung, saling diam sambil menatap sepatu masing-masing. Sama-sama sedang bertengkar dengan pikiran masing-masing, mempersiapkan mental dan keberanian untuk kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Sampai Kareen menarik nafas lembut, memulai pembicaraan dengan memanggil nama Nara dan menoleh kearah gadis itu.

Nara menoleh, "iya?" seolah tau ketakutan yang ada dimata gadis itu, Nara tersenyum, "ngomong aja Reen."

"Gua suka sama Jino," katanya tegas sebelum kembali menatap bunga-bunga didepan mereka.

Nara tersenyum getir, hatinya sakit meksipun ia sudah memperkirakannya sejak lama. Namun bagaimanapun Kareen tidak salah, ia hanya korban perjodohan yang dilakukan kedua orang tua mereka, gadis disampingnya ini juga memiliki hati, dia bebas jatuh hati dengan siapapun-termasuk Jino.

"Gua tau ini lancang, tapi Ra.. gua nggak tau harus gimana lagi. Gua suka sama Jino. Sorry.."

Dia kelihatan serba salah, ada rasa bahagia sebab sedang jatuh cinta pada Jino ada juga kecewa karena Jino sudah memiliki Nara disampingnya. Nara melihat itu semua dan sekali lagi, ia merasakan nyeri di hatinya.

"Kamu punya hak untuk suka sama Jino."

Kali ini Kareen memberikan diri untuk kembali menatap mata Nara, menggenggam kedua tangan gadis itu yang terasa berkeringat, "gua mau perjuangin Jino, gua mau berusaha rebut hatinya.." ia tau Nara jelas sakit hati mendengarnya, tapi ia samasekali tidak peduli. Ia sudah tidak tahan lagi berpura-pura tidak memiliki perasaan pada laki-laki yang sudah jelas ia cintai.

"Dan gua harap, saat dia sadar dia juga suka gua.. lo nggak akan nahan dia untuk terus sama lo."


***

Jino tidak juga terlihat sampai pulang sekolah, Haikal yang mengantarnya sampai keaparment mereka, membelikannya makan dan mengajaknya mengobrol untuk beberapa saat, menceritakan hal-hal random yang lucu. Namun sayangnya, Nara sedang tidak berselera untuk tertawa, hatinya terlalu sakit, ia kecewa untuk banyak hal.

Bahkan saat senja menjelang dan Haikal sudah pulang, ia masih termenung dipinggir jendela, menatap jalanan kota yang mulai berbahaya karena lampu dan pengendara.

Apa ia harus menyerah saja setelah mendengar pengakuan yang Kareen katakan. Apa ia harus pergi seperti yang dikatakan Kareen padanya.

Bahkan Nara tidak sadar saat air matanya terjatuh dan membasahi pipinya.

"Aku harus apa, No?" gumamnya sambil menikmati air matanya yang terjatuh hingga tertidur.

Tengah malam menjelang saat Jino pulang dan mendapati Nara tertidur disofa ruang tamu, masih dengan seragam sekolah dan mata yang bengkak. Ia menghembuskan nafas berat dan mengecup kening gadis itu sekilas, duduk dilantai dan memandangi wajah damai itu.

"Maaf ya sayang, kamu jadi nangis gara-gara aku," bisiknya lalu mengangkat Nara untuk masuk kedalam kamarnya.

Jino juga sama berantakannya, bahkan ia juga belum sempat mengganti pakaiannya dan memilih untuk ikut berbaring di samping Nara, memeluk gadis itu dari belakang dan menumpukan dagunya pada puncak kepala Nara.

Pelukannya mengerat dengan perasaan yang seolah tengah diremas, membuat gadis didalam pelukannya menggeliat dan perlahan membuka mata dan langsung membalik tubuhnya.

"Kamu kapan pulang, kenapa nggak bangunin aku?" tanya Nara dengan suara khas bangun tidurnya.

Bukannya menjawab Jino malah memangut bibir Nara, begitu lembut dan hati-hati, seolah ia menyalurkan seluruh kasih sayangnya lewat ciuman itu.

Nara membalas setiap ciuman yang Jino berikan, menarik tengkuk kekasihnya dan membuat ciuman itu semakin panas. Sampai nafas keduanya sama-sama terkuras habis dan melepaskan ciuman.

Jino mengecup kedua mata bengkak Nara, lalu menatapnya teduh "kenapa nangis hmm?"

Nara mengulurkan tangannya, menangkup wajah Jino dengan tangan kanannya, mengusapnya lembut hingga matanya berkaca-kaca, "aku sayang kamu."

Entah kenapa malam ini terasa begitu sangat berat bagi keduanya. Sama-sama menyimpan luka yang belum ingin keduanya buka, menahan sesak hingga rasanya sulit berteriak menyuarakan apa yang dirasa. Seolah hanya sentuhan satu sama lain yang perlahan meredakan.

"Aku lebih lebih lebih sayang kamu, Ra."

Nara masuk kedalam pelukan Jino, mencari kehangatan laki-laki yang selalu Jino berikan disetiap malam. Menyembunyikan wajahnya disana, membiarkan keduanya sama-sama memberikan waktu untuk diri masing-masing dan berdamai dengan pikiran masing-masing, membiarkan detak jantung berdebar berdetak beriringan tanpa sepatah kata.

Sampai Nara merasakan kepalanya diusap dengan begitu lembut, masih sama seperti malam-malam kemarin. Namun anehnya, hatinya malah terasa sakit.

"Ra-"

Kepalanya langsung menyembul keluar, lantas menyentuh rambut Jino, "rambut kamu udah panjang aja," katanya. Ia mengalihkan pembicaraan Jino. Nara takut, ia takut apa yang akan Jino bicarakan adalah hal yang begitu takut untuk ia dengar.

Jino tertawa, "besok temenin aku cukup mau?"

Nara ikutan terkekeh, "jangan dipotong dulu, aku suka liat rambut panjang kamu."

"Tumben nggak maksa aku cukur?"

"Dua hari aja No, abis itu aku anterin kamu cukur rambut."

"Jangankan dua hari, sebulan bahkan bertahun-tahun pun aku jabanin asal kamu seneng."

Nara tersenyum lembut memandang wajah Jino intens, menarik nafas dalam-dalam lalu merapihkan rambut Jino yang sudah menutupi kening bahkan matanya, "pacar aku ganteng banget."

Jino menarik pinggang Nara semakin mendekat, bahkan tubuh keduanya sampai menempel. Jino menjadikan kaki Nara seolah itu adalah guling baginya, "pacar aku yang paling cantik."

Senyum keduanya semakin lebar. Namun berikutnya keduanya kembali diam, Jino yang kini tengah menatap wajah Nara yang asik menelusuri wajannya dengan jari telunjuk.

"Maaf ya sayang, aku nggak pulang bareng kamu hari ini."

"Hmm? Nggakpapa, tadi Haikal yang anterin aku pulang."

"Nggak ada yang nakalin kamu kan disekolah?"

Nara menggeleng.

"Nggak ada yang buat kamu sakit hati kan?"

Nara kembali menggeleng, bersamaan dengan itu Jino merasakan sakit didadanya. Bahkan Nara tidak mengatakan soal Kareen. Kenapa?






Hallooo, jangan bosen sama Nara Jino yaaa :')



Possessive | Lee JenoWhere stories live. Discover now