3. Kafe Terbengkalai

347 43 0
                                    

Pagi yang cerah, matahari naik hingga porosnya. Semua orang bangun dengan niatan mereka masing-masing. Entah niat mencari uang lebih banyak atau niatan berteman lebih banyak dengan orang lain, tak terkecuali Jisoo.

Dia berniat membuka kembali kafenya yang terbengkalai sejak 6 bulan lalu. Jisoo masih sakit hati karena perlakuan Woojung. Namun kenyataannya, si mantan lah yang paling banyak menggelontorkan dana atas pembuatan kafe ini.

Fakta bahwa lebih dari setengah modal disetor sang mantan, juga betapa banyaknya memori yang mereka ciptakan bersama membawa Jisoo pada keputusan untuk tidak membuka kafenya selama 6 bulan.

Kata-kata Woojung masih terngiang-ngiang yang menyatakan bahwa dia berselingkuh sejak Januari dan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Woojung seperti membawa palu gada yang besar untuk menghancurkan hati Jisoo sampai berkeping-keping.

Jisoo masih sempat untuk tetap membuka kafe itu selama 2 bulan setelah kejadian itu, namun Jisoo lama-lama tak kuat. Banyak kenangan indah yang tak bisa Jisoo lupakan, bercampur padu dengan kalimat yang Woojung lontarkan di hari dimana Woojung memutuskan Jisoo.

Setelah didiskusikan dengan kedua orang tuanya, Jisoo ambil keputusan untuk menutup sementara kafe itu, mengambil rehat sejenak. Pikirannya tak bisa diserang terus-menerus oleh kenangan buruk itu.

Semenjak kafe itu ditutup secara mendadak, banyak pelanggan setia yang mencari-cari keberadaan si pemilik. Jisoo selalu dibombardir pesan oleh Minghao dan Seungkwan, pelanggan setia, yang menanyakan kenapa kafenya kosong.

Mereka juga bertanya kemana perginya Woojung yang benar-benar menghilang dari kehidupan Jisoo. Jisoo hanya membalas bahwa dia membutuhkan waktu untuk beristirahat sejenak. Tak mungkin Jisoo ceritakan keadaannya yang sebenarnya.

Dia pun beralasan jika Woojung sedang bekerja di luar negeri, mengingat Woojung sempat menempuh pendidikan hingga menyandang gelar Sarjana. Minghao dan Seungkwan mengerti, namun masih saja merecoki Jisoo dengan pertanyaan apakah Jisoo sudah baik-baik saja.

Dari Juni hingga Desember kafenya dibiarkan terbengkalai. Beruntung bahan makanan maupun minuman sudah Jisoo pindahkan ke rumahnya, sehingga kerugian pun tak bertambah.

Dan disinilah Jisoo, sedang bersiap-siap untuk mulai bekerja kembali layaknya anak magang. Kemeja putih dan celana kain berwarna krem menjadi atasan paling biasa untuk bekerja. Bedanya, pegawai baru tidak mengenakan sepatu kets berwarna putih.

Jisoo hela nafasnya, berusaha menghilangkan rasa grogi yang datang entah darimana. Diyakinkannya dirinya sendiri yang sedang terpantul di kaca bahwa dia bangun dengan niat.

Niat untuk melepaskan dirinya dari bayang-bayang mantannya.

Setelah memasang sepatunya yang bersih, Jisoo menuruni tangga. Kepalanya menengok kesana-kemari, mencoba mencari keberadaan orang tuanya. "Ma? Pa?" panggil Jisoo dengan harapan panggilannya itu bisa menarik perhatian orang tuanya.

"Iya, sayang? Mama ada di dapur!" Jisoo menghela nafas lega saat mendengar sahutan dari Saejin. Kaki Jisoo berputar arah, bergerak menuju dapur utama. Memang benar ada Saejin disitu dengan apron yang melekat di tubuhnya.

"Kenapa, sayang?" tanya Saejin dengan suara lembut. Dia berbalik menatap anaknya, mengabaikan daging ayam yang meronta-ronta ingin dibalik dalam lautan minyak panas. "Kamu mau kemana pakai baju rapi gitu?" bingung Saejin.

Mendengar pertanyaan Saejin membuat Jisoo mengulum senyum, "Aku izin kerja dulu, ya, Ma?"

Sedetik dua detik, Saejin tak bereaksi. Detik ketiga, Saejin tersenyum senang. Didekapnya dengan erat anak semata wayangnya setelah dia hampiri. "Iya, sayang. Hati-hati, ya?" balas Saejin mengizinkan.

Jisoo hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Saejin tahu betul seberapa lama dia tersesat dalam hutan kesedihan. Kali ini, dia menemukan jalan yang berbeda. Jalan yang diharapkan bisa menuntunnya keluar dari hutan kesedihannya itu.

Dari bulan Februari sampai Desember ini, dia linglung. Semangatnya seakan-akan terserap ke dalam ingatan dimana dia dan Woojung mengakhiri hubungan. Hidupnya tak ada tujuan, tirai kehidupannya pun lama-kelamaan tertutup.

Jisoo rasa, inilah saatnya dimana dia membuka kembali tirai kehidupannya. Jauh dalam lubuk hatinya Jisoo berharap, semua belenggu tentang dirinya dan Woojung bisa terselesaikan.

Meskipun hanya Jisoo yang terbelenggu.

Pelukan terlepas, anak serta ibu itu menatap satu sama lain dengan tatapan penuh kasih sayang. Saejin secara tersirat menyatakan bahwa dirinya akan mendukung Jisoo apapun yang terjadi selama Jisoo senang.

Dari tatapan Jisoo pun secara tersirat menyatakan perasaan syukur serta terima kasih karena kedua orang tuanya sangat menyayanginya dan mendukungnya dalam setiap langkah.

"Jisoo pergi dulu, ya, Ma," izin Jisoo. Saejin mengangguk kemudian mengecup dahi buah hati satu-satunya. "Ayamnya, Ma, gosong," ucap Jisoo sembari mengeluarkan kekehan kecil saat menyadari bahwa ayam yang tengah berendam di minyak panas itu sudah cukup lama diabaikan.

"Oh, iya!" seru Saejin terkejut. Saejin buru-buru mendekati kompor dan membalik ayam yang beruntung masih berwarna coklat. Jisoo hanya menggelengkan kepalanya sebelum berjalan meninggalkan dapur. "Hati-hati, sayang!"

"Iya, Ma!" balas Jisoo. Dia masuk ke dalam mobilnya yang sudah terparkir di depan rumahnya setelah keluar dari rumahnya. Semua bahan makanan yang masih tersisa banyak sudah berada di bagasi mobilnya.

Helaan nafas terdengar, sebelum akhirnya Jisoo menginjak gas. Dia harap dengan dibukanya kembali kafenya, pikirannya bisa lebih diarahkan ke kesibukan kafe.

***

Jisoo injak rem, kemudian memarkirkan mobilnya di tempat yang sekiranya tidak menghalangi jalan masuk dan keluar dari mobil. Matanya melihat ke sekeliling kafenya yang sangat dia rindukan. Dalam rentang waktu enam bulan, Jisoo rasa kafenya sudah berdebu.

Banyak pula tanaman yang mati karena tak ada asupan air sama sekali. Tanaman-tanaman yang ditanamnya bersama Woojung mati, layaknya perasaan Woojung kepadanya.

Jisoo tersenyum miris, bagaimana bisa Jisoo melupakan Woojung jika setiap tempat terdapat momennya bersama Woojung? Kafe yang dibangun dengan hasil jerih payah mereka, dekorasi yang mereka pilih dengan sedikit bumbu adu argumen, serta pilihan menu yang mereka pilih menurut kemampuan mereka.

Tak akan bisa. Jika bisa sekali pun, mungkin akan membutuhkan waktu yang lama.

Jisoo mendadak kembali ke dunia nyata saat matanya menangkap sesosok yang berdiam diri di depan kafenya. Kepala orang itu tertunduk, menatap ponsel dengan lamat. Orang itu perlahan menghadap Jisoo, kemudian tersenyum. "Halo, Soo," sapanya.

"Kak Cheol?" bingung Jisoo. Bagaimana bisa Seungcheol tahu letak kafenya?

Seungcheol yang paham hanya mengendikkan bahu, "Aku dikasih tau sama Ayah kamu tentang lokasi kafemu. Aku juga udah chat kamu kalau aku mau coba buat ngeliat kafemu. Eh, ternyata kamu juga kesini. Jadi, kita ketemu disini."

Jisoo manggut-manggut. Dia tak tahu perihal chat yang Seungcheol bicarakan mengingat mode jangan ganggu ponselnya masih hidup sedari pagi tadi.

"Kamu mau buka kafenya, Soo?" tanya Seungcheol tiba-tiba. Jisoo lantas menatap Seungcheol dengan raut bingung serta sedikit heran. Seungcheol bisa menebak dengan tepat apa niatnya.

"Em... Iya, aku mau buka. Emangnya kenapa, Kak?" tanya Jisoo balik. Jisoo tak bisa memikirkan apa niatan Seungcheol sehabis ini. Pikirannya kosong melompong.

"Kalau aku ikut bantu ngelola kafe, boleh nggak? Aku nggak minta upah atau gaji kok."

Otak Jisoo mendadak berhenti berputar.

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang