16. Ceritanya

274 33 6
                                    

Sebenarnya Jisoo sadar bahwa hatinya sudah hancur untuk kedua kalinya. Dari penolakannya terhadap Seungcheol saja sudah menyakitkan hatinya. Tapi, dia harus rela, kan? Rela adalah salah satu bentuk cinta, kan?

Kata-kata itu sudah Jisoo putar di kepalanya terus-menerus. Dia masih mencoba meyakinkan dirinya untuk melepas Seungcheol. Tapi jika dia yakin untuk melepas Seungcheol, seharusnya dia tidak menangis, kan?

Air matanya yang sudah dibendung sedari lama kini tumpah begitu saja. Beruntung dia sedang berada di rak paling ujung yang kosong tanpa satu orang pun. Jisoo sudah tak kuat menahan nyeri di dalam hatinya.

Kepala Jisoo kembali memutar waktu dimana Seungcheol setuju untuk berbicara sebentar hanya empat mata nanti malam. Seungcheol tersenyum dan Jisoo tak bisa mengartikan senyum itu.

Entah untuk mengasihaninya karena kisah percintaannya gagal lagi, atau sebuah senyuman terakhir karena Seungcheol bisa memperjuangkan cinta pertamanya lagi. Mereka akan kembali ke status awal mereka.

Mereka hanyalah teman lama. Mereka hanyalah sepasang teman masa kecil. Mereka tak lebih daripada itu.

"Soo...?" Panggilan itu membuat Jisoo tersadar dari lamunannya. Diusapnya air mata yang masih mengalir di pipi sebelum berbalik. "Astaga, kamu nangis?" Wonwoo ikut berjongkok, memberikan satu kotak tisu kecil pada Jisoo.

Kotak tisu itu diterima dengan baik oleh Jisoo, sedangkan Wonwoo mengusap punggung Jisoo perlahan. Ada perasaan tenang yang mulai dirasakan Jisoo setelah Wonwoo cukup lama mengelus punggungnya.

"Aku malu, Nu," kata Jisoo setelah cukup lama diam. Wajahnya disembunyikan di balik lipatan lengan, sementara Wonwoo masih saja menatapnya. Terbit sedikit rasa malu saat dia terpergok menangis di ruang publik. Untungnya yang memergokinya adalah sepupunya sendiri.

Suara kekehan Wonwoo bisa didengarnya, "Ngapain malu. Kita, kan, sepupu. Yuk, berdiri dulu." Akhirnya Jisoo berdiri dibantu oleh Wonwoo. Wajahnya masih ditutup dengan kedua telapak tangannya.

Sadar bahwa Jisoo masih belum selesai dengan perasaan sedihnya, Wonwoo pun berinisiatif mengangkat keranjang belanja milik Jisoo. Tangan Wonwoo kini penuh oleh keranjang belanja miliknya dan milik Jisoo.

"Gak usah, Nu," larang Jisoo. Masih membersihkan hidungnya, alis Jisoo tertaut tanda tak setuju. "Turunin aja, aku bisa kok," tambah Jisoo, tapi perintah itu tak diindahkan oleh Wonwoo. Laki-laki itu mengendikkan bahunya santai.

Kepala Wonwoo bergerak ke kanan dan kiri, menolak suruhan Jisoo. Dengan senyum kecilnya, Wonwoo membalas, "Gak papa, biar kamu gak keberatan aja kalau kamu mau cerita." Senyum Jisoo langsung mengembang saat mendengar ucapan Wonwoo yang satu itu.

Wonwoo memang seseorang yang sedikit tertutup, namun Wonwoo peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dia tak akan mempertanyakan keadaan seseorang, tetapi dia akan mendampingi orang itu terus-menerus.

Jisoo jadi heran, kenapa sampai detik ini Wonwoo tidak memiliki pacar.

Tangan Wonwoo meraih kertas daftar belanjaan dan diberikan kepada Jisoo. "Ayo barengan beli barang yang kita belum beli," ajak Wonwoo. Jisoo mengerti bahwa Wonwoo ingin mereka pergi menuju rak tempat barang yang belum mereka beli sembari mendengarkan Jisoo bercerita.

Setelah mencocokkan barang, langkah kaki Jisoo memimpin mereka menuju rak bumbu-bumbu dan bahan dapur. "Aku tadi nangis karena pilihanku, Nu," ucap Jisoo, memulai ceritanya setelah merasa ini adalah saat yang tepat.

Mata Jisoo memang bermain ke segala arah, namun telinganya dia pasang agar bisa mendengar balasan Wonwoo. "Kamu nyesel karena pilihan apa?" Wonwoo membalas tanpa ada kontak mata antara mereka.

Ingin Wonwoo bisa memahami segalanya, Jisoo memulai ceritanya dari awal sekali. "Aku sebenernya dijodohin sama Kak Cheol," ucap Jisoo. Bisa dia dengar suara tertegun Wonwoo, menandakan laki-laki itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Dijodohinnya pun demi aku bisa lupain mantan terakhirku. Awalnya, aku nggak menganggap Kak Cheol lebih dari teman masa kecil. Tapi, siapa juga yang nggak suka kalau terus-terusan dikasih afeksi?" Jisoo menyambung dengan mata yang terpaku pada pilihan-pilihan bumbu masak.

"Tapi, aku juga inget kalau ternyata Kak Cheol punya first love dia. Aku jadi mikir, kita itu sama-sama dalam status dijodohin. Kalau misalnya Kak Cheol nggak suka sama aku tapi aku terlanjur suka sama dia, bukannya nyakitin aku lagi, ya?"

Jisoo tersenyum kecil ketika dia mendapati Wonwoo mengangguk-anggukkan kepala sebagai respon dari cerita Jisoo. Jisoo melanjutkan, "Jadi, aku mutusin buat akhirin hubungan kita yang gak ada kejelasan ini."

"Sebenernya sepihak doang, tapi Kak Cheol pun cuma diem. Aku kira, kalau aku menjauh, aku bisa lupain Kak Cheol. Ternyata, aku malah nyesel. Nyeselnya 80%," tambah Jisoo.

Botol saus yang Jisoo pegang diputar-putar oleh Jisoo untuk mengecek tanggal kadaluarsa sembari dia menunggu balasan dari Wonwoo. Wonwoo sempat meraih satu botol lada sebelum berkata, "Kak Seungcheol diem aja bukan berarti dia setuju, Soo. Dia cuma menghormati kemauan kamu walau dia nggak bisa mengutarakan kemauan dia."

Rantai otak Jisoo seketika bekerja karena ucapan Wonwoo yang seperti oli itu. Seungcheol selalu menghormati apapun itu keputusan Jisoo yang dimana Seungcheol tidak pernah mengutarakan kemauannya. Hanya ada satu kesimpulan yang bisa Jisoo ambil.

Seungcheol selalu mengutamakan dirinya.

Dalam situasi apapun, Seungcheol selalu mengutamakan dirinya. Seungcheol tahu apa alerginya. Seungcheol mengerti kenapa mereka tidak membiarkan Seungkwan maupun Minghao tahu tentang hubungan mereka.

Bahkan Seungcheol tetap senyap saat Jisoo mengakhiri semuanya secara sepihak. Seungcheol tentu bisa ikut memberikan alasan kenapa mereka harus berakhir, tetapi Seungcheol tidak bicara sepatah kata pun.

Seungcheol diam hanya untuk menghargai semua keputusan Jisoo, terlepas dari setuju atau tidaknya dirinya. Kenapa Seungcheol tidak menolak ataupun setuju terhadap keputusannya? Bukankah lebih baik dia tahu pandangan Seungcheol juga?

"Aku cuma bisa saranin kalau kalian bicara secara privat karena aku bukan pelaku dalam hubungan kalian. Aku gak bisa terima cerita dari satu pihak aja. Tapi, aku harap kamu bisa lebih bijak ngambil keputusan, Soo," saran Wonwoo.

Laki-laki bermata kucing itu tersenyum tipis pada Jisoo yang masih terdiam, berusaha mencerna. "Udah, nggak usah dipikirin dulu. Kita nanti malem bakar-bakaran, dibawa seneng aja," ucap Wonwoo. Mau tak mau, Jisoo abaikan semua pikiran itu untuk sementara waktu.

Jisoo ambil alih kembali keranjang belanjanya dan berkata, "Makasih, ya, Nu."

"Iya, sama-sama." Wonwoo membalas sekenanya. Mereka berdua berjalan beriringan selagi mencocokkan barang. Semua barang sudah berada di keranjang, tinggal dibayar.

"Jisoo! Wonwoo!" Suara itu, suara berat namun nyaring itu sangat mereka kenal. Siapa lagi pemilik suara itu kalau bukan Soonyoung. "Liat, gue meluk apaan ini!" suruh Soonyoung, menunjukkan dengan bangga apa yang ada di dalam dekapannya.

Jisoo dan Wonwoo mau tak mau mendekat mengingat salah satu dari mereka memliki masalah penglihatan. Segera saja rasa bingung melanda mereka ketika mereka melihat berbungkus-bungkus makanan ringan ada di pelukan Soonyoung.

"Kita gak bisa beli ini semua, Ci. Over budget gimana?" tanya Wonwoo, keheranan. Jikalau pun ada lebih, tidak mungkin banyak dan bisa menutupi biaya makanan ringan yang Soonyoung pilih.

Dengan dagu yang terdongak sombong, Soonyoung terkekeh, "Yang gue peluk ini dibayarin sama beliau." Telunjuk Soonyoung teracung, menunjuk ke arah Seungcheol yang sedang memilih-milih es krim.

Sadar sedang menjadi pusat perhatian, Seungcheol mendongak dan mendapati Wonwoo serta Jisoo. "Wonwoo, Jisoo, kalau kalian mau beli snack-snack, ambil aja. Nanti aku yang bayar," ujar Seungcheol santai.

Nah, Jisoo tanya, siapa yang tak akan jatuh cinta jika Seungcheol saja seperti ini?

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें