BAB 1: Pertemuan Kita

247 16 2
                                    

Hening, semua orang diam dan fokus dengan komputer mereka masing-masing, sesekali hanya ada suara gerakan roda kursi dan seruputan wanita paruh baya yang meminum kopinya.

Desember penuh dengan hujan, orang-orang senang meminum sesuatu yang hangat dan manis untuk menemani pekerjaan mereka yang dilakukan sepanjang hari.

Suara helaan napas mulai terdengar, Eiko membuang napasnya dengan kasar sambil mengeliat, bola matanya yang berwarna cokelat itu bergerak melihat sudut komputer untuk memeriksa jam.

Eiko menarik kembali kursinya untuk mendekati meja, dia mengecek handponenya lagi entah keberapa kalinya. Raut wajah Eiko terlihat semakin murung karena orang yang tengah dinantinya tidak kunjung membalas pesannya sejak dua jam yang lalu.

"Sepertinya aku sangat membosankan," gumamnya putus asa mengingat betapa sulitnya mencari pasangan.

Selalu seperti ini! Setiap kali dekat dengan pria, mereka akan berhenti di tengah jalan tepat disaat Eiko mulai jatuh cinta.

Sekalinya si pria itu benar-benar ingin serius dan menjalin hubungan, giliran Eiko yang takut menerima dan memulai meski di dalam hatinya, dia ingin serius.

"Eiko."

Kepala Eiko terjatuh di tumpuan, enggan untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Eiko!" Teriak Sasha kembali memanggil.

Dalam satu gerakan malas Eiko memutar kursinya dan berhadapan dengan wanita cantik bertubuh semampai, rambut sebahunya di biarkan tergerai. Sasha melotot di balik kecamatanya. "Ayo makan di luar."

"Aku malas."

"Aku yang teraktir."

"Oke," jawab Eiko setengah malas. Di ambilnya tas selempang di pinggir komputer, tidak lupa handponenya. Eiko beranjak dari duduknya dan mengikuti langkah Sasha yang berada di depannya.

"Sha, jangan buru-buru" kaki kecil Eiko melangkah lebar menyamakan langkahnnya dengan Sasha.

"Makanya kalau jalan jangan sambil melamun," peringat Sasha.

"Aku tidak melamun Sha."

"Aku juga punya mata Eiko," jawab Sasha dengan cepat, "Kamu kenapa sebenarnya? Masih terganggu sama pengakuan Eric kemarin?"

Bibir Eiko mengerut seketika, teringat Eric, adik dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja mengungkapkan perasaan kepadanya. Eiko sama sekali tidak pernah menganggapnya serius, mengingat seberapa playboynya Eric, dia adalah buaya darat kelas kakap.

"Tuh kan, kamu melamun lagi," teriak Sasha yang sudah bergerak jauh dari Eiko. "Berhenti memikirkan Eric, pikirkan dulu perut."

Eiko membenarkan posisi tali tas di bahunya. "Dasar si penyedap rasa, sudah berisik, salah pula," bisik Eiko menyembunyikan cemberutannya.

***

"Siapkan ruang operasi, kita lakukan operasi darurat, panggil Dokter Hanna," suara tajam memerintah terdengar menekan di sela-sela aktifitasnya.

"Baik dokter," jawab seseorang sebelum pergi berlari keluar untuk memberitahu tim medis lainnya.

"Saya Kevin. Koas bagian gastroentrologi," seorang anak muda datang di antara seorang suster.

Mata tajam itu hanya melihat sekilas kearah koas di sampingnya, lalu berkata "Baik Kevin. Siapkan selang oksigen, monitor tekanan darah," perintahnya tanpa basa-basi untuk menanggapi perkenalan Kevin.

Ini bukan saatnya berkenalan di tengah-tengah orang yang sakit dan butuh pertolongan.

Kevin yang mendapatkan perintah segera bergerak melakukan tugasnya.

My ValentineWhere stories live. Discover now