BAGIAN 1 (Perpustakaan)

96 35 43
                                    

"Kenapa ini tidak berhenti mengalir?"

Gadis dengan pakaian seragam sekolah itu tengah sibuk membersihkan cairan merah yang terus keluar melalui hidungnya. Ia mendongak ke atas menatap atap kamarmya agar menghambat proses keluarnya cairan tersebut.

Tok ... Tok ... Tok ...!

"Ayesha?" ucap seseorang yang mengetuk pintu diluar kamar gadis itu.

Wijaya dapat mendengar suara grasak-grusuk dari dalam sana. Ia yakin sekali putri nya tengah bersiap untuk sekolah sampai menimbulkan bunyi yang cukup keras, mungkin ada barang yang terjatuh.

Tak lama kemudian pintu berwarna coklat dengan ukiran antik itu terbuka. Tampaklah seorang gadis yang sudah siap dengan balutan seragam putih abu dan jas almamater di tubuhnya, lengkap juga dengan tas gendong berwarna biru sudah tersampir di bahunya.

Namanya Ayesha Gabriella. Gadis yang kerap disapa Ayesha, atau Sasa oleh orang terdekatnya. Tubuhnya tidak terlalu pendek, tidak juga terlalu tinggi. Rambutnya hitam pekat dan selalu diikat kuda, membuatnya tambah terkesan cantik. Belum lagi wajahnya putih bersih, dan alami. Tidak terpoles make up sekalipun.

Ayesha tersenyum menatap ayahnya. Lalu menutup pintu kamarnya dengan rapat.

"Udah siap, tuan puteri?" tanya Wijaya dengan ceria pada Ayesha.

Ayesha mengangguk menjawabnya sambil tersenyum lebar.

Kedua tangan Wijaya yang disembunyikan di belakang nya ternyata membawa sebuah kotak makan kecil yang juga berwarna biru langit, warna yang di sukai putri nya.

"Ta-daa," ucap Wijaya lalu kemudian terkekeh kecil melihat raut wajah senang putri semata wayang nya itu.

"Nih, Ayah siapkan bekal. Jangan lupa di habiskan, ya?" Lanjutnya sambil memberikan kotak makan itu pada Ayesha. Dengan sigap Ayesha menerima nya sambil mengangguk lagi.

"Yuk, Ayah antar sampai pangkalan," ucap Wijaya sambil memegang tangan putri nya dan mengiringnya menuju pintu utamanya. Keduanya berjalan sampai pangkalan jalan raya yang tak jauh dari rumah mereka.

Tak lama, mobil angkutan umum pun berhenti didepan mereka setelah Wijaya mengulurkan tangan kanan nya, mengisyaratkan agar memberhentikan angkot tersebut.

"SMA Merdeka ya Pak," ucap Wijaya kepada supir angkot tersebut sambil membayar ongkos.

Lantas sang supir menerima uangnya dan mengangguk. "Siapp!" jawabnya semangat.

"Ayo, Neng." Supir tersebut menyuruh Ayesha masuk dan duduk bersama penumpang yang lainnya.

Wijaya mencium pucuk kepala Ayesha. Lantas Ayesha menyalimi tangan Ayahnya, "Semangat belajarnya, biar pintar dan bisa banggain Ayah," ucap Wijaya sambil memegang lembut pundak Ayesha.

Ayesha masuk kedalam angkot setelah berpamitan pada Ayahnya. Ia duduk tepat di belakang supir.

Bukan tanpa sebab ia duduk disana. Bukan karena Ayesha seorang yang suka mabuk perjalanan, tetapi ia tidak bisa berjauhan dengan sang supir, karena itu akan menyulitkan komunikasi nya.

Ya, Ayesha memang tak seberuntung remaja seusianya. Ayesha Gabriella, seorang gadis tuna wicara sejak lahir. Untuk itu, ia akan berkomunikasi melalui bahasa isyarat yang telah di kuasai nya.

Setelah beberapa menit akhirnya angkot yang ditumpanginya sudah sampai pada tujuan. Ayesha turun dan segera menyatukan kedua tangannya sambil tersenyum pada sang supir.

"Terima kasih," setidaknya itulah yang ditangkap oleh sang supir setelah melihat gerakan tangan Ayesha.

Ayesha berbalik dan menatap sekolah nya yang luas. SMA Merdeka, sekolah yang didalam nya rata-rata orang berada. Sebuah perjuangan besar Ayahnya sampai bisa menyekolahkannya di sekolah se-elite ini.

Unspoken Love (Ayesha Gabriella)Where stories live. Discover now