Bagian XV: Cinderella Semalam

24.3K 2.8K 1.1K
                                    

"Nice shoes". Seseorang berkata saat aku mulai membuka pintu depan.

Ah paling mang diman.

Eh tapi sejak kapan mang diman jago bahasa inggris?

Aku pun menengokkan wajah ku ke belakang. Dan disana, berdiri lah seorang Luke diantara kegelapan dengan boxer bermotif burgernya dan kaos putih polos Ryder yang tadi sempat ia beli di alfamart.

Yatuhan.

Kenapa ia harus muncul.

Aku baru saja akan melarikan diri ke pesta pernikahan itu sesudah yakin bahwa keempat bule sudah tertidur lelap setelah ku bacakan Harry Potter part 1-7. Tapi mengapa Luke disana? Apa dia Luke jadi-jadian?

Secepat kilat aku menyempilkan badan ku pada sisa pintu yang tadi belum sempat ku buka lebar, lalu ku tutup cepat-cepat. Tadinya.

Tapi ternyata terlambat karena Luke menahan pintu itu dengan bahu lebarnya. Namun aku terus menutup pintu itu dengan paksa yang malah menyebabkan Luke berteriak membangunkan orang sekota Bandung. Untung saja pak wali kota rumahnya jauh jadi males otw buat ngomelin Luke.

Tapi ketiga bule lainnya tidak terlalu jauh untuk terbangun dan memeriksa apa yang terjadi. Lebih tepatnya untuk menangkap basah ku yang baru saja akan mengendap-endap keluar rumah tanpa mereka.

"What is happening?," Michael menghampiri Luke yang kesakitan memegangi bahu kirinya. Diikuti dua lainnya di belakang, dengan mata yang masih penuh belek. "Where are you going, Ganis?," Ashton bertanya setelah menyadari apa yang aku gunakan dengan sepatu dan tas pesta.

Mati.

Hidup lagi.

Mati lagi.

"She's definitely going to go somewhere without us," Michael menyimpulkan, "Where are you going??," ia setengah berteriak. Aku menggaruk punggung kepala ku, berfikir apa yang harus aku katakan. "I can't believe you would be leaving without us," Calum menyipitkan matanya, melirikku sinis dengan kedua lengan kekarnya yang dilipat di depan dada.

Saat aku akan mengatakan sesuatu untuk membela diri, tiba-tiba saja mang Diman menyalakan mesin mobil dan menglaksoniku agar aku segera masuk mobil.

Yaelah mang.

Akupun dengan cepat menyeret 4 bule dengan boxer dan kaos oblong ryder mereka memasuki mobil, tanpa mereka tau akan dibawa kemana. "Ini teh pada dibawa, teh?," tanya mang Diman setelah aku menjejalkan mereka di kursi belakang. Aku tanpa menjawab pertanyaan mang Diman hanya menyuruhnya menggas mobil menuju pesta.

Sepanjang jalan aku menjelaskan kepada mang Diman bagaimana ia harus membawa bule-bule ini belanja baju pesta yang berbau Indonesia gitu berkenaan dengan pesta yang memang setelah tadi sempat ku baca undangannya, berbau kental sunda. "Inget ya mang, batik atau apa gitu yang khas indonesia pokonya," kata ku sekali lagi mengingatkan mang Diman. Ia lalu mengulang perkataan ku untuk mengingatnya. Dan aku pun memberi tau empat bule laknat di belakang bahwa mereka akan belanja baju bersama mang Diman lalu baru menyusul ku ke pesta. "Ohiya, nanti anterinnya ke pintu belakang aja ya, takut ketauan mama, mamang juga jangan bilang mama kalo teteh kesini ya". "Luke, or whoever, after you guys arrive here later, text me so I'll get you guys, okay?," lalu aku pun turun di pesta ini. Setidaknya beberapa puluh menit tanpa bule-bule laknat itu.

Aku menaiki sedikit tangga yang dihiasi karpet merah yang elegan, menuntunku memasuki aula itu, dimana pangeran impian ku berdiri dengan wanita lain di pelaminan. Hiks.

Aku pun mengantre mengikuti jalur karpet yang mengarah ke pengantin untuk memberikan salam selamat. Berjalan sangat feminim, berdoa semoga saja dia berubah pikiran menggantikan istrinya dengan ku di atas sana. Aku selalu siaga memperhatikan sekitar ku, memasang mata akan tanda-tanda kehadiran mama.

AUSTRALIANS [5SOS]Where stories live. Discover now