Roy menarik salah satu kursi yang ada dibelakang. "Sepertinya kalian semua memang tidak berubah ya." Imbuhnya.

Denada menatap Roy lagi. "Apa maksudmu?"

Roy tertawa diikuti suara tepuk tangan yang memenuhi ruangan itu. "Cepat sekali dimensia ya, sampai lupa seperti itu."

Denada diam dan berusaha mencerna kata-kata itu. Dia berusaha untuk mengingat pemuda yang didepannya itu. Sampai terlihat wajahnya yang tampak berubah seperti tidak percaya.

Roy yang mengerti bahwa Denada sudah mengingatkan langsung tertawa lagi. "Ops, sepertinya sudah ingat. Maaf deh udah dikatain dimensia tadi."

"Apa maumu?" Tanya Denada lagi.

"Apa mauku? Menarik sekali." Ucap Roy sambil membenarkan duduknya.

Denada tampak kesal dengan tarik ulur tidak jelas yang dilakulan Roy. Dia tampak menggerakkan badannya untuk melepaskan diri, namun semakin  dia bergerak, tubuhnya malah semakin sakit dilihat dari posisinya yang masih tersungkur di lantai.

"Um..." Roy berpikir, "sepertinya aku tau keinginanku, deh." Ucapnya sambil cekikikan sendiri.

Denada meliriknya lagi saat sadar Roy malah berjalan kearahnya dan mulai mendekati wajahnya.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Denada sedikit panik.

"Ada satu hal yang aku inginkan," Roy mendekatkan wajahnya kearah Denada, "nyawa dibalas nyawa. Bukankah itu adil?" Bisiknya sambil menyeringai.

Mata denada yang mendengar itu langsung melotot takut. "A-apa?" Ucapnya lirih.

Roy mengelus pelan rambut Denada lalu beranjak bangun meninggalkannya dengan kondisi terjatuh dan masih syok berat dengan apa yang baru saja dikatakan Roy.

***

Divo memukul-mukul kepalanya dengan kedua tangannya dengan geram. Dia tampak sedang menahan sakit yang amat sangat kuat dari kepalanya saat ini. Berulang kali dia membuka dan menutup matanya dengan nafas yang terengah-engah. Rahangnya mengeras dan keringat mulai membasahi badanya.

Berusaha keras dia berdiri, namun selalu jatuh ke lantai. Akhirnya dengan bersusah payah dia merangkak menuju dapur. Dia berusaha menggapai obatnya yang dia taruh di lemari kecil diatas kulkas.

Saat ingin berdiri, tiba-tiba kilasan balik ingatannya mulai muncul dikepalanya, hingga membuatnya berteriak kencang sambil memegang kepalanya.

'Divo jangan!'

'Lari!'

'Tolong Divo! Aku tidak ingin mati!'

Teriakan anak perempuan selalu muncul berbarengan dengan kilasan balik seorang anak perempuan yang memeluk boneka beruang kecil. Anak itu tampak ketakutan dan sedang menangis.

Divo bersusah payah menahan rasa sakit itu sambil bergumam tertahan. "J-jangan keluar!"

Dia seperti meruntuki dirinya sendiri. Lebih tepatnya, dia bersusah payah agar 'dirinya yang lain' itu tidak muncul. Atau dia akan dalam bahaya nantinya.

Divo berteriak kencang sambil memaksakan dirinya untuk berdiri dan meraih obatnya. Saat berhasil menyentuhnya, obat itu malah jatuh ke lantai. Dengan tangan yang gemetar dia mulai menelan obat itu dan berbaring ke lantai.

"Huh.."

Perlahan Divo mencoba untuk mengatur napasnya. Berusaha untuk tenang dan mengontrol rasa sakit di kepalanya.

Ingatan itu muncul kembali saat dia membuka salah satu album keluarganya. Ada cukup banyak fotonya waktu kecil dengan teman-temannya.

Ada satu foto yang menarik perhatiannya. Foto anak perempuan yang sama seperti yang mumcul diingatannya. Saat itu pula, ingatan singkat itu mulai muncul di kepalanya.

"B-bella?" Ucapnya lirih.

Setelah merasa mendingan, Divo perlahan mulai mencoba untuk berdiri kembali. Dia mengumpulkan obatnya yang tadi jatuh berserekan masuk kedalam botol obat. Kemudian dia meletakkan obatnta kembali ke lemari diatas kulkas.

Divo berjalan kearah kamarnya berniat untuk melihat kembali foto itu. Dengan menarik napasnya perlahan, dia mencoba untuk membuka lembaran halaman tempat foto anak perempuan itu.

Dengan jantung yang semakin lama semakin berdegup kencang, dia mencoba melihat kembali foto itu. Terlihat ada 6 anak kecil. 2 anak perempuan dan 4 anak laki-laki.

Setelah cukup lama memperhatikan foto itu, dia membuka lembaran selanjutnya.

"Bukannya ini mama?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

Disana terdapat foto orang dewasa yang kira-kira ada 20 orang. Ditengah-tengah mereka terdapat dua orang yang sepertinya adalah ketua dari perkumpulan itu.

Divo mengerutkan keningnya, "Ini perkumpulan mama dulu? Kok tempatnya creepy gini, sih?"

Saat lembaran selanjutnya dibuka, dia bergumam sendiri lagi. "Loh, papa juga."

Divo kembali berpikir. "Mama sama papa satu perkumpulan ternyata." Ucapnya tanpa curiga.

Lembaran demi lembaran dia buka sampai akhir. Dia sadari bahwa foto-foto yang ada disana hanya berisikan foto orang tuanya dengan perkumpulan orang-orang itu. Tidak ada wajah baru disana.

Namun yang akhirnya dia menyadari sesuatu yang sangat aneh. Divo kembali membolak-balikkan lembaran demi lembaran album foto itu. Tidak puas dan makin penasaran, dia mengambil album foto yang lainnya. Sampai total sudah 7 album foto yang dia lihat.

"Kenapa foto gue bayi gak ada? Semua foto gue cuma dimulai dari umur 2 tahun. Sedangkan mama sama papa sudah ada foto dari sebelum mereka nikah malah." Tanyanya bingung sambil bermonolog dengan diri sendiri.

Divo kembali dibuat penasaran. Saat matanya melirik kearah foto diatas lembaran album yang masih terbuka, ada satu tulisan yang menarik perhatiannya.

"Oikogéneia," Divo berpikir sejenak, "Apaan tu? Bahasa asing."

Setelah di pikir-pikir, Divo akhirnya menyakini bahwa nama dari bahasa asing itu adalah nama perkumpulan mereka.

Divo menggelengkan kepalanya. "Ada yang gak beres, ni."

Oikogéneia, dalam bahasa yunani memiliki arti 'keluarga'. Sepertinya Divo merasa ada yang aneh dari perkumpulan ini. Terlebih lagi rasa penasaran dan bingung menghantuinya saat dirinya menyadari bahwa kedua orang tuanya bahkan tidak mempunyai foto dia waktu bayi.

Saat dia berusaha berprasangka baik, pikirannya itu dipatahkan dengan foto lainnya yang menunjukkan bahwa foto kedua orang tuanya saja sudah ada sebelum mereka menikah. Bukankah sangat aneh jika mereka lupa mengabadikan momen saat anak mereka lahir.

Divo mengambil ponselnya lalu menekan salah satu kontak. Dia menelepon Cici.

"Ci, lo bisa ke rumah gue sekarang?"

"Bisa, sih. Ada apa?" Tanya Cici di seberang sana.

"Nanti gue ceritain." Singkatnya.

"Oke, 20 menit lagi gue sampe sana ya." Jawab Cici lagi.

"Eh, oiya. Lo bisa bawa album foto keluarga lo juga? Nanti gue ceritain buat apa." Imbuh Divo lagi.

Cici tampak diam sejenak. "Oke, gue cari dulu."

"Oke, hati-hati ya."

"Iyaa,byee.."

Saat telepon ditutup, Divo tampak lebih gelisah lagi. Dia merasa ada hal ganjil yang sedang terjadi. Dia mengusap kasar wajahnya.

"I hope nothing happened." Ucapnya mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Semoga saja...

-------
NEXT?

AURORA♕[ON GOING]Where stories live. Discover now