21 Adam

140 50 23
                                    

Luna sudah tidak ada ketika ia terbangun. Dia tidak ada di kamar mandi. Tidak ada di rumah itu. Sejenak, ia tidak mampu mengingat apa yang terjadi terakhir kali sebelum ia hilang kesadaran. Ketika ia bertanya pada ibunya, sang ibu menatapnya dengan geram.

"Luna ada operasi tumor mata kelinci," jawabnya ketus.

"Kok, nggak bilang sama aku?"

Sekarang Umi memelototinya. "Kalau kamu banting-banting piring, siapa yang berani dekat-dekat sama kamu, Dam? Boro-boro ngajak ngomong."

Kini Adam teringat sepenuhnya. Ia menepuk dahi lalu minta maaf bertubi-tubi pada ibunya.

"Jangan kasar sama istrimu," kata Umi. "Dia lagi mengandung anak kamu. Harus disayang. Dibantu urusannya. Memangnya Luna berbuat apa sampai berhak dapat perlakuan seperti itu?"

Adam hampir menangis saat meminta maaf sekali lagi pada ibunya. "Ini salahku karena bawa-bawa masalah di tempat kerja ke rumah. Luna nggak salah sama sekali."

Sang ibu mengangguk puas, lalu beranjak ke ruangan lain.

Adam menyibak rambutnya yang mulai gondrong dari wajahnya. Ia tahu posisinya belum aman. "Oh ya, Luna sudah sarapan?"

"Sudah. Makan singkong rebus. Tadi juga sangu singkong."

Anak singkong....

Tadinya Adam ingin menghubungi Venus untuk memastikan keberadaan Luna, lalu teringat Venus pun sedang marah padanya. Semua orang, bahkan Herman, sedang menjauhinya saat ini.

Ia memacu skuter matiknya sekencang mungkin ke klinik kakak beradik itu. Meskipun demikian, ia menyempatkan mampir ke toko bunga, berharap usaha payahnya untuk meluluhkan hati sang istri akan berhasil. Namun, ia bukannya sekadar lupa hari ulang tahun Luna atau tidak sengaja merusak benda kesayangannya.

Ini jauh lebih buruk daripada itu.

Luna tidak suka bunga. Jika dia disuruh memilih satu tanaman favorit, dia akan menjawab catnip, alias candunya kucing. Luna suka cokelat, tetapi belakangan ini dia bisa muntah-muntah hebat karena mencium aroma permen cokelat yang bahkan tidak ada kandungan cokelat aslinya.

Oh, ajalku sudah dekat....

Pada akhirnya, ia memilih bunga yang tidak memiliki aroma, dengan harapan tidak akan membuat Luna muntah meskipun terpaksa menerimanya. Ia masih yakin Luna akan menerimanya.

Adam lega ketika tiba di depan pet shop, motor Luna ada di sana. Ia menuju samping toko perlengkapan hewan peliharaan itu, mendaki tangga ke lantai dua, dan mengetuk pintu kacanya dengan sopan meskipun tulisan BUKA tergantung di sana.

Luna dan Venus sedang duduk-duduk di sofa ruang tunggu. Mereka bisa melihatnya datang. Begitu melihat Adam melambai-lambai padanya, Luna bangkit dari sofa, menghampiri pintu, lalu menguncinya dari dalam. Dia kemudian duduk kembali di sebelah kakaknya dan melanjutkan pembicaraan mereka yang terpotong.

Kini giliran Venus memandanginya dari sofa itu, lalu memberi gestur jari menggorok leher, yang artinya riwayat Adam sudah tamat. Luna tidak akan memaafkannya semudah itu.

Bahu Adam merosot, tetapi ia lega karena Luna sekarang jadi dekat dengan kakaknya. Dia pasti sudah bercerita tentang kejadian kemarin, dan Venus hanya ingin mendukung adiknya.

Adam meninggalkan buket bunga dan secarik pesan permintaan maaf murahan di luar pintu, lalu menuruni tangga dengan lesu. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia begitu mencintai Luna hingga rela melakukan apa saja untuk membuatnya merasa aman bersamanya. Ia tidak tahu mengapa ia justru berbalik menjadi momok mengerikan seperti kemarin. Rasa malu dan penyesalan membelitnya liat dan ketat.

EternityOù les histoires vivent. Découvrez maintenant