10 Luna

201 51 23
                                    

Sang kakak kaget setengah mati ketika mendapatinya datang ke klinik lagi hari ini.

"Udah izin sama suamimu belum?" seru Venus.

"Izin... what?" sahut Luna cuek.

Tentu saja Luna sudah memberi tahu Adam tentang rencananya hari ini. Mereka bahkan sudah janjian makan malam di luar nanti.

Jangan dipaksain, kalau ada apa-apa telepon aku, begitulah pesan Adam. Luna sama sekali tidak memaksakan diri. Tubuhnya—perutnya—malah lebih nyaman berada di klinik ini. Dia bisa makan banyak keik pisang-oat-cokelat yang dibuat Adam secara asal-asalan sebelum berangkat ke toko tadi. Dia tidak mengendus bau aneh yang membuatnya ingin muntah. Dia bahkan tidak keberatan dengan aroma kotoran hewan yang muncul secara misterius di klinik sepanjang waktu.

Dia yakin Adam dan Umi akan menuduhnya memalsukan mual itu demi keuntungannya sendiri. Whatever!

Venus meletakkan tasnya di balik meja administrasi lalu duduk di sofa ruang tunggu untuk menyeruput kopinya. Matanya terlihat berkantong pagi ini.

"Begadang lo, Jul?" tanya Luna.

"Habis berburu hantu tadi malam," tukas Venus seraya mengangkat bahu.

"Berburu hantu?"

Venus menyampirkan satu sikunya di sandaran sofa. Wajahnya dipenuhi senyum puas. "Sama papanya Kennedy, dong."

Oh, akhirnya berita baru!

Venus menceritakan pertemuan-pertemuannya dengan pria bernama Tommy ini tanpa melewatkan detail terkecil. Venus bukan tipe orang yang mampu menyimpan rahasia dan berdusta. Emosinya tertuang ke seluruh tubuh dan kata-kata, menjadikannya orang "paling hidup" dan "paling jujur" yang pernah Luna kenal. Jemarinya menari-nari di udara selagi bercerita, suaranya naik satu oktaf karena terlalu antusias, dan matanya berbinar-binar meskipun kantuk menggelayutinya.

Setelah puas memutar kembali petualangan horornya tadi malam, Venus meneguk sisa kopi di tumbler-nya hingga tandas.

"Jadi kamu sama Tommy berdua aja ke rumah hantu itu?" Luna menarik kesimpulan, tertular keceriaan kakaknya.

Venus langsung mengerang. "Sayangnya nggak. Herman ikut."

"Herman?" Luna cekikikan.

"Laki lo tuh yang nyuruh!" tukas Venus. "Aku dianter, ditemenin, dan dianter pulang lagi sama Herman. Tommy jadinya segan karena ngira Herman itu saudaraku beneran."

"Yah, bener sih Adam mikirnya. Lo kan nggak bisa bawa kendaraan. Udah syukur Herman mau antar-jemput."

Venus mengerang lebih keras. "Dit, ajarin aku naik motor deh minimal. Aku nggak mau bergantung sama orang terus. Mana bentar lagi kamu lahiran, kan? Nggak mungkin Adam bakal ngizinin kamu terus-terusan buat bonceng aku. Terus kalau tiba-tiba perusahaan ojol bangkrut, aku nggak tahu mau naik apa buat pergi kerja."

"Kan masih bisa naik sepeda, Jul."

"Jauh, Dit!"

"Cuma empat kilo kok jauh? Dulu aku biasa sepedaan sepuluh kilo. Adam lebih jauh lagi."

Venus berpura-pura menangis histeris. "Jangan bandingin aku yang cacat ini sama manusia super kayak kalian, dong."

Rengekan absurd Venus terhenti ketika pintu klinik berayun terbuka dan pasien pertama mereka untuk hari ini tiba. Seekor anjing samoyed yang terlihat seperti permen kapas raksasa.

*

"Jadi 'tema' kencan kalian ala-ala Buzzfeed Unsolved gitu? Pergi ke tempat-tempat angker dan mengungkap 'are ghosts real'?" goda Luna saat istirahat siang. Venus membeli dua porsi "sandwich waffle" berisi daging asap, keju, dan sayuran yang membuat Luna mual pada gigitan pertama.

"Aku nyobain menu di toko yang baru buka di seberang jalan. Kenapa? Nggak enak, ya?"

Luna menyingkirkan wafel lapis itu dari hadapannya. "Bukan nggak enak. Nggak habis pikir aja sama yang dijual orang-orang sekarang."

"Terus mau makan apa, dong? Aku ngeri sama tatapan Adam kalau aku nggak ngurus kamu dengan benar. Tahu, nggak? Kami kayak saingan cinta yang mati-matian berebut perhatian kamu."

Luna mendengus sinis. "Kalau gitu nggak ada yang menang di antara kalian. Aku memilih mencintai diriku sendiri."

Venus menggeram sambil menjambak rambutnya yang dipotong model pixie. "Jadi mau diganti apa nih, makan siangnya? Ayo cepetan, bentar lagi jam istirahatnya habis."

"Gampanglah. Makan roti gabin sama kacang kulit aja aku udah kenyang kok."

"That's not even a meal."

"Pertanyaanku tadi belum dijawab, Jul. Kamu tertarik sama Tommy karena dia menawarkan petualangan aneh yang memuaskan hasrat terpendammu? Proyeksi masa depannya gimana?"

"Jauh banget udah ngomongin masa depan, Dit. Ini aja belum tentu jadian."

Luna ingin mengingatkan kakaknya masalah umur, tetapi Venus pasti akan menangkisnya dengan jawaban yang lebih jitu dan kelewat idealistis.

Menikah itu perkara kesiapan, bukan perkara umur.

"Jadi cuma buat seru-seruan aja?"

Venus meletakkan kedua tangannya di meja dan mengembuskan napas.

"Aku ngerti apa yang kamu khawatirin, Dit. Mau sampai kapan main-main terus, iya, kan? Aku sudah nggak muda lagi menurut ukuran beberapa orang. Deretan laki-laki yang mau sama aku bakal berkurang seiring bertambahnya usiaku, iya, kan? The decreasing is like... exponentially, right? Tapi coba kalau cara berpikirnya diubah jadi begini... Apakah aku tipe yang bisa berumah tangga atau nggak? Menurutku nggak. You know lah. Aku lemah fisik dan mental. Aku nggak bisa mengurus diriku sendiri, jadi gimana bisa 'ngurus' suamiku nantinya? Boro-boro bakal ngurus anak. Iya, kan? Ya udah. Aku nggak akan berusaha mengikuti jejak hidupmu. Yang ideal bagimu mungkin menikah dan punya anak kayak gini, Dit. Tapi yang ideal buatku bukan itu. Makasih udah mikirin aku. I'm fine, though."

"Aku nggak bermaksud bersikap seolah-olah lebih tahu segalanya dibanding kamu, Jul," ungkap Luna. "Jujur aja, aku cuma nggak tahu seperti apa rasanya memulai hubungan baru dengan sepenuhnya menyadari cuma bakal patah hati di akhir cerita. Isn't it scary?"

Senyum Venus tampak sendu. "It's scary, indeed. Kamu nggak pernah tahu seberapa besar dampak kerusakan yang timbul ketika hari itu tiba. Tapi kita semua dipaksa lahir ke dunia ini untuk sama-sama menghadapi akhir dunia yang nggak kita inginkan, Dit. Kita nggak punya kuasa atas permulaan hidup kita sendiri. Kita juga nggak punya kuasa atas siapa yang datang dan pergi di kehidupan kita. We are born to be fucked up."

Kata-kata pahit kakaknya terdengar tidak adil bagi dunia yang sedang berusaha ia bangun. Venus tidak menyadari bahwa secara tidak langsung dia menyinggung Luna yang ingin melahirkan individu baru ke dunia yang sudah bobrok tanpa bersedia menjamin kebahagiaannya kelak. Namun, bukankah memang itu sifat dasar Venus? Tidak peka.

Diam-diam, di bawah meja, Luna mengelus perutnya, menyusun serangkaian janji yang belum tentu bisa ia tepati kepada anaknya kelak: bahwa ia akan bahagia. Bahwa ia tidak akan menjadi manusia yang gagal.



Dari Pengarang:

Mamang tahu Luna bukan tokoh favorit di Ephemera, tapi dia tetap dapat porsi sudut pandang sama banyaknya dengan tokoh-tokoh lain di Eternity.

Oh ya, sejauh ini Mamang sudah menerbitkan empat novel remaja secara cetak. Menurut kalian, kalau Eternity diajukan ke penerbit, dia akan masuk segmen pembaca apa?

Makasih buat yang sudah bersedia jawab <3









Eternity [Proses Penerbitan]Where stories live. Discover now