14 Herman

186 46 35
                                    

Pagi-pagi, rumahku sudah jadi ruang sidang. Salah satu saudaraku mengaku kehilangan uang dan menuduh saudara lain telah mencurinya. Yah, sebenarnya itu bukan hal baru di sini, meskipun tidak ada yang berani ribut masalah uang sewaktu ayahku masih hidup.

Dulu aku juga sering kehilangan uang, terutama karena aku jadi mesin ATM di sini. Sekarang aku tidak pernah lagi membawa pulang uang cash. Jika ada yang butuh uang, dia harus minta baik-baik padaku.

Bukan berarti aku sudah aman sekarang. Sekarang harta bendaku juga menghilang satu per satu. Pakaian. Botol minum. Flashdisk. Bukannya pelit. Flashdisk di masa kini bukan barang mewah lagi, tapi jika kebetulan flashdisk itu berisi data pekerjaanku... masalahnya bisa membesar seperti bola salju dari sana. Berkas-berkas tuntutan yang kukerjakan itu bersifat rahasia.

Doni turun tangan menjadi penengah. Kalau aku, sih, sori-sori saja mengambil peran itu. Aku sudah tahu siapa pelakunya dan kalau aku yang turun tangan, aku akan menghabisinya.

Oleh karena itu, aku mengambil binokular dan keluar dari rumah. Mungkin ada burung yang bisa kuamati. Binokular ini sudah berusia dua belas tahun. Talinya sudah bulukan, lensanya penuh goresan dan perbesarannya tidak kuat-kuat amat. Benda usang ini pernah menghilang selama berminggu-minggu, dan aku menganggapnya sudah dicuri salah satu penghuni rumah untuk ditukar dengan uang. Suatu hari, ibuku menemukannya saat "bersih-bersih". Jadi ternyata sobat kecil ini tidak laku dijual.

Rawa yang memisahkan lingkunganku dengan lingkungan keluarga Venus masuk ke lapang pandang teropong. Ada kesibukan di sana. Venus sudah rapi pagi-pagi begini. Dia sedang menelepon seseorang di teras rumahnya. Bibirnya yang berlipstik merah itu tersenyum lebar. Mungkin Tommy yang diteleponnya itu.

Aku yakin aku tidak terlahir sebagai tukang ikut campur urusan orang, tapi panutanku adalah Doni, dan Doni selalu ikut campur masalah orang, jadi kurasa tidak apa-apa membuat masalah di antara Adam dan Venus. Anggap saja aku ini schadenfreude.

Aku datang ke rumah Adam untuk memanas-manasinya. Benar saja. Wajah pangeran cinta kita langsung meradang saat berasumsi Venus mau menemui gebetannya lagi. Dasar laki-laki posesif. Rakus. Kakak-adik diembat juga.

Karena aku sedang tidak ingin kembali ke rumah untuk mempeributkan uang (lagi pula aku cuma anak ketiga, kata-kataku tidak sepenting abangku), aku berganti baju lalu cabut. Hari ini aku jadi perpanjangan mata dan telinga Adam untuk memantau kehidupan cinta kekasih rahasianya.

Aku benci jadi orang dewasa.

*

Kawasan lama kota itu tidak terlihat begitu menakutkan di hari terang. Gedung-gedung kosong yang sudah lama terbengkalai tampak sama saja dengan ruko-ruko yang baru dibangun. Aku mengikuti konvoi rombongan Giga. Pada titik ini mungkin Venus sudah menyadari keberadaanku daan bertanya-tanya apa yang sebenarnya kulakukan. Aku tidak diundang ke penggeledahan rumah hantu itu. Dalam agendanya, Venus hanya menyertakan Tommy. Aku dihitung sebagai lalat.

Rumah itu tampak suram di pagi yang mendung begini. Arsitekturnya, kalau mataku tajam, merupakan campuran Jengki dan Victorian. Bukan campuran yang bagus karena membuatnya terlihat seperti rumah hantu sungguhan.

Barangkali karena pengaruh hutan di belakang rumah juga. Ada aura yang membuat tidak nyaman setiap kali memandangi garis-garis fasadnya. Seakan-akan rumah itu sudah berhantu bahkan ketika seluruh penghuninya masih hidup.

Venus keluar dari mobil dengan marah dan langsung menghampiriku.

"You!" pekiknya sambil menunjuk-nunjukku. "You nggak diajak."

Aku menggigit sebatang rokok dan membuka tutup pemantikku. "Mana sopan-santunmu, Dik? Aku abangmu."

"Itu abangku!" Venus menunjuk Giga di belakangnya. "Kamu bukan siapa-siapa."

EternityWhere stories live. Discover now