1 Adam

957 86 23
                                    

"Dam, kamu percaya hantu, nggak?"

Adam mengangkat pandangannya dari meja putar tempat mendekorasi kue.

Toko itu sedang sepi. Ia menatap jendela kaca yang ditempeli nama toko kuenya. Bulir-bulir hujan menempel di sana, mengaburkan pemandangan jalanan. Desau hujan sudah tidak terdengar lagi, tetapi gerimis masih bertahan. Ia mulai gelisah seiring terbenamnya matahari.

Seorang gadis teman lamanya menopangkan dagu di etalase utama. Potongan-potongan keik klasik tertata rapi di dalam etalase itu. Black forest. Red velvet. Rainbow cakes. Adam sudah lama ingin menyingkirkan rainbow cakes karena Luna membencinya, tapi saban hari masih ada saja orang-orang yang memesan kue itu untuk acara ulang tahun anak mereka.

"Ini omong kosong tentang hantu penunggu rumah kalian lagi?" tanya pemuda lain yang baru saja mencampakkan tiga loyang chiffon cake ke meja kayu di belakang etalase utama. Meja itu tempat mereka menghias, membentuk, atau sekadar memotong-motong kue ke takaran siap santap.

Asisten Adam hari ini tidak berhati-hati saat menangani kue, tetapi karyawan tetapnya sedang cuti. Adam membutuhkan bantuan dari mana pun, termasuk meminta temannya yang seorang pegawai negeri mangkir dari kantor. Toh, itu tidak pernah jadi masalah besar.

"Bukan di rumahku, kok," ujar gadis teman lama Adam.

Omong-omong, ia terganggu dengan motif cicak dan kembang sepatu pada scrubs gadis itu. Ia mengalihkan perhatiannya kembali pada keik vanila yang sedang ia hias. Sesaat ia mengingat-ingat detail pesanannya. Buttercream putih dengan deretan stroberi utuh segar di puncaknya. Awalnya ia juga menyarankan agar menyelipkan cacahan stroberi di setiap lapisan krim, tetapi si pemesan keberatan dengan total biayanya.

"Kalian tahu rumah nomor 1 di Jalan Anggrek? Kawasan kota lama. Kawasan itu memang sudah kayak kota hantu, kan?" lanjut gadis itu lagi. Adam tidak menaruh perasaan apa-apa padanya, tetapi mengerti bahwa nada manja dalam suara gadis itu disengaja untuk menarik perhatiannya.

Adam tidak bisa memberikan perhatian apa pun padanya.

"Oh, ya," ungkap asisten Adam hari ini. "Abangku pernah cerita kayaknya. Rumah itu sudah kosong dari tahun '80-an, kan?"

"Ya!" Gadis berkacamata bingkai emas itu menunjuk si pemuda dengan antusias.

"Kosong selama itu? Apa nggak sudah hancur sekarang?" Akhirnya Adam sudi menimbrung.

"Kayaknya karena sudah dimakan usia makanya jadi seram, terus orang-orang mulai bikin rumor aneh-aneh. Biasalah." Asisten Adam mengibaskan tangan tak peduli. Dengan cekatan, atau serampangan menurut pandangan Adam, ia menggunakan pemotong kue untuk membagi chiffon cake menjadi delapan potong sama besar.

"Katanya meskipun sudah kosong, rumah itu masih dipenuhi aktivitas penunggunya dulu," bantah gadis itu. "Dan mereka semua sudah meninggal."

Asisten Adam berdiri dengan kedua tangan ditopangkan pada bagian atas kaca etalase kue. Matanya yang sinis menyorot gadis itu seperti ingin menghardiknya, tetapi tidak di depan Adam.

"Pernah nggak, sih, anggota keluargamu meninggal tapi kamu merasa mereka masih ada dan melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan semasa hidupnya? Aku nggak tahu apa nama untuk fenomena ini, tapi kadang itu terjadi, Venus. Setelah ayahku meninggal, aku masih membayangkan dia duduk di kursi favoritnya sambil nonton TV sore-sore. Dibilang kangen... nggak juga. Dia cuma menyusahkan anak-anaknya beberapa tahun sebelum wafat. Dia menyusahkan ibuku. Tapi ingatan tentang aktivitas menyebalkan yang dia lakukan selama hidup masih terus berulang, seperti nggak rela hidup kami terbebas dari beban—"

"Herman!" Adam mencengkeram bahu pemuda itu. "You freaked her out."

Benar saja. Wajah gadis berambut cepak itu kini memucat.

"Sori," ungkap pemuda itu. Ia me ngangkat satu tangan dan menekurkan kepala. "Aku jadi melenceng dari ceritamu tadi. Jadi itu awal cerita hantunya? Warga sekitar masih melihat aktivitas kehidupan di sana padahal semua penghuninya sudah meninggal di tahun '80-an?"

Venus mengangguk bisu.

Adam mengambil sepotong red velvet dari etalase dan menyodorkannya pada gadis itu.

"On the house," ungkapnya.

Senyum gadis itu langsung merekah. Begitu saja cara menghidupkan kembali gadis itu dari "kematian".

"Pelayanan tokomu juara, Dam. Itadakimasu." Venus mengambil garpu dan memotong sesuap kecil untuk dirinya sendiri.

Herman mendengus dan kembali ke ruang belakang toko, tempat bahan baku kue diramu menjadi keajaiban cita rasa dan tekstur. Adam tidak mengikutinya. Ia tahu sahabat karibnya masih larut dalam suasana duka. Merawat ayahnya tidak mudah, tetapi ketika tugas itu berakhir suatu hari, Herman dan saudara-saudaranya seperti ditinggalkan dengan kawah menganga yang tidak bisa diisi apa-apa lagi.

"Dia kasar gitu juga kalau sama customer?" gumam Venus sambil mengunyah kuenya.

Adam menggeleng. Ia melirik smartwatch-nya. Ia berharap ada pesan baru dari Luna yang menanyainya kapan ia akan pulang. Ia berharap dirindukan.

"Aku mau pulang cepat. Hari ini Luna mau kontrol ke dokter kandungan." Adam beranjak dari etalase untuk beberes.

"Dia sehat, kan? Aku memang suruh dia istirahat aja selagi hamil, tapi kepikiran juga kalau dia nggak datang-datang ke klinikku. Kalau ada apa-apa aku jadi nggak bisa bantu mantau."

"Muntah-muntahnya lagi parah banget. Apa namanya? Hiperemesis...."

"Hiperemesis gravidarum," koreksi Venus. "Hati-hati, lho, bisa kurang gizi anaknya. Ya udah, sana cepat pulang. Aku nemenin Herman dulu. Dia tahu cara ngunci tokonya nanti?"

"Tahu, kok. Dia udah beberapa kali bantu aku di sini." Adam melepaskan apronnya dan melipatnya asal-asalan sebelum menjejalkannya ke keranjang cucian di ruang belakang. Ia pamit pada Herman dan mengambil beberapa barang kepunyaannya. Helm. Jaket. Ponsel dan kunci motor.

Udara di luar toko kuenya lebih hangat, tetapi angin yang berembus terlalu dingin dan masih mengandung hujan. Ia mengenakan jaket bisbol dan helm, lalu menaiki skuter matiknya. Ia mengingat-ingat lagi apa yang dipesankan Luna saat ia berangkat tadi pagi. Meskipun nafsu makan istrinya merosot drastis di trimester pertama kehamilan ini, ia akan berusaha memenuhi apa pun permintaannya, kecuali yang aneh-aneh seperti filter rokok bekas.




Eternity [Proses Penerbitan]Where stories live. Discover now