"Bener juga tuh, mau kesana sekarang?" Tanggap Karin.

Mereka mengangguk sebagai jawaban. Semuanya berkemas lalu bergegas menuju Ceae. Sesampainya disana, tujuan utama mereka ternyata masih tutup dan diperkirakan buka pada pukul 13.00.

"Apa kita makan dulu aja?" Tawar Vanya yang sedari tadi menahan lapar. Syukurlah mereka menyetujuinya.

Siang ini matahari sangat terik, membuat menu es buah menjadi 10x lebih menggiur dahaga. Sekelompok remaja menyerbu restoran mahal untuk makan siangnya. Selama makan, tak banyak suara timbul. Mereka menikmati makanannya masing-masing.

Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke toko, mendapati seorang wanita paruh baya yang persis seperti di CCTV sedang melayani pembeli. 5 remaja itu bertatapan dengan mata berbinar dan senyum merekah.

"Salah dua dari kita beli roti, gimana? Yang lain tunggu diluar, biar mbaknya nggak ngerasa terintimidasi." Usul Vanya.

"Gue sama Karin aja." Putus Bara menggandeng tangan Karin dan menuntunnya masuk.

"Silahkan rotinya." Ucap wanita itu ramah setelah mereka masuk.

"Kami mau dua roti coklat, Mbak." Jawab Karin. Wanita itu hanya mengangguk lalu mengambilkan roti yang dimaksud.

"Jadi Rp.20.000 kak,"

"Nggak sekalian buat Ata? Dia juga suka coklat kan?" Tanya Bara-alibi.

"Bar, Ata kan udah nggak ada, dia ketimpa platform waktu kebakaran disini empat tahun lalu. Lo masih nggak bisa lupain dia ya?" Jawab Karin.

"Oh iya, itu sadis banget. Apalagi pas tau kebakaran itu bukan sekedar kecelakaan."

"Oh ya?" Potong sang target.

"Saya turut berduka cita mas, mba. Waktu itu saya juga ada disini. Saya lagi jalan-jalan sama adek saya. Pas itu ramai orang, kita kepisah, dan ya adek saya juga korban, Kak. Apalagi saya baru tau kalo itu bukan kecelakaan." Dalam hati, Karin dan Bara terheran.

"Tapi Mbak, setau saya nggak ada korban anak kecil." Karin menanggapi.

"Nggak ada yang bilang adek saya masih kecil Kak, kita cuma beda satu tahun." Jawab wanita roti.

Niat meng-skakmat, Karin ter-skakmat sendiri. Ia meringis kemudian meminta maaf serta mengucap belasungkawa. Setelahnya mereka melangkah keluar toko dengan langkah hati-hati menemui teman-temannya yang menunggu di depan.

"Kenapa dia berbohong kalo dia bukan komplotan teroris itu?" Tanya Vanya keheranan.

"Jawabannya cuma satu, dia komplotan teroris." Allen menanggapinya dengan santai. Ia mengambil kresek roti itu dari tangan Karin, mengambil sebuah lalu memakannya.

"Nggak ada yang nyuruh lo makan roti." Protes Karin mengambil kembali kantong plastik transparan itu.

Ia pun menyuapkan sisa roti ke mulutnya, namun sebelum berhasil melakukannya, roti itu direbut Bara, membaginya lalu menyerahkan potongan roti kembali ke Karin. Ia mendengus. "Ish."

"Jadi sekarang gimana?" Tanya Eran, "kita ke Kapura?"

Allen mengangguk, ia memasukan kedua tangannya ke saku celana lalu memimpin langkah di depan. Bisa dibayangkan betapa berkharisma cowok itu.

Mereka sampai di depan Kapura. Allen lebih dulu turun, diikuti keempat temannya.

"Emang bakal berhasil?" Tanya Karin ragu. Pasalnya Allen hanya berkata, 'gampang' yang sama sekali tak menjawab kegelisahan Karin.

Allen tak menjawab. Dia melangkah masuk, disapa oleh sang security.

"Ada keperluan sama Pak Bos, mas Al?" Tanya security itu. Allen mengangguk, security memimpin jalan untuk Allen dan temannya.

Thank YouWhere stories live. Discover now