Seorang Tamu

70 6 0
                                    

MENGANDUNG UNSUR THRILLER, TIDAK DISARANKAN BAGI PEMBACA UMUR -13⚠️⚠️⚠️

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Beberapa saat sebelumnya.

Jauh dari perkotaan, di kaki gunung Stormcloud, di salah satu petak hutan yang gundul, terdapat rumah kayu reyot yang bagian depannya hampir tertutup dedaunan kering. Orang yang melihatnya pasti akan mengira rumah itu tak berpenghuni kalau bukan karena bagian dalamnya yang masih terang. Seorang bocah cilik berambut hitam sedang berusaha membersihkan teras rumah itu dari daun, ia hampir selesai. Bocah itu terus mengeruk dedaunan dengan sekopnya hingga terasnya benar-benar bersih. Untuk anak berusia tujuh tahun itu pekerjaan yang berat, tapi ia sudah terbiasa dengan hal-hal berat. Hidup berdua dengan ayahnya di tengah hutan memaksa mereka untuk lebih semangat bertahan hidup. Bocah itu akhirnya selesai membersihkan teras, waktunya masuk untuk makan malam.

"Ah, kau sudah selesai, Ikiru." Ucap Shiyamada, ayah bocah itu ketika menutup pintu, ia tengah menyiapkan makan malam. Menu malam ini adalah sup biji cemara. "Oi, basuh tangan dan kakimu, Kita makan bersama." Ujar Shiyamada ramah sambil menuang poci berisi air hangat. "Ada yang ingin ayah bicarakan."

Ikiru mengamati tubuhnya. Lihatlah, rambut dan wajah mungilnya belepotan. Tanpa disuruh pun ia akan ke kamar mandi, membersihkan sisa kotoran yang menempel. Ikiru segera menuju meja bundar dengan tiga kursi itu setelah membersihkan diri. Ayahnya duduk di salah satu kursi, menghadap ke perapian di dekat meja makan. Ikiru mengambil tempat duduk di seberang ayahnya.

"Ada apa, yah?" Ikiru menyendok sup jagungnya.

"Ikiru," ayahnya ragu. "Ayah berpikir sebaiknya kau mulai bersekolah-"

Ikiru yang sedang menyeruput tehnya seketika tersedak."Ti-dak mau!" Ikiru kembali terbatuk, ia menatap ayahnya kecewa, tubuhnya gemetar.

"Eh, kau harus mau." Shiyamada selalu bingung dengan jawaban Ikiru. Ia sudah menanyakan hal itu berkali-kali, berharap anaknya akan berubah pikiran, tapi ia tak kunjung siap. Padahal ia telah mempersiapkan Ikiru untuk bersekolah, mulai dari mengajarinya berhitung sampai pelajaran bahasa. Ikiru suka membaca, itu membuat ayahnya lebih mudah dalam mendidik Ikiru. Beri dia buku, maka ia akan membacanya. Tahun ajaran baru sudah dekat.

"Jangan- jangan sekolah. Aku- takut." Ucap Ikiru tersendat tangisnya bersiap bangkit dari tempat duduknya, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

Shiyamada balas menatap anaknya  prihatin. Sungguh, sebenarnya Shiyamada terpaksa menyuruh Ikiru untuk bersekolah, mau bagaimana lagi? Ikiru membutuhkannya, walau ia membencinya.

Ikiru memiliki trauma terhadap orang asing-itu satu sebab rumah mereka pindah ke tengah hutan. Sepanjang yang ia ingat, ia selalu menunduk setiap kali bertemu orang lain, karena mereka akan menatapnya sinis, orang dewasa maupun anak-anak, laki-laki maupun perempuan, semuanya memandangnya tidak bersahabat. Bahkan ada yang pernah sampai melempar Ikiru dengan batu. Kata-kata seperti 'Enyahlah kau, dasar pembawa sial!' menjadi hal yang paling sering masuk ke telinganya dulu. Sekuat apapun Ikiru berusaha menahannya, ia tetap tak bisa menghadapinya. Tatapan-tatapan itu terus membayangi benaknya, ucapan-ucapan itu terus menggaung dalam kepalanya.

Tok..Tok..Tok..

Lamunan Shiyamada terpecah oleh ketukan pintu rumah mereka. Alisnya sontak mengerut, Shiyamada ragu-ragu untuk membukakan pintu.

Tok..Tok..Tok...

Pintu kembali diketuk, Shiyamada tidak punya banyak waktu. Ia harus cepat bertindak.

"Tunggu sebentar," Shiyamada membuat keputusan. "Ikiru, tetaplah disitu." Shiyamada bangkit dari tempat duduk, tidak ada tanda-tanda kecemasan di wajahnya, melangkah menuju ruang depan, berusaha tetap tenang, langkahnya terlatih.

Ikiru tidak mengerti maksud ayahnya.

Shiyamada memegang kenop pintu, memutarnya perlahan, tetap siaga. Pintu mulai terbuka, menciptakan celah yang dapat dilewati seekor tikus. Namun bersamaan dengan itu, sebuah bola kecil menggelinding masuk, dan...

BUUUMMMM!!!!!!!

Bola itu meledak, menghancurkan rumah mereka, puing-puing berserakan dimana-mana, asap tebal menyelimuti sekeliling. Beruntung Shiyamada segera melompat mundur dan sempat meraih Ikiru, segera  menciptakan perisai setengah lingkaran tak kasat mata berdiameter lima depa.

Ikiru gemetar, masih mencerna apa yang tengah terjadi. Ia melirik ayahnya yang tadi masih tenang, kini raut wajahnya mengeras, bersiap dengan apa yang akan terjadi, terlihat dari matanya yang nyalang menatap bayangan di balik asap, tidak jelas. Namun lama kelamaan bayangan itu semakin jelas. Tiga orang dengan jubah berwarna merah tua berjalan membelah asap. Ikiru menatap nanar sosok-sosok itu, semakin gemetar ketakutan.

"Wah, wah, lama tak jumpa, Shi" Orang di tengah menyibak tudungnya, memperlihatkan wajah menyeramkannya, tatapannya buas, rambutnya berwarna merah darah dengan tiga tindik menghiasi wajahnya, satu di telinga kanan, dua lainnya di bawah bibir.

"Pigor." Desis Shiyamada dingin, menurunkan Ikiru dari dekapannya. Sekilat cahaya muncul di tangan kanan Shiyamada membentuk sebilah katana, cahaya itu sempurna menjadi katana yang kini ia genggam.

"Apa kabar kadalmu, Shi." Pigor terus berjalan mendekati perisai bersama dua orang lainnya. "Kau merawatnya dengan baik, bukan?." Pigor menyeringai lebar.

Shiyamada tidak menjawab, memasang kuda-kuda.

"Heeh, basa-basi," Pigor mengangkat kepalanya, menatap tajam Shiyamada, mereka hanya terhalang perisai. "Serahkan kadal itu maka nyawamu kuampuni." Pigor mengulurkan tangan kanannya mencoba bernegosiasi, nego yang buruk. "Tanpa nenek itu kau tak bisa apa-apa."

Shiyamada diam tidak memedulikan ucapan Pigor yang kini berhenti di depan perisai.

"Hoo..... Begitu, baiklah." Pigor menjentikkan jarinya.

Sesaat dua orang yang bersama Pigor menghilang, lalu muncul tepat di depan Shiyamada dan di belakang Ikiru, siap menggorok mereka dengan belati yang mereka genggam.

Shiyamada tak menyangka mereka dapat memasuki perisai. Ikiru dalam bahaya. Belati itu siap memotong lehernya.

"SHIRYUUUU!!!!" Teriakan Shiyamada membahana di langit. Bersamaan dengan itu aura biru muda muncul bergejolak dari tubuh Shiyamada, membuat energi hentakan yang kuat, kedua orang itu terpental, beruntung ia sempat meraih dan menahan Ikiru. Shiyamada melesat mengejar lawan.

Kedua orang yang terpental tadi buru-buru menyeimbangkan tubuh mereka, namun belum genap salah seorang dari mereka mendarat di tanah, Shiyamada sudah berada di depannya mengayunkan katana horizontal.

Orang itu menangkis serangan Shiyamada, lalu membalas mengayun belatinya. Pertahanan orang itu terbuka lebar, ini kesempatan Shiyamada melancarkan serangan. Tanpa membuang waktu Shiyamada menebas tangan orang itu lantas  menebas lehernya. Itu gerakan yang sangat cepat, bahkan orang itu belum sempat menjerit kesakitan.

Shiyamada menghilang lagi dan muncul di atas orang yang satunya.

"Membusuklah dalam neraka!" Shiyamada melepas tendangan, kakinya memancarkan aura biru muda telak menghantam orang itu, berdentum kencang, membuat tubuh orang itu tercecer dimana-mana.





Return 0: Awal; Bag IWhere stories live. Discover now