3 - Stereotype

736 127 6
                                    

Sehabis berkencan seperti biasa, Sasuke mengajak Sakura menikmati bekal yang diam-diam sudah dipersiapkannya dari rumah. Menu sederhana yang cocok untuk piknik di taman, hanya saja Sasuke tidak membawa taplak sebagai pelengkap rencana dadakan tersebut. Mereka memilih duduk berdua di bangku sambil mulai menyantap onigiri buatan Sasuke.

“Bagaimana?”

“Enak sekali, bentuknya juga rapi. Kau pasti jago sekali dalam memasak.”

Sasuke tersenyum simpul mendengar pujian pacarnya itu. “Saat kau berkunjung ke apartemenku bulan lalu, aku berniat mau memasak sup untukmu, tapi kau keburu minta pulang duluan.”

“Kan sudah kubilang, aku ada urusan mendadak.”

“Urusan apa? Kau belum memberitahuku sampai sekarang.”

“Benarkah? Kau tidak tanya sih.” Sakura menelan onigiri-nya dulu sebelum melanjutkan ucapannya. “Membantu orang tuaku mempersiapkan acara keluarga. Beberapa kerabat jauh kami ikut hadir juga, jadi harus dipersiapkan secepatnya.”

“Kupikir ada urusan penting apa. Kau terlihat panik saat itu.”

“Karena aku tidak mau sampai dimarahi oleh ibuku.”

“Apa perlu aku segalak ibumu agar bisa menjinakkanmu?” tanya Sasuke sedikit menggoda.

“Memang bisa? Ayahku saja tidak berkutik kalau sudah diomeli oleh ibuku,” Sakura balik menyindir sang pacar.

“Ayahmu tipe suami-suami takut istri, ya.”

“Ya, begitulah. Bagaimana denganmu sendiri?”

“Menurutmu?” tanya Sasuke balik.

“Mungkin kurang sabaran,” jawab Sakura sekadar menebak-nebak.

Sasuke mengangguk mengiyakan. “Seharusnya aku lebih bijak menghadapimu yang jauh lebih muda.”

Daripada menilai Sasuke adalah tipe yang pemarah, justru dia sangat pengertian terhadap pasangannya. Sasuke selalu berusaha memenuhi semua keinginan Sakura dan tidak membuat gadis itu benar-benar merajuk padanya. Pokoknya, Sasuke ingin memberikan yang terbaik untuk hubungan mereka supaya terus harmonis.

“Maaf jika aku sering membuatmu kesal,” kata Sakura tulus. Dia kadang merasa bersalah terhadap Sasuke.

“Bukan masalah,” balas Sasuke membelai lembut surai gulali Sakura.

“Terima kasih. Aku sangat beruntung bisa memiliki pacar sepertimu.”

Darah Sasuke berdesir ketika Sakura tiba-tiba memeluknya dengan erat. Sasuke memahami karakter Sakura yang punya selera humor cukup tinggi. Dia mencoba membuat suasana di antara mereka lebih santai saat sisi kaku Sasuke keluar. Alih-alih chill, Sakura malah sering membikin Sasuke kesal.

“Terima kasih juga mau denganku. Aku jauh lebih beruntung dapat memilikimu.”

Mata Sakura mulai memanas, lalu menimbulkan tumpukan air asin di pelupuk matanya. Dia mendadak terharu sendiri karena keromantisan mereka. Kebetulan juga sih, dia kebanyakan membaca novel percintaan belakangan ini.

“Kau menangis?” tanya Sasuke heran melihat Sakura menyeka matanya.

“Tidak, aku hanya kelilipan.”

Sasuke tahu Sakura sedang berbohong. Dia jadi sangat gemas melihat sisi lain Sakura yang mudah tersentuh begini. Satu ide iseng melintas di otaknya, apa perlu Sasuke berbuat romantis lebih banyak lagi untuk membuat Sakura benar-benar menangis?

“Kau mau main lagi ke apartemenku?” tawar Sasuke setelah acara makan-makan mereka selesai.

“Ya, tapi aku mau membeli perlengkapan makeup dulu. Boleh?” tanya Sakura terdengar seperti minta izin ke suami saja.

Who Are YouWhere stories live. Discover now