Satu: Doppelganger

18 0 0
                                    

Bu Nia menatap nanar surat yang baru saja sampai ke kelas ini pagi tadi. Ada dua surat di tangannya, surat izin wali murid dan surat keterangan sakit dari dokter.

"Hera ini kata dokternya keracunan tanaman beracun.. sakitnya parah juga ya.. kita doakan agar Hera cepat sembuh."

"Amin," sahut anak-anak.

"Tapi aneh juga, tumbuhannya kok bisa kemakan, ya? Kalian juga hati-hati kalau makan!" ucap wali kelas kami mengingatkan. Tapi yang bener aja Bu, mana bisa secara nggak sengaja makan tanaman beracun, hihi.

"Iya Bu."

Beralih topik pembicaraan, Bu Nia kembali khawatir. "Nah, terus gimana ini?" Dia mondar-mandir resah sambil menatap murid didiknya. "Ayo Nak, siapa yang mau ikut lomba story telling? Waktunya sudah mepet ini!"

Sekelas jadi sunyi dan aku hampir saja keceplosan tertawa --yah, daripada ngeliatin dua orang aneh yang saling bicara itu-- Tapi sebelum aku hampir keceplosan tertawa, ada satu suara yang memecah keheningan di kelas.

"Naray aja Bu, kan sebangku!" ejek Ginan. Teman sebangkunya --Elvi-- melirikku dengan jijik. Dih, mentang-mentang temenan sama Hera, nggak usah ngejek kali. Aku juga nggak berminat ikutan story telling.

Mirip bener sifatnya sama Hera, judgement. Mereka bahkan pernah memaksa orang meminum air sabun yang mereka bawa! Dan orang itu percaya kalau itu bukan air sabun, melainkan air kelapa.

"Iya, mana dia sok nginggris gitu pas pelajaran bahasa Inggris, apalagi pas baca pidato, suaranya sampe mengalahkan kondangan di luar, Bu!" Sekelas ketawa nggak jelas, dan dua orang aneh itu tetap ngobrol sambil tersenyum pura-pura tidak peduli.

"Ooh, berarti Naray bahasa Inggrisnya juga bagus, ya? Kalau begitu ibu langsung daftarkan sekarang ya Nak, udah mepet ini."

"Loh tapi Bu!-" belum sempat aku menolak lomba itu, ada panitia lomba masuk ke kelas dan menghampiri ibu. Tanpa basa basi lagi, ibu langsung menyuruh panitia mencatat namaku.

NJIR!!! Udah, gitu aja!? Kagak pake seleksi gitu kek? Ingin rasanya aku menolak, tapi ibu dan panitia itu sudah pergi dari kelas.

Hmm, hari ini sangatlah jancuq-able.

♡ [as]

Begonya, 3 hari sebelum lomba story telling dimulai, barulah aku berniat latihan.

Halah tenang, aku cuma perlu kelihatan lebay saja, kok! Iya.. kurasa begitu. Lagian, cuma perlu tampil di depan 3 orang juri saja. Orang-orang di luar kelas nggak bakal bisa lihat aku.

Kutinggikan nada suaraku dan mulai membaca dialog yang tertera. Baru mulai saja aku sudah pusing sangking banyaknya dialog yang harus kubaca.

Di luar terdengar suara dengan tone rendah, sepertinya sedang emosi.

"Ada apa itu ribut-ribut?" Orang itu bertanya dengan aura yang gelap, auranya terasa sampai ke kamar.

Ck. Orang itu lagi, dasar sensi.

"Nggak tahu lah, tuh kakak di kamarnya!"

KRIEKK.

Pintu terbuka dan menampakkan sosok tinggi bermata merah.

"Naray. Kamu gak lihat papa lagi tidur?"

Tidur tolol? Jam 9 pagi malah tidur. Ajg, padahal suaraku nggak keras-keras amat, batinku dalam hati.

"Iya tadi latihan buat nanti di sekolah."

"HAH!" Pria tinggi itu tertawa merendahkan sambil mengusap rambutnya dengan kasar.

"Kamu jangan bikin gara-gara terus ya! Mana ada sekolah yang suruh kamu teriak-teriak gitu!? Anak ini memang sudah kelamaan nggak dipukul!"

♡ [as]

Latihan bisu. Metode latihan yang tepat setelah kemarin pagi bukan hanya mainan plastik besar yang hancur, tapi pahaku juga.

Aku sudah tobat latihan dengan suara agak keras, karena bagi papa suara agak keras itu adalah suara yang sangat keras!!

Sudahlah, mending cepat mandi terus langsung makan.

Baru saja aku meletakkan sepatu di rak, telingaku disuguhi suara-suara sumbang dari mamaku sendiri.

"Naray, nih coba lihat, ini fotonya Kak Dito pas lagi di DayCare sama adeknya.
Kak Dito itu sayang banget ke adeknya, nggak kayak kamu! Sama adek sendiri nggak mau kalah!"

Mendengar itu aku mendengus. Haha, Kak Dito, penyayang? Tahi ayam.
"Yaa aku udah ngalah kok, tapi adek malah mukul aku."

Mama melirikku tajam, emosinya mulai terpancing. 'Beraninya anak itu!' batin Mama.

"Ya harusnya nggak kamu bales! Itu kan adek kamu!"

"Ya tapi dia mukulnya keras, tahu! Tulangku sampe bunyi nih! Menurut mama aku nggak sakit, gitu!? Lagian yang salah itu dia!"

"Anak kurang ajar! Brengsek kamu!"

Nyenyenyenyenyeee, nggak denger! Aku mau mandi aja, dasar nenek sihir! Baru aja aku pulang sekolah udah nyari gara-gara.

Tapi aku malah berubah pikiran di tengah jalan. Bukannya ganti baju atau mandi, aku memakai sweater untuk menyembunyikan seragam dan mencopot rokku. Tenang, aku pake legging kok.

Pokoknya, suatu saat nanti aku mau pergi dari sini! Tapi sekarang belum bisa, jadi mending jalan-jalan aja dulu daripada di rumah terus.

Hehe.

Baru setengah jalan dari komplek rumah, aku tersandung hingga jatuh dan hampir masuk ke dalam got.

"Aduh!"

Untung saja air gotnya rada surut, jadi meski kepalaku sudah masuk selokan, tapi tetep nggak kena air.

Duh! Aku nginjek apaan, sih!? Eh? Buku?

Bukunya bagus.. bersampul hitam mengkilap. Semoga aja nggak ada isinya, lumayan bisa kujadiin buku catatan. Atau buku diary, mungkin?

Huft, ya enggaklah. Nanti mama maksa baca diary-ku lagi kayak dulu. Kuarahkan pandangan ke bawah sembari membersihkan pakaian yang terkena debu.

Baru saja hendak berdiri, terdengar suara teriakan di belakangku.

"Hiii! Sudah ada yang ambil!" seru anak laki-laki itu kabur ke sebuah gang, suaranya terdengar seperti hendak melaporkan pencurian. Mukanya bahkan terlihat pucat.

Apa-apaan anak itu? Berarti ni buku punya dia, dong! Ck, ya udahlah balikin aja! Daripada dia ngadu!

Kakiku memacu kecepatan menuju gang yang tadi dia masuki.

Please, semoga masih kesusul!

Memasuki gang gelap nan lembab, penglihatan mataku menyusuri jalanan yang ada. Sudah sekitar 5 menit aku berlari, tapi anak laki-laki itu sudah tidak ada!

Ah ya sudahlah! Lagian kan dia pasti nggak kenal aku. Akhirnya aku berhenti berlari dan berbalik untuk keluar dari gang ini.

Nggak apa-apa, lagian aku seneng kok, dapet buku gratisan, hehe.

A Girl with a Bad StoryWhere stories live. Discover now