02. Sebuah Pesan

16 0 0
                                    

Ratih masuk ke dalam ruangan dan melihat sahabatnya terkapar di lantai.

"Agni!" serunya mendekati tubuh sahabatnya itu.

Agni membuka mata, dan tersenyum melihat Ratih. Ia meringis kesakitan saat berusaha duduk.

"Lo kenapa, Ni?" tanya Ratih cemas. Ia memeriksa sekujur tubuh Agni.

Agni berusaha bangkit untuk duduk. Ratih membantunya.

"Ntar gue ceritain." kata Agni agak terbata menahan sakit di sekujur tubuhnya. "Gue minta tolong lo bantuin gue pergi dari tempat ini."

Ratih mengangguk cemas. Ia membantu Agni berdiri. Agni memaksakan diri agar Ratih tidak keberatan mengangkat tubuhnya.

"Bukankah itu Bang Warso dan Bang Rudi?" Ratih menunjuk dua pria yang terkapar di lantai.

"Ntar gue ceritain juga. Bawa dulu gue ke kos lo." pinta Agni.

"Lho, gak ke rumah sakit aja?" tanya Ratih heran. "Kayaknya parah nih!"

"Udahlah, ayo kita pergi." ajak Agni.

Ratih menuruti permintaan Agni, mesti pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan.

***

Ratih termangu mendengar cerita Agni. Mereka berdua sekarang sudah berada di dalam kamar kos yang ditempati Ratih. Agni menyeka bagian tubuhnya yang sakit dengan buntalan kain berisi es batu. Ia tadi juga sudah menyuruh Ratih mencarikan obat penghilang nyeri di apotik 24 jam terdekat. Setelah meminum obat itu ia mulai bercerita sambil menyeka tubuh dan mukanya yang lebam dengan buntalan berisi es batu itu.

"Aku gak nyangka Bimo punya saham di klab malam itu." ujar Agni. "Aku pikir Pak Ridwan pemilik satu-satunya."

"Mungkin Pak Ridwan juga pemilik saham sekaligus pengelola." sahut Ratih. "Entah Bimo yang lo sebut itu, gue gak pernah tahu."

"Mosok sih lo gak tahu? Lo kan udah tiga tahun kerja di situ?"

"Makanya gue juga heran. Bimo itu kayak gimana gue juga belum tahu."

"Gue gak punya fotonya." sahut Agni.

"Menurut gue, lo sebaiknya ikutin ajakan si Bimo itu, Ni." kata Ratih sambil menatap Agni.

Agni balas menatap Ratih dengan tatapan tidak suka atas ucapan Ratih barusan.

"Demi Anya, Ni." lanjut Ratih.

Agni menggelengkan kepala.

"Gak. Gue udah tahu yg ada di pikiran bajingan itu." geramnya. "Gue gak mau terperangkap lagi. Bimo itu licik!"

"Trus nasib Anya gimana?" tanya Ratih cemas.

"Itu urusan gue. Sekarang gue mau tidur dulu. Ngantuk banget. Sekalian memulihkan diri." Agni beranjak dari tempat tidur.

"Mau ke mana?" tanya Ratih refleks memegang tubuh Agni agar tidak limbung.

"Gue tidur di karpet aja." jawab Agni sambil menunjuk ke lantai.

"Gak. Lo tidur aja di sini. Gue yang di karpet." kata Ratih sambil merebahkan tubuh Agni ke tempat tidur.

"Makasih, Tih. Lo memang sahabat gue." Agni terharu memandang sahabatnya.

"Ah, gimana sih lo. Gue yang banyak berutang budi sama lo. Kalau gak ada lo, gimana nasib gue di tangan preman-preman mesum itu."

Agni meringis. Lalu ia memejamkan mata, membiarkan tubuh memperbaiki sel-sel yang rusak parah akibat kelelahan dan luka dalam.

Ratih pun terharu melihat sahabatnya itu tidur di kasurnya. Ia melihat jam dinding. Sebentar lagi matahari terbit, dan ia semalam belum tidur. Ia harus ikutan tidur juga, meski tidak begitu mengantuk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Berandalan BetinaWhere stories live. Discover now