35. Peti Kaca

297 56 9
                                    

Istana itu nampak menjulang kokoh seolah hendak mencakar gumpalan awan yang bergerumul di atas  sebuah teluk kecil dan diapit bukit-bukit tinggi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Istana itu nampak menjulang kokoh seolah hendak mencakar gumpalan awan yang bergerumul di atas  sebuah teluk kecil dan diapit bukit-bukit tinggi.

Indah, adalah satu kata yang akan diucapkan orang-orang kala melihatnya. Sayang, meski demikian kata itu tidak berlaku jika ingin menilik ke dalamnya. Setidaknya, untuk saat ini. Karena suasana duka lebih kental menyelimuti ketimbang tawa bahagia.

Di sana, di dalam sebuah peti yang terbuat dari kaca Chris bisa melihat tubuh mungil itu terbaring di dalamnya. Diam, tak bergerak, tak bergeming sama sekali meski ribuan kali orang-orang memanggil namanya. Diam, tak sedikit pun membuka matanya meski ribuan kali orang-orang terdengar menangisinya.

Sepi. Setelah banyaknya pelayat yang pulang sehabis melihat jenazah si pangeran kecil, kini tinggal Chris seorang diri.

Bunga mawar putih yang dibelinya sudah layu, namun masih ia genggam dan tak sekalipun ia tinggalkan. Dengan langkah lunglai kaki itu mendekati tempat pembaringan. Ditatapnya lekat sosok manis yang ada di dalamnya penuh sendu.

"Maaf ..." gumamnya pelan, dan setetes air mata jatuh ke pipinya. "Maaf ..." ucapnya lagi, tak henti seolah kata itu adalah sebuah rapalan mantra yang harus diulanginya berkali-kali.

Tangan besarnya terangkat, mengusap permukaan kaca peti cantik itu sebelum meletakkan setangkai mawar putih layu yang ia bawa sembari berbisik pelan, berharap jika sosok di baliknya bisa mendengar suaranya yang lirih.

"Terima kasih telah hadir di hidupku, maaf aku tak bisa menjagamu seperti yang aku janjikan. Maaf, karena aku membuatmu pergi sendirian. Sekarang semua sudah usai, beristirahatlah yang tenang dan berbahagialah di tempat yang indah di sisi Tuhan ... selamat ulang tahun dan selamat jalan, Pangeran manis."

Setelah berkata demikian, ia segera berdiri dan mengelap sisa air matanya. Hatinya terasa begitu sakit.

Dengan langkah gontai kaki itu akhirnya pergi meninggalkan ruangan tempat si manis berada kini. Ia pikir sudah tak lagi ada sosok yang bisa dijadikannya alasan untuk tinggal di sini. Jadi, mungkin lebih baik ia pergi. Tohk, ia juga takkan sanggup jika harus diam menetap untuk menghadiri pemakamannya nanti.

Chris tahu, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Ia juga tahu,  cepat atau lambat suatu hari nanti ia dan Ilino takkan berjalan seiringan lagi. Remaja manis itu lebih pantas tinggal di dalam istana ketimbang di jalanan sepertinya. Hanya saja ekspektasinya ternyata diluar realita.

Ia tak pernah menyangka kalau maut justru datang lebih cepat dari perkiraannya, padahal semua rencana sudah disusun matang untuk membantunya kabur dari kejaran sang ratu setan. Sial, memang dasar malang tak berbau, tak pernah disangka kalau ia akan kecolongan dan berakhir menyedihkan seperti ini.

"Tidak!"

Tiba-tiba saja di sela langkah gontainya ia mendengar suara Joey berteriak kencang tatkala melewati salah satu tikungan di lorong panjang ini. Sejujurnya, Chris enggan mengetahui kenapa lelaki itu memekik kencang sekali. Namun karena didorong penasaran akhirnya diam-diam ia mengintip di celah pintu yang tak tertutup.

Seorang lelaki dengan pakaian khas dan sebuah mahkota bertengger di kepalanya, seorang lelaki tua yang nampak gagah dengan pedang bergelayut di samping pinggulnya, dan seorang pemuda yang ia kenali nampak berdiri disertai wajah penuh guratan emosi.

Itu Joey beserta ayahnya; Ksatria Dominic, dan Raja Lean yang tengah berbicara. Entah topik apa yang tengah mereka perdebatkan, akan tetapi Chris bisa melihat kalau Joey saat ini mati-matian menahan emosinya.

"Kalian tidak bisa melakukan itu!" pekiknya lagi.

"Joey! Mana sopan santunmu!" bentak sang ayah dengan sama kencangnya.

"Jangan karena Anda adalah seorang Raja lantas bisa memerintah semaunya. Aku tak bisa merelakan Ilino begitu saja!"

Ilino? Chris mengernyit tatkala mendengar Joey meneriakkan nama si pangeran kecil dengan begitu lantang. Bahkan lelaki bertakhta yang tengah ada di hadapannya pun seolah tak ia pedulikan sama sekali. Ia menanggalkan sopan santunnya karena dibakar emosi.

"Joey!" Ayahnya nyaris hilang kendali, hampir-hampir saja pedang itu ia hunus untuk menghukum anak semata wayangnya ini. Beruntung Raja Lean sigap segera menahannya dengan memberikan satu tepukan ringan di bahu.

"Kita tak punya waktu, Joey. Aku paham kau ingin Ilino dimakamkan dengan layak di sisi ayah dan ibunya, tapi kamu juga pasti tahu, bukan, kalau perempuan itu takkan berhenti hanya karena ia tahu bahwa anak tirinya sudah mati?" ucap Yang Mulia Raja dengan begitu tenang.

"Ratu Errenne bisa saja membobol makam Ilino nanti untuk mengambil jantungnya, jadi melakukan kremasi pada jenazahnya adalah pilihan terbaik untuk menyelamatkan jantungnya," tambahnya.

"Apa?" Chris tertegun seketika tatkala mendengar itu. Ia membelalak dengan raut kaget luar biasa. Paham kini mengapa Joey sampai berteriak kencang seperti tadi, karena Chris pun nika ada di posisinya tentu takkan bisa rela begitu saja dengan keputusan Sang Raja akan nasib jenazah si Pangeran kecil.

Langkah kakinya mundur perlahan, ia lantas segera berbalik dan meninggalkan sela-sela pintu tempatnya menguping tadi. Namun ia tak berniat untuk pergi dari istana ini, melainkan kembali ke kamar di mana jenazah si manis berada.

Dengan sedikit tergopoh ia masuk ke dalamnya, menyerbok di antara dua bilah pintu yang terbuka dan berdiri tepat di tepi peti kaca.

"Tidak ... aku takkan bisa merelakan dirimu hangus begitu saja dilahap api," gumamnya.

Lantas tangan itu mengulur, membuka kunci dari pintu sang peti dan membukanya. Aroma semerbak dari wewangian dan juga beberapa bahan lain yang digunakan para pembantu yang memandikannya seketika menguar ke udara.

"Aku akan membawamu pergi," katanya lagi.

Tentu ucapan itu tak dijawab sama sekali, sosok di balik kacanya masih setia menutup mata, bahkan sampai lengan kokoh itu mulai melingkar di bawah perpotongan lutut serta lehernya pun masih tetap sama. Tak bergeming sama sekali.

Hanya dalam satu kali gerakan tubuh kurusnya pun akhirnya berpindah dari tempat pembaringan ke dalam gendongan.

Ya, Chris berniat membawa Ilino pergi dari istana karena ia takkan rela membiarkan tubuh serta kulit putih bersih itu dilahap api hanya karena berniat menghindari serangan Ratu Errenne.

Sayang, belum sampai berhasil pergi tiba-tiba sesosok lelaki berdiri menghadangnya di depan pintu dengan sorot mata nyalang.

"Apa yang kau lakukan, Pemburu? Kau ingin kepalamu terputus di tiang pancung?"























Maaf, harusnya aku update ini dari kemarin tapi aku belum selesai nulisnya dan kerepotan di rl juga :(

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Maaf, harusnya aku update ini dari kemarin tapi aku belum selesai nulisnya dan kerepotan di rl juga :(

The Prince, The Queen, and The Hunter [Banginho]Where stories live. Discover now