34. Setetes Racun

264 60 5
                                    

Pagi itu merebak, membawa sinar jingga bersemburat keemasan dari sang fajar yang terbit di ufuk timur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu merebak, membawa sinar jingga bersemburat keemasan dari sang fajar yang terbit di ufuk timur. Hangatnya mungkin belum terasa, namun beberapa kuntum bunga mulai bersemi dari ranting-ranting beku yang perlahan meleleh.

Dua pria berbadan tegap dengan pedang menggelayut di sisi kiri pinggul masing-masing nampak berjalan menyusuri gelapnya hutan. Di tangan mereka tergenggam sesuatu yang baru saja didapatkan dari sebuah pasar di desa kecil yang ada di tepian hutan.

"Kupikir kau tak jadi ikut," ucap Joey sembari melirik setangkai mawar putih yang dibawa Chris.

"Akan ada seorang ksatria yang terus merengek jika aku tak menuruti kemauannya," gerutu si pemburu, mengejek sosok yang baru saja bertanya padanya.

"Begitukah?" Alih-alih marah, Joey malah tertawa pelan mendengarnya.

"Lagipula, aku ingat kalau aku harus membeli sesuatu untuknya," jawab Chris, teringat akan sosok pangeran kecil yang semalam ia rengkuh dalam pelukan. "Aku tak ingin hanya memberikan ucapan saja di hari ulang tahunnya."

"Jadi itu alasannya kau memilih setangkai mawar putih?" telisik Joey lagi.

"Ya ... tidak ada alasan spesifik, aku hanya bisa menemukan bunga ini di antara banyaknya pilihan. Apakah buruk?" Chris balik bertanya.

"Tidak, itu pilihan yang bagus." Joey mengangguk pelan.

Sesekali tangan sang Ksatria mengayunkan bilah pedang yang dihunusnya untuk menyingkirkan beberapa akar mistis yang seolah sengaja menjegal jalan mereka. Hutan Terlarang meskipun di bawah sinar mentari pagi tetap terlihat menyeramkan untuk sebagian besar orang-orang.

"Kamu sendiri, kenapa memilih memberikannya baju?" selidik Chris kali ini. "Kamu membeli kemeja dan celana serba putih, apa alasannya?"

"Hmm ... seperti yang kau bilang tadi, tak ada alasan spesifik. Saat aku ingat kalau Ino suka dengan warna putih, dan tak sengaja menemukan pakaian ini di pasar tadi aku tak memikirkan banyak hal untuk memilih yang lain," cecar Joey. "Lagipula, agak sedikit miris dan sedih melihat keadaannya yang hanya memakai baju kumuh begitu. Dia seorang pangeran, sudah semestinya memakai pakaian yang lebih layak dari yang ia kenakan," sambung si ksatria.

Chris tak menjawab, ia mengakui kalau yang diucapkan Joey adalah benar adanya. Miris dilihat untuk seorang anak keturunan raja namun dengan pakaian tak jauh berbeda seperti budak-budak di desa. Ilino seharusnya bisa memakai pakaian yang lebih daripada itu. Ya, meskipun Chris tahu kalau mungkin ia tak mempermasalahkan baju apa yang dikenakannya.

Srekkk ....

Ranting kayu yang terinjak itu seketika membangunkan Nutty. Dengan wajah bantal dan mata yang masih separuh tertutup ia menguap lebar sebelum mendapati Joey dan Chris datang beriringan, entah dari mana.

"Kalian ke mana? Habis dari mana?" tanyanya.

"Hm? Oh, kami pergi sebentar ke arah sana," tunjuk Joey asal namun ia diam-diam menyembunyikan kantung kain coklat yang dibawanya ke balik punggung.

The Prince, The Queen, and The Hunter [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang