Strength III

737 75 13
                                    

~Happy Reading~

***

Selama seharian penuh, Jeongguk tak sadarkan diri. Sementara keluarganya mempersiapkan pemakaman untuk Jimin dan putranya. Kaeri terlihat sangat terpukul, dia juga pingsan selama beberapa jam.

Kini Kaeri sedang menunggu Jeongguk dan membiarkan suaminya mengurus pemakaman Jimin. Dia tidak akan mampu menahan perasaannya begitu melihat Jimin, dia yakin dia akan mengamuk jika melihat Jimin dikebumikan dengan mata kepalanya sendiri.

Suasana kamar Jeongguk terlihat suram, Kaeri tidak memiliki sedikitpun niat untuk sekedar menyalakan lampu atau membuka gorden jendela. Dia hanya menunduk meremas tangan Jeongguk, dia sudah lelah menangis. Matanya sudah sangat sembab dan memerah.

Kaeri mendongak begitu mendengar suara kecil dari Jeongguk, menatap putranya yang berusaha membuka matanya dengan pandangan kosong. Dia tidak memasang ekspresi apapun di wajahnya, tampak seperti raga tanpa jiwa yang tatapannya menghunus tepat di mata Jeongguk. Tapi meski dia tidak mengeluarkan satu emosipun, semua orang tahu dia tidak dalam kondisi yang cukup baik, bisa dikatakan dia kacau.

Jeongguk menatap sekeliling dengan bingung, dia hampir melompat terkejut saat melihat ibunya menatapnya kosong. Lalu dia kembali teringat kejadian sebelum dia pingsan, wajahnya langsung terlihat begitu murung.

Sepasang ibu dan anak itu termenung dalam keheningan, tidak ada satu pun yang memiliki niat untuk membuka suara. Tidak Jeongguk, ataupun Kaeri.

Jeongguk masih tidak ingin mempercayai ingatannya tentang kematian Jimin dan putranya, tapi melihat Ibunya terlihat sangat kacau seperti ini, dia mau tak mau mempercayai fakta menyakitkan itu. Kenapa Jimin harus pergi saat dia mulai menerima kehadirannya? Kenapa Jimin pergi saat dia merencanakan hadiah kecil sebagai permintaan maaf untuk pria itu? Kenapa dia terlambat?

Jeongguk ingin mengamuk, dia ingin menyalahkan orang lain atas rasa sakit hatinya. Tapi seketika itu juga, sebuah batu besar menghantam kepalanya. Dia sendiri yang menyiksa pria malang itu, dengan kedua tangannya sendiri dia membuat luka di wajah manis itu.

Jeongguk merasakan kepalanya berputar, dia menarik rambutnya dengan kedua tangan saat perasaan itu tidak berhenti dia rasakan. Memukul kepalanya untuk menghilangkan dengungan  menyakitkan di kedua telinganya, dia berteriak. Menjerit kesakitan.

Tubuh Jeongguk berguling-guling di kasurnya, menendang asal selimutnya, lalu meringkuk. Kaeri terkejut dengan perilaku putranya, dia memanggil beberapa pelayan untuk memanggil suaminya dan dokter. Dia kembali menangis melihat putranya terus menggeliat dan menjerit kesakitan. Tubuhnya mundur, menyender pada dinding dan luruh ke lantai. Memeluk lututnya dengan isakan kecil.

Kenapa keluarganya kacau seperti ini?

Beberapa menit kemudian, pintu kamar Jeongguk dibuka dengan kasar. Seorang pria paruh baya masuk dan memanggilnya dengan panik, dia menguatkan diri untuk berdiri dan menghampiri suaminya yang mencoba menyadarkan Jeongguk. Tapi tidak ada tanggapan yang berarti, Jeongguk masih berguling di ranjangnya. Menangis terisak dan merintih menyebut nama Jimin.

Plak!

Tubuh Jeongguk berhenti memberontak, wajahnya terpaku menatap kosong ke depan. Perlahan, dia menatap ayahnya tak percaya, dia bisa melihat wajah pria itu hampir menangis. Sebelum tubuhnya ditarik dalam sebuah pelukan, wajahnya dibenamkan di dada ayahnya.

Begitu Jeongguk merasakan kehangatan di tubuhnya, dia mulai kembali menangis. Mencengkram erat baju ayahnya.

"I-ini salahku... Ayah, ini semua salahku... Jika aku memperlakukannya dengan baik maka dia masih disini bersamaku. Semua salahku, dia pergi. Dia membawa putraku pergi karena marah padaku, kan, Ayah? Dia membenciku. Dia membawa pergi bayi kami karena dia benci melihatku, kan?" Jeongguk terus merintih disela-sela isak tangisnya.

KookMin Story [Requested]Where stories live. Discover now