Jimin terisak sedih, dia meringkuk di kasurnya, tangannya memeluk perutnya yang semakin melilit. Dia tidak peduli, dia hanya ingin menangis sekarang.

Kenapa hidupnya tidak pernah berjalan baik? Kenapa dia harus menerima rasa sakit tanpa kebahagiaan? Kenapa dia harus menerima ini?

Dia tidak tahu siapa orang taunya, dia sudah berada di panti asuhan sejauh yang dia ingat. Disana, dia dan beberapa anak lain tidak diperlakukan dengan baik, mereka dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya belum bisa dikerjakan anak kecil. Dia hanya mendapatkan pendidikan sekolah dasar, setelah dia lulus sekolah, dia dibuang begitu saja tanpa pertanggung jawaban, itu berlaku untuk semua anak panti yang juga sudah lulus sekolah.

Begitu dia keluar dari panti, dia hidup di bawah belas kasihan orang lain. Dia hanya anak berusia 12 tahun yang tidak memiliki pengalaman kerja sedikit pun, dia hanya memiliki ijazah kelulusan yang sangat tidak memadai untuk melamar pekerjaan dimana pun.

Selama empat tahun, dia menggunakan berbagai emperan toko, jembatan, atau bahkan trotoar sebagai tempat tidurnya. Tubuhnya sangat kusut saat itu, tidak jarang dia diganggu oleh anak-anak kecil atau bahkan orang dewasa yang tidak suka padanya. Dilempari batu, dituangi air, dilempari makanan busuk, didorong dengan sangat kasar, dicaci maki, ditampar. Dia sudah merasakan itu semua hanya karena dia yang dianggap mengganggu.

Sampai saat dia bertemu dengan Nyonya Jeon saat dia tengah kesakitan setelah dipukuli oleh preman, dia tidak memiliki tenaga lagi. Dia bahkan yakin jika dia akan mati di tempat itu jika saja Nyonya Jeon mengabaikannya.

Nyonya Jeon merawat lukanya, memberinya pekerjaan yang bisa dia lakukan, memberikan tempat tinggal yang layak. Dia berhutang budi pada wanita itu. Tidak, dia berhutang hidup pada wanita itu. Dia akan melakukan apapun yang dikatakan Nyonya Jeon, termasuk saat wanita itu memintanya menikah dengan putra tunggalnya.

Menurutnya, perlakuan Jeongguk belum sebanding dengan susahnya hidup terlunta-lunta. Kecuali bagian saat dia dilecehkan oleh suaminya sendiri.

Jika Jimin bisa bertahan dengan perlakuan yang lebih buruk dari perlakuan Jeongguk padanya selama bertahun-tahun, kenapa dia harus menyerah sekarang? Dia melakukan ini demi pahlawannya. Wanita yang menjadi Nyonya Besar keluarga Jeon, Yoo Kaeri, atau yang sudah dikenal sebagai Jeon Kaeri.

Drrrtt... Drrrtt...

Jimin mengangkat kepalanya saat ponselnya bergetar, tangannya yang goyah berusaha mengambil benda persegi itu dari nakas.

Pria kecil itu terdiam saat melihat siapa yang meneleponnya, dia sedikit ragu tapi tetap memilih untuk menjawab panggilan itu.

"H-halo, Eommonie..." Rasa mual di perut Jimin kembali menyerang, dia menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi meskipun langkahnya terhuyung-huyung dan hampir terjatuh.

Jimin tidak bisa membalas teriakan panik dari seberang, dia merutuki dirinya sendiri. Wanita itu pasti akan segera kesini, dan dia harus segera membuat alasan untuk melindungi suaminya.

Pemikiran Jimin benar adanya, karena 15 menit setelahnya, Jimin bisa mendengar pintu apartemennya dibuka dan terdengar langkah kaki rusuh mendekati kamarnya.

"Jimin? Astaga!!!" Jimin tidak memiliki tenaga untuk menyambut wanita itu dengan pelukan, dia hanya bisa memberikan senyum tipis. Tubuhnya berbaring di atas ranjang dengan posisi yang sedikit kacau.

"Aku akan memanggil dokter. Tunggu sebentar, oke, Sayang?" Jimin memilih menurut, dia bisa melihat wajah khawatir wanita itu dan dia tidak tega menolak perkataannya.

***

"Apakah Anda seorang hermaphrodite?" Jimin terlihat bingung, apa itu? Hemarodite? Kenapa katanya sulit untuk diingat dan dilafalkan? Apa maksudnya itu? Apakah semacam penyakit?

KookMin Story [Requested]Where stories live. Discover now