Bab 12. Sajak Ranah Kinanah

Start from the beginning
                                    

Mata kecilnya mengelana di atas aksara arab tanpa harokat itu, meski isi kepalanya justru mengelana lebih jauh lagi. Menuju Indonesia. Pada sebuah percakapan dengan Ibu beberapa hari lalu.

"Kok, belum ada yang kamu kenalkan ke Ibu, Nang? Di sana banyak, kan mahasiswinya."

"Yang kenal sama saya, aja ndak ada, Bu," gurau Dzakwan.

"Ya, makanya diajak kenalan, toh, Nang. Lah, mahasiswi yang tinggal di daerah Darrosah itu gimana? Sopo iku namanya?"

"Ida, Bu. Dia cuma teman satu organisasi," tawa Dzakwan.

"Apa mau sama santri Ibu, aja?" Kali ini Ibu yang bergurau.

"Boleh, Bu. Pilihin satu, yang paling cantik, nggih."

Mereka berdua tertawa.

"Santri Ibu cantik-cantik semua," kata Ibu.

"Ya udah, sama putrinya Pak Kyai Kafabihi, mawon kalau begitu."

"Ning Una," jelas Ibu. "Mau sama Ning Una?"

"Boleh, Bu tapi Ning Una nya emang mau sama saya?" Gurau Dzakwan.

"Nanti Ibu tanyain coba..."

"Canda, Bu!" Potong Dzakwan cepat sembari tertawa. "Saya belum kepikiran soal hal itu, Bu. Tenang mawon, nanti juga ada saatnya. Minta tambah do'anya saja dari Ibu."

"Aamiin, Nang."

Jujur, Dalam benaknya memang belum terbesit untuk segera mencari calon istri. Rencana tentu saja ada, kriteria juga ada, tapi belum ada satupun gadis yang berhasil meyakinkan hatinya. Jangankan santri-santri-nya Ibu yang tak pernah ia kenal, mahasiswi Al-Azhar seperti Ida yang sudah sangat akrab dengannya saja belum berhasil mengisi lubang keraguan itu.

☘️🍁🌱

"Pripun menurut sampeyan, Mas?"

Dibalik telfon itu, sebuah suara berat terdengar. "Sampeyan gak cerita ke Ummi, tah?"

"Gak berani, lah, Mas," jawab Una. "Malu aku curhat hal begituan ke Ummi, ngaji, aja belum khatam."

"Begini, aja, " kata Mas Badri, "Kalau memang serius, ya harus sabar nunggu kamu wisuda Al-qur'an sama kuliah, dan syaratnya selama itu dia gak boleh ganggu kamu."

"Kalau jawab gitu, ndak kayak ngasih harapan, tah?"

"Yo ngasih, sih."

"Ndak mau! Aku gak mau ngejanjiin apapun."

"Ya wis, tolak, aja. Bilang, kamu terlalu baik buat aku, Gus!"

"Mas, Ih! Serius, tah!" Seru Una menahan tawa geli juga.

Begitulah hasil percakapan semalam. Pada akhirnya, Mas Badri hanya bisa memberikan solusi seperti itu. Solusi pertama lebih masuk akal dan bijak, namun jelas, Una harus memodif kata-katanya lagi agar tak ada unsur memberi harapan pada Gus Anam.

Awalnya Una tak mau membicarkan persoalan itu dengan siapapun. Akan tetapi ia jadi merasa semakin bingung sendiri, apalagi Gus Anam semakin sering mengiriminya pesan basa basi seperti bertanya sedang apa? Sudah makan? Gimana hafalannya? Dan pada akhirnya pemuda itu akan bertanya; Apakah sampeyan udah bisa ngasih jawaban? Dan ketika sampai pada pertanyaan itu, maka Una tak akan membalasnya lagi.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now