Kedua

420 48 2
                                    

Setelah selesai di ruang konseling, Rafa dan Dafi keluar dari ruangan itu. Dafi menjadi penjamin Rafa. Dafi sendiri sedikit kaget melihat track record Rafa disana yang begitu buruk sekali.

"Maaf kalau boleh tau, tadi itu betul track record kamu dalam konseling?" Dafi memberanikan diri untuk bertanya.

Rafa memutar bola matanya, "Lu tadi liatnya gimana?"

Dafi hanya bisa diam dan bersabar. Sebenarnya bukan levelnya untuk berurusan dengan sekadar anak SMA. Tapi kali ini, dia harus menurut saja, karena dalam perintah Ayah Rafa, Hanung.

"Lu beneran suruhan bokap?" tanya Rafa.

Dafi mengangguk.

"Kok lu mau?"

"Mau apa?"

"Ya ngurusin gue"

"Saya butuh pekerjaan. Makanya saya mau"

Rafa hanya cuek tak peduli. Kemudian ponselnya bergetar. Dia melihat ke layar bahwa penelpon tersebut ialah Ayahnya. Lalu ponsel pun ia matikan, tak mau menggubris.

"Kenapa gak di angkat?" tanya Dafi.

"Diem lu!" jawab Rafa.

Tak lama kemudian giliran ponsel Dafi yang bergetar. Telpon dari Hanung. Dafi pun segera menggubrisnya. "Halo, Pak"

"Gimana Rafa, Dafi?" tanya Hanung.

"Beres, Pak"

"Oh, bagus-bagus. Mana dia? Saya mau ngomong" kata Hanung.

Dafi lalu menyodorkan ponselnya ke arah Dafi. "Ayah kamu mau ngomong"

Rafa hanya memberikan isyarat, tidak mau.

"Kalau ada yang penting, gimana?" tanya Dafi.

Rafa merungut dan merampas cepat ponsel Dafi. Dengan bernada ketus, dia berkata, "Halo, Pah. Kenapa?"

"Papa telpon kok gak di angkat?"

"Lowbat hapenya, Pa" jawab Rafa.

"Kan ada powerbank, Nak"

Rafa memutar bola matanya sambil mendumal. Dari sorot mata Rafa, Dafi dapat menyimpulkan sosok Rafa seperti apa. Anak remaja begajulan yang popular di sekolah dan suka akan atensi.

Rafa langsung menatap Dafi dan bertanya tegas, "Mikir apaan lo?"

Dafi terengah dan menggeleng.

Lalu Rafa kembali pada telponnya.

"Gimana kak Dafi, Nak?" tanya Hanung pada Rafa.

Rafa berdecak, "Papa ngapain sih nyuruh-nyuruh orang gitu aja ke sekolah? Kali ini intel mana lagi?"

"Dia bukan intel, Nak"

"Terus?"

"Panjang ceritanya, nanti Papa kasih tau kalo kamu dah balik di rumah. Kamu pulang sama kak Dafi ya"

Rafa berdecak malas. "Gak bisa, Rafa ada futsal pulang sekolah, Pah"

"Yaudah gapapa. Kak Dafi akan nungguin kamu sampai kamu di rumah. Dan begitu kamu tiba di rumah, kita bicara" jelas Hanung.

Rafa merengut geram seketika, dan langsung mematikan ponselnya.

"Ada apa?" tanya Dafi.

Rafa menatap tajam pada Dafi. "Gue harus balik ke rumah sama lo! Bokap nyuruh! Sialan gak tuh?"

"Itu Ayah kamu sendiri. Kamu gak boleh ngomong gitu!" tukas Dafi.

"Gue ngomong sialan ke elo! Bukan ke bokap gue! Bego!" gertak Rafa.

Dafi diam, menahan sabar.

"Lagian juga lu! Mau-mauan aja disuruh-suruh sama Bokap gue!"

"Saya hanya menjalankan perintah! Tolong jangan salahkan saya"

"Alah, bacot! Gue mau futsal! Terserah lo mau ngapain! Gue bakal pulang pas abis futsal! Ngerti lo!"

"Oke, akan saya tungguin!"

"Gak perlu!"

"Tapi saya sudah diperintah sama Ayah kamu"

"Ya gak perlu nongkrongin gue main juga! Lo kan bisa cabut dulu, tar balik lagi"

Dafi tetap teguh pada pendiriannya, "Ini hari pertama saya bekerja. Saya gak mau mengecewakan atasan saya"

Rafa menggerutu kesal, "Gue juga atasan lo!"

"Oh ya?"

"Iyalah!"

"Kalau kamu atasan saya, kenapa tugas saya adalah jagain kamu?"

Rafa geram bukan main, "Ngeselin banget lo ya. Bodo amat ah!"

Tak lama datanglah Rio menghampiri Rafa dan Dafi yang masih berdiri di depan ruang konseling.

"Gimana? Udah beres kan masalahnya?" tanya Rio.

Rafa mengangguk.

"Ini siapa?" Rio berbisik ke arah Rafa, mempertanyakan Dafi.

"Tau nih bodyguard abal-abal!" cetus Rafa.

"Hus, gak boleh gitu ah!" Rio lalu menjulurkan tangannya pada Dafi, "Hai Kak. Saya Rio, temennya Rafa"

Dafi menyunggingkan senyuman tipis dan membalas jabatan tangan tersebut, "Dafi"

"Kak Dafi bodyguardnya Rafa?"

Dafi melirik sejenak ke arah Rafa yang menggertakkan giginya. Lalu dia menjawab dengan suara kecil, "Iya"

"Oooh, iya kak" kata Rio. Lalu dia bertanya pada Rafa, "Lo jadi ikut futsal kan, Nyong?"

Rafa mengangguk, "Jadi"

~

"Rafa... Rafa..." Dafi terus memanggil Rafa yang berjalan cepat.

Rafa tak menggubris, hanya terus berjalan dengan wajah geram, meskipun beberapa orang turut memandangi Dafi dan Rafa yang sedang adu kecepatan berjalan. Tak sedikit yang memuji ketampanan Rafa, terlebih Dafi yang kini makin jadi pusat perhatian.

Dafi terus memanggil, "Rafa, tolong jangan terlalu cepat jalannya"

Rafa terus berjalan. Dia memang seorang atlet. Napasnya panjang. Kakinya tinggi. Dia biasa lari mengelilingi lapangan GBK tiap sore. Kecuali pagi, Rafa malas bangun pagi.

"Rafa!!!"

"Apaan sih?"

"Kamu mau kemana? Kelasmu dimana???" tanya Dafi.

"Gausah bawel lu! Udah sana lu cabut aja!" tukas Rafa.

Dafi langsung menarik tangan Rafa dan menghentikan langkahnya.

"Ngapain lu pegang-pegang tangan gue???" tanya Rafa, geram.

"Tenang, Rafa. Tenang. Jangan terburu amarah seperti itu! Nanti kamu jadi buntu"

Rafa menggertakkan giginya kuat-kuat. "Vania tai!"

Dafi geleng-geleng kepala mendengarnya. Dia tidak mengerti. Siapa Vania. Pacar Rafa kah? Kenapa Rafa memakinya?

Rafa garuk-garuk kepala sambil memilih duduk di bangku depan kelas. "Kesel banget gua!!! Kenapa sih harus gua yang selalu apes!!!"

Dafi mencoba memahami perasaan Rafa, "Sabar, Rafa. Tenang"

"Gak bisa tenang gua! Dari dulu, selalu aja kayak gini!!"

"Saya gak tau masalah kamu apa. Saya juga bingung harus bersikap seperti apa?"

"Ya makanya, lo jangan sok tau!!! Lo tuh orang baru, tugas lo cuma jadi bodyguard gue aja. Bukan cari tau tentang hidup gue! Ngerti lo???" tukas Rafa.

Dafi terdiam, "Maaf"

Rafa kembali berjalan menuju kelasnya. Sementara Dafi hanya duduk di bangku taman depan kelas Rafa sambil menunggu anak itu pulang.

Hari pertamanya memanglah tidak menyenangkan. Tapi Dafi yakin, suatu saat, ia akan bisa menjadi sahabat yang baik untuk Rafa.

Sampai setidaknya, Dafi tetap menjalankan tugasnya dengan baik.

TO BE CONTINUED

FIX YOU (18+)Where stories live. Discover now