Bab 9

65 3 0
                                    


Kucoba membuka mata, walau sebenarnya kepala begitu berat kurasa.
Kulihat sekeliling ruangan serba putih, dengan infus ditanganku.

"Kamu sudah sadar, Sayang," ujar Mas Zaki. Tanganya mengelus lembut pucuk kepalaku.

"A-aku kenapa, Mas. Tiara mana?" tanyaku sambil tanganku memijat pelipis kepala yang terasa begitu sakit.

"Kata Dokter, kamu kurang darah. Makanya semalam pingsan, mungkin karena kelelahan," timpal Mas Zaki.

Mas Zaki bilang semalam saat ia pulang ibu tengah menangis sebab aku pingsan Tiara juga menangis sebab bintik itu pada pecah.

Mas Zaki juga bilang, kalu Tiara sudah ditangani oleh Dokter spesialis kulit bayi. Keadaanya juga sudah semakin membaik. Kini kami tengah berada dirumah sakit kota.

"Kan, Mas udah bilang, Sayang. Semua ini ngga ada hubunganya dengan mitos itu. Buktinya sekarang Tiara sudah baik-baik saja," ucap Mas Zaki percaya diri.

"Jangan kayak gitu, Mas. Aku masih melihat mahkluk itu semalam. Aku yakin dia arwah kiriman orang jahat pemegang ilmu hitam itu. Dia pasti mau nyelakain keluarga kita, Mas. Sebaiknya kamu cari tau siapa orangnya, bukan malah seperti ini," ujarku panjang lebar.

"Kok kamu, malah kayak ibu, si Dek. Percaya dengan hal seperti itu namanya syirik, Dek. Ngga ada yang namanya ilmu hitam," sentak Mas Zaki, membuatku menangis.

Pakar spiritual islam terkenal kang sudiro itu juga bilang, ilmu hitam benar adanya, santet, guna-guna, hal- hal mistis yang sebagian orang tidak percaya, sungguh sebenarnya semua itu ada. Tergantung kita saja menanggapinya bagaimana. Meski sebenarnya orang yang melakukan ilmu hitam itu termasuk perbuatan musrik, namu jika kebencian atau dendamnya lebih besar, tidak dipungkiri orang itu akan nekad melakukanya.

"Aku pengen ngelihat Tiara, Mas," pintaku pada Mas Zaki.

Kemudian dia memapahku sambil mendorong tiang infus berjalan kearah ruangan tiara. kulihat ibu dengan setia, duduk disamping Tiara.

Benar memang, kulihat bintik itu sudah pecah dan mulai mengering. Aku sedikit lega sebab lebam merah pada tubuhnya juga sudah mulai reda.

"Matek! Matek'o kowe .... Nak kowe matek, anakmu dadi wek'ku!" sayup sayup aku mendengar suara. Suara itu menggemma disekitar ruangan ini.
(mati! Matilah kamu, jika kamu mati, maka anakmu jadi milikku)

"Bu, Mas. Apa kalian denger itu. Denger, ada yang mau bunuh aku!" seruku.

Suara itu terdengar mendayu dayu berulang, membuat aku semakin gelisah.

Aku menggeleng geleng ketakutan. aku meringkuk dilantai, sambil menangis sesegukan. Suara itu masih terdengar ditelingaku, suaranya seperti berbisik, berteriak, dan sesekali tertawa.

"Dek, kamu kenapa? Suara apa? Sayang!" Aku masih mendengar ucapan Nas Zaki.

"Kamu ngga denger, Mas. Denger itu ada yang mau bunuh aku. Dia mau ambil Tiara dari aku! Mas tolong.. Ibu tolong!" teriakku tak jelas.

Ibu yang panik, kudengar dia tengah manggil dokter kemari.

Aku begitu ketakutan saat ini, suara itu masih terdengar jelas ditelingaku. Kenapa Mas Zaki, dan ibu tidak mendengar. Entah apa yang terjadi padaku, rasa khawatir, takut bercampur jadi satu.

Sesaat kemudian kurasakan seperti ada yang menyuntikan bius dilenganku kala aku tengah menjambak rambutku sendiri, karena frustasi. Kulihat sekeliling mulai kabur, putih kini berubah menjadi gelap.

Kucoba membuka mata, namun aku masih diruangan yang sama saat aku terbangun tadi.
Kufikir semua ini hanya mimpi semata, ternyata ini memang nyata.
Kulirik Mas Zaki tengah berbincang dengan ibu.

"Mas," panggilku denggan suara yang masih serak.

"Dek, udah bangun," ujar Mas Zaki kemudian berlari kearahku.

"Kamu yang sabar ya, Nduk. Adi sudah sampai Jakarta. Dia lagi naik pesawat menuju kemari," ucap ibu sambil mengelus dahiku.

"Bu, kalau aku ada salah. Aku minta ma'af ya, Bu," ucapku berlinang air mata.

"Aku banyak salah, Mas. Kalau bisa tolong ma'afin aku" ulangku lagi sambil mencium tangan Mas Zaki.

"Kenapa kamu bicara begitu, Sayang. Kita pasti bisa lewati ini berdua. Mas sayang kamu, Dek," ujar Mas Zaki. Kemudian meraihku kedalam pelukannya.

Ibu tidak dapat menjawab kata-kataku, ia hanya terisak sesegukan.

"Kenapa ini terjadi pada kita ya, Nak?" ungkap ibu. Air matanya berlinang seperti hujan deras.

"Mas, aku pengen sama Tiara aja. Pindahin aku kesana, ya," rengekku pada Mas Zaki.

Entah mengapa perasaan aku ingin sekali bermanja padanya, inigin sekali terus bersamanya seolah-olah ini hari terakhirku bersamanya.

Kemudian atas persetujuan dokter aku dan Tiara dirawat dalam ruangan yang sama.

***

JANGAN BAWA BAYI SAAT MELAYATWhere stories live. Discover now