Bab 8

60 7 1
                                    

Pagi begitu indah.Kicauan burung dari pepohonan belakang rumah membuat semakin sejuk suasana.

"Masak apa, Nduk?" tanya ibu, setelah selesai menunaikan ibadah shalat.

"Masak opor ayam, Bu. Ayam sisa kemaren," jawabku. Kedua tanganku masih berkutat dengan bahan dapur..

"La Zaki, mana?" tanya ibu setelah duduk dikursi ruang makan.

"Masih tidur, Bu. Sama Tiara"

Hari ini memang aku sengaja tidak menyuruh ibu mertuaku membantu didapur. Sebab, dari kemaren dia sudah sibuk karena aku.

"Dek! Ibu! Sini, cepat. Lihat Tiara!" seru Mas Zaki dari kamar.

Mendengar teriakan Mas Zaki, aku dan ibu saling pandang. Kemudian ibu berjalan mendahuluiku, sedangkan aku mematikan kompor terlebih dahulu, kemudian aku berjalan menyusul ibu.

"Astagfirullah halazim"

Teriakku, kala melihat tubuh Tiara banyak bintik bintik mirip bisul, dengan nanah ditengahnya. Aku langsung menggendong putri semata wayangku itu, sambil menangis sesenggukan.

"Bu, bukanya kemaren udah diobati sama pakde. Tapi ini kok kumat, malah lebih parah," ujarku sambil menimang Tiara yang mulai merengek.

"Kok malah Tiara!" seru ibu, membuat aku dan Mas Zaki menatapnya.

"Maksud ibu?" tanya Mas Zaki.

"Sebenernya, Mas Sukaji kemaren bilang ... "

Ibu bercerita bahwa ada seseorang yang membangkitkan arwah, orang yang melakukan ini biasanya orang-orang yang mempunyai dendam atau niat buruk untuk menghabisi seseorang. Dia akan menyuruh arwah yang ia bangkitkan untuk meneror musuhnya. Semua akan berakhir jika musuhnya sudah tiada. Dan pakde bilang orang yang menjadi tujuanya adalah aku. Itu sebabnya ibu melarangku untuk keluar rumah beberapa hari ini sampai mas adi pulang. Sebab setauku mas adi mempunyai indera keenam, yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa. Dia juga yang bisa membantu kami menemukan siapa pelakunya.

Deg ...

Rasanya hatiku terkejut mendengar apa yang ibu bilang.
Tapi pertanyaanku siapa orang itu? Apa motifnya hingga ia melakukan itu pada keluargaku? Entahlah hanya mas adi jawabanya.
Pakde bilang, ia tidak bisa membantu sebab, itu bukan keahlianya. Dia hanya bisa menyembuhkan, dan ia tidak akan bisa menyembuhkan apabila belum tau siapa pelakunya.

"Halahhh! Aku ngga percaya sama semua itu! Itu mustahil, Bu. Mana ada ilmu hitam, itu cuma mitos, Dek!" teriak Mas Zaki membuat aku terjingkat.

"Zaki! Jaga bicaramu, Nak!" bentak Ibu tak kalah kerasnya.

"Ahhh terserah!, ayo dek kita bawa Tiara kedokter, persetanlah sama ilmu hitam!" ucap Mas Zaki sambil menarik tanganku keluar.

Ibu yang masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mas Zaki pun hanya diam terduduk diranjang.

Sebenarnya aku tak tega melihat ibu. Tapi apa yang dikatakan Mas Zaki ada benarnya, kenapa tidak kedokter saja. Siapa tau ada penjelasan medis yang bisa kami percaya.

Disepanjang perjalanan, tidak ada obrolan yang kami lakukan. Suasana begitu hening, kami tengah bergulat dengan pikiran masing-masing. Kulirik Mas Zaki sekilas, matanya merah, mukanya tegang. Kurasa dia sangat takut dengan keadaan.

Sesampainya diklinik, kami langsung mendapat penanganan dari para perawat.
Setelah Tiara diperiksa, dokter mengatakan ini hanya penyakit kulit biasa, apabila dalam sehari semalam tidak sembuh, dokter menyarankan agar kami membawa Tiara ke rumah sakit di kota.

Kemudian kami kembali pulang.
Sesampainya di rumah, kulihat ibu tengah panik dengan mondar mandir di teras rumah.

"Gimana? Apa kata dokter, Ki?" tanya ibu saat kami turun dari mobil.

"Cuma penyakit kulit biasa, ngga papa kok. Besok juga sembuh," jawab Mas Zaki, kemudian masuk kedalam.

"Ayo, Nak. Kita masuk," ujar Ibu kemudian merangkulku masuk kedalam.

Terlihat wajah Ibu begitu khawatir. Aku kasihan padanya, sebab tadi pertama kalinya Mas Zaki berani membentak ibunya.

"Ibu, ngga usah khawatir, ya. Ngga papa, kok. Lagi pula liat Tiara udah ngga nangis, kan," ujarku sambil tersenyum menenangkan dia.

"Iya, mungkin memang Ibu yang terlalu berlebihan, ya."

Hari sudah berganti malam. Sebenarnya ini malam tujuh harian almarhumah Bude Yanti. Tapi karena keadaan tidak memungkinkan bagiku untuk kesana, hanya Mas Zaki saja yang datang malam ini.

Ibu juga menemaniku di rumah sebab masih khawatir dengan Tiara.

Saat aku sedang membuat teh untuk Ibu, terdengar suara Tiara menangis. Gegas aku melangkah kearah kamar untuk melihatnya. Kulihat Ibu juga berlari hendak menghampiri Tiara.

"Ini, Bu. Diminum dulu tehnya, biar Tiara, Nina aja yang lihat," ujarku pada Ibu, tanganku menyodorkan teh yang tadi kubawa pada Ibu.

Ibu hanya mengangguk, kemudian mengambil alih teh yang tadi kubawa.

Kulangkahkan kaki cepat, karena suara Tiara menangis sudah semakin keras.

Betapa terkejutnya aku saat kulihat tubuh Tiara memerah. Mirip seperti lebam, dengan bintik-bintik besar yang mulai pecah. Bintik itu mengeluarkan air bening bercampur sedikit darah.

Aku segera menggendongnya, lalu membawanya keluar untuk bertanya pada Ibu.
Langkahku terhenti kala kulihat Ibu tengah duduk meminim tehnya, namun mahkluk menyeramkan yang biasa kulihat tengah duduk dipundak Ibu.

Wajahnya menyeringai kearahku.
Tak lama Ibu melihat kearahku, mungkin dia mendengar tangisan Tiara.

"Nduk, kamu kenapa?" tanya Ibu.

"Kok bengong, to, Nduk"

Reflek aku melangkah mundur saat ibu mendekat dengan mahkluk itu tetap di atas pundak Ibu.

"Arrrrgghhh!" teriakku panik, kala mahkluk itu meloncat kearahku.

****

Jagan lupa tap lovenya ya😘😘

JANGAN BAWA BAYI SAAT MELAYATWhere stories live. Discover now