Kata Elan (9)

13 3 0
                                    

Tunggu dulu, Elan berpikir, tadi bukannya Dante terbangun karena suara ponsel miliknya yang dikira mati total itu? Artinya ponselnya berfungsi normal dan bisa berdering, kan? Selagi Nuka dan Dante tengah berdiam diri, Elan meraba saku kemejanya, mengeluarkan ponsel dan menekan tombol ON/OFF untuk membuka kunci layar. Lho kok tetap gelap seperti sebelumnya? Akhirnya ia memijit tombol power beberapa detik, mengharapkan getaran halus menyambutnya seperti biasanya.

Hasilnya ponsel Elan memang mati total. Tidak ada tanda-tanda kehidupan seperti sebelumnya. Astaga! Jadi bunyi ponsel yang membangunkan Dante itu asalnya dari mana, ya? Mungkin dari ponsel kepunyaan Nuka? Diamat-amati, si gadis teman barunya berkaus oblong yang tidak ada sakunya. Celana panjangnya juga tak tampak ada saku. Namun, ia membawa tas kecil yang mirip dompet ponsel bertali selempang, warnanya hijau daun mint.

"Ah, aku pamit dulu sebentar, ya. Sebentar saja aku akan kembali lagi. Excuse me for a while, okay?" Dante tiba-tiba pamit lagi, sesuai ekspektasi Elan yang ingin bicara empat mata dengan Nuka.

Sepeninggal Dante, seat tengah 2-2 terasa lebih lega dan terang benderang. Elan tak menyia-nyiakan peluang dan membisiki Nuka, meski langkah Dante terdengar menjauh. "Ssssttt. Ponselmu nyala tidak, Nuka? Punyaku kok mati total, ya?"

"Oh, itu. Aku lupa bawa ponsel dari rumah. Ketinggalan ada di kamar. Ini dompetnya saja yang kebawa." Nuka menyahut Elan, lalu menepuki tas selempang kecil untuk meyakinkan ponselnya memang bukan ada di situ.

KRING KRING KRING!

Dering ponsel yang ritmik dan tak berbunyi mirip nada dering yang sudah lumrah. Lebih mirip nada SMS yang jadul, lawas, dan diulang-ulang bunyinya hingga membosankan jadinya. Dari mana asal bunyi ponsel misterius itu? Jelas itu bukan milik Dante, karena si pria yang menurut Nuka sesosok alien itu sudah pergi ke ujung belakang gerbong, kemungkinan ke toilet, yang tak bisa dilakukan Elan dan Nuka yang praktis terkunci di seat pilihan mereka sendiri. Kebetulan tiket gratisan juga menghendaki mereka duduk di seat dengan pemandangan aneh di jendelanya.

Siapa tahu di seat lainnya situasinya lebih normal, Elan membatin, sementara bunyi ponsel terus menggema dan asalnya dekat dari tempat duduknya. Elan merabai seat di sebelahnya, siapa tahu ada semacam kantung di sandaran kursi, tetapi nihil, tidak ada apa-apa di sana. Meski celah di antara seat-nya dan seat di sebelah sempit, Elan mencoba peruntungannya dan merogoh ke dalamnya, dan ternyata ...

Nuka sampai sedikit menjerit, benda yang diangkat Elan begitu, ya, bagaimana ya, begitu tak terbayangkan di abad yang menganut kepraktisan gawai ini. Ponsel tipis, memang tipis dan kecil, tetapi punya tombol-tombol di body depan dan layarnya begitu kecil dan persegi empat, kira-kira cuma 5 x 4 cm saja ukurannya. Tombol-tombol ponsel unik, bentuknya bulat lonjong, menonjol mirip biji pepaya mengkal, hanya saja warnanya keperakan dengan satu tombol memanjang bertuliskan SPACE di deretan paling bawah.

"Wuihh! Baru kali ini aku lihat ponsel bertombol kayak gitu, dan masih hidup pula. Tadi suara dering asalnya dari situ ya, Bung?" Nuka memijit tombol HOME di sisi kiri dan layar ponsel menyala biru cerah bergambar tetesan embun yang meredup.

"Kemungkinan ponsel ini yang bunyi. Punya penumpang lain sepertinya. Tertinggal di seat-nya dan menyelip di sela bangku. Pasti baru ketinggalan karena baterai ponselnya penuh." Elan menunjukkan indikator baterai di kanan atas, tertulis 80 persen daya yang tersisa.

"Simpan saja, Bung. Buat siap-siap, siapa tahu kita butuh bantuan kalau ..."

Kalau-kalau Dante si pria aneh makin berbahaya ke depannya. Elan menyambungnya dengan muram. Jujur sebagai pria sejati pun Elan merasa terancam sedikit, terutama karena pengaruh ganjil yang membuatnya terdikte melakukan apa yang diminta Dante. Bahkan ucapan yang keluar dari bibirnya bukan kata-katanya sendiri kadang-kadang. Lucu betul karena Elan merasa tipe membosankan seperti dirinya tak mungkin bisa dihipnosis, karena tidak punya daya imajinasi cukup memadai.

Love Like You DoWhere stories live. Discover now