Dante Kapi Bara (6)

42 6 0
                                    

"Bukan main. Baru kutinggal sebentar ke toilet, penumpangnya sudah berdatangan kemari. Sorry, terpaksa aku nebeng di seat kalian, ya. Lihat seat lainnya terisi orang semua. Ehm. Ehm." Dante mendeham-deham, lalu batuk seakan bersenandung ringan. Herannya, batuk-batuk kambingnya kedengaran merdu dan punya ketukan irama beraturan.

"Kami tidak bisa ke toilet sedari tadi." Nuka seakan melancarkan komplain, terkait kakinya yang tak bisa melangkah keluar dari seat yang dipilihnya.

"Aku juga sama. Intinya kami tidak bisa meninggalkan bangku pilihan kami, tapi untung masih bisa berdiri, sih." Elan mencetus dengan nada protes yang sedikit ketakutan.

"Hahaha. Tenang saja." Dante dengan heboh menepukkan tangan ke udara, lalu menyambung dengan bisik-bisik sok merahasiakan hal besar, "semuanya sudah diatur sedemikian rupa. Artinya rencana kita akan berjalan lancar."

"Rencana kita? Maksudnya apa?" Nuka berkata lagi, beranggapan permainan sinting yang direncanakan Dante tak seharusnya melibatkan ia dan Elan, karena toh mereka bertiga baru tadi saling mengenal.

"Begini. Aku punya Kapi Bara. Ini bahasa spesial yang artinya seribu kisah. Ya, aku tidak menghitungnya satu per satu, sih. Kira-kira ada seribu, dan perjalanan berakhir setelah kisah keseribu kita mainkan sama-sama. Gimana? Anggap saja ini permainan konyol untuk membunuh waktu. Deal?" Dante dengan licik memberi tekanan pada "membunuh" sekalian menirukan kertak leher putus, dan sungguh, selengekannya mirip tak ubahnya sosok psikopat maniak.

"Kami tidak boleh menolak, berarti?" Elan kuat-kuat mencoba melangkahkan kaki, tetapi seakan ia terpancang mati pada seat 2-2 deretan tengah. Mukanya pun memerah oleh usaha ngotot yang sia-sia saja.

"Sorry, aturannya tak dapat dibatalkan begitu saja. Rules are rules, you know."

"Penumpang-penumpang itu orang betulan, bukan?" Nuka bertanya pada Dante, sepaham dengan Elan, bahwa mereka terjepit akal-akalan seorang psycho dalam acara realitas murahan, pakemnya kira-kira mempertontonkan ketololan manusia-manusia yang terkecoh iming-iming traveling gratisan.

"Bagaimana kalian memandangnya, itu yang bakalan membuat mereka sungguh-sungguh ada." Dante menanggapi santai, efek dramatis kata-katanya, "sungguh-sungguh ada" kedengaran dibuat-buat mengancam buat kedua korbannya, Elan dan Nuka.

"Artinya mereka tidak ada sesungguhnya. Mereka cuma augmented reality atau realitas berimbuh, kan? Teknologinya seperti apa, kira-kira? Bisa dijelaskan tidak supaya kami tidak salah paham?"

Elan bertanya memakai lagak seorang anak IT, yang sejatinya ia telat update memahami teknologi terkini yang dikembangkan manusia-manusia berkomputer super genius. Salah satu contohnya teman almamaternya, Brody Chipmunk yang mengejeknya banci dua belas tahun silam. Oknum culas itu juga yang menghancurkan buku diary-nya, dan semenjak itu Elan benci sekali bergaul dengan orang-orang teknologi informasi.

"Teknologi manusia sudah ketinggalan seratus tahun ke belakang, heh? Di sini kami punya yang lebih baik lagi, bahkan yang terbaik di atas yang paling baik. Maaf bila kesannya agak meremehkan. Ehm." Dante mendeham, lalu pamer siulan, nada semacam tulalit tulalit, meniru bunyi telepon yang tak terhubung panggilannya.

Alien from Nowhere. Ilham dadakan ini melintas di pikiran Nuka yang kenyang dengan film-film sains fiksi bertokoh makhluk bermata satu, berantena dua, dan gundul menyerupai setan tuyul. Bukankah manusia yang menciptakan versi alien dari ketakutannya yang tidak nyata? Namun, mungkinkah alien sungguh-sungguh ada dan mencoba peruntungannya menguasai umat manusia?

Langkah pertama adalah uji coba. Menculik satu dua manusia dan mengetesnya dalam sebuah show realitas yang diam-diam ditayangkan di planet asal mereka. Meneliti tindak tanduk dan kebiasaan hidup mereka, mempermainkan barang sebentar agar acara lebih menarik dan melonjakkan angka rating televisi. Lalu percobaan yang sebenarnya akan dipraktikkan kemudian.

Love Like You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang